Filipino boxers

Manchester City vs Liverpool: Demi narasi musim ini

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Manchester City vs Liverpool: Demi narasi musim ini

AFP

Menunggu finis terbaik City di Liga Primer

JAKARTA, Indonesia — Mimpi-mimpi Pep Guardiola di musim pertamanya di Liga Inggris terus memudar satu per satu. Setelah menyatakan angkat tangan dari perburuan gelar juara Liga Primer beberapa pekan lalu, kini mereka justru tersungkur di Liga Champions di tangan AS Monaco. 

Situasi itu memang bisa dipahami karena ini adalah tahun pertama manajer yang baru hijrah dari Bayern Muenchen musim ini tersebut. Namun, di era sepak bola industri yang menginginkan segala sesuatu serba instan, tanpa gelar di tahun pertama adalah sebuah aib. Dan aib itu akan terus menghantui catatan gemilang pelatih tersukses dalam sejarah Barcelona tersebut. 

Apalagi, kedatangannya di Etihad Stadium disambut bak seorang raja. Pers setempat menggelar karpet merah dan memprediksi bahwa lelaki Catalonia itu bakal memperoleh segalanya bersama rival sekota Manchester United tersebut. Nyatanya, sepak bola Inggris jauh berbeda dibanding Spanyol atau Jerman. Dan Pep sudah mengakuinya. 

“Sepak bola di sini jauh lebih sulit. Saya perlu penyesuaian dan ternyata itu tidak mudah,” kata Pep kepada media Inggris beberapa bulan lalu. 

Debut Pep di City memang tidak mulus. Tapi juga tidak sepenuhnya buruk. Vincent Kompany dan kawan-kawan stabil di awal musim. Mereka terus meraih kemenangan.

Sayang, itu hanya bertahan selama enam pekan. Setelah itu, performa mereka tak karuan sepanjang 15 laga. Dari posisi pemuncak klasemen mereka sempat drop hingga posisi kelima. 

Situasi itu semakin memburuk karena perubahan formasi yang dilakukan Pep tak kunjung mengubah nasib tim. Setelah mengawali musim dengan formasi 4-4-2 dan 4-1-4-1 dia terus bereksperimen dengan format 3 bek. 

Pada akhirnya, di 6 laga terakhir mereka kembali pada format 4-1-4-1. Di mana mereka relatif lebih stabil. 

Upaya Pep pada akhirnya membuahkan hasil. City mulai mencapai titik stabilitasnya. Namun, imbas dari tengah musim yang buruk membawa mereka pada banyak konsekuensi.

Mereka terlempar dari Piala Liga. Mereka juga kandas di Liga Champions. Satu-satunya asa gelar kini tinggal di Piala FA di mana mereka tembus ke semifinal berhadapan dengan Arsenal. 

Lantas, bagaimana dengan Liga Primer?

Perburuan gelar juara sudah hampir mustahil bagi City. Selisih poin mereka merentang sejauh 13 poin. Memang, masih ada 11 laga tersisa bagi klub milik taipan Qatar itu untuk mengejar The Blues.

Masalahnya, Chelsea hanya perlu 21 angka lagi atau cukup dengan 7 kemenangan untuk mengklaim gelar. Dan itu bisa lebih dini jika para pesaing terdekat seperti Tottenham Hotspur dan City terus kehilangan poin.

Karena itu, yang paling realistis bagi City—terutama Pep—adalah menyelamatkan mukanya sendiri. Mereka harus membungkus narasi Liga Primer 2016-2017 dengan titel penantang terbaik Chelsea. Bukan tim yang terseok-seok hilir mudik di antara posisi 2 dan 5. 

Itu paling tidak bisa menyelamatkan reputasi Pep. Dan menjaga mental anak asuhnya. Terutama mereka yang akan bertahan cukup lama di tim. Hingga bermusim-musim ke depan. 

Sebab, bukan rahasia lagi jika Pep sudah menyiapkan acara “cuci gudang”. Dia akan mendepak para pemain yang tak bisa menjalankan idealisme sepak bolanya. Dan itu jumlahnya banyak. Bursa transfer musim depan adalah arena Pep untuk menentukan siapa pasukan yang benar-benar dalam kendalinya. 

Meskipun begitu, Pep membantah informasi tersebut. Dia menampik anggapan bahwa dia akan melakukan upaya bersih-bersih di City. “Mereka punya kontrak yang harus ditunaikan. Saya tak mungkin melakukannya,” katanya seperti dikutip BBC. 

Namun, Pep mengakui bahwa ada sejumlah pemain dalam tim yang habis kontraknya. Beberapa di antara mereka akan tetap bersamanya hingga musim depan. “Musim depan akan lebih baik,” katanya. 

Situasi yang dialami Pep jelas berbeda dibanding Juergen Klopp. Sama seperti Pep, manajer Liverpool tersebut mengawali musim dengan brilian. Sayang, prahara di tengah musim tak kunjung selesai. Liverpool terus mengalami fase roller coaster. Turun naik. 

Mereka begitu tangguh melawan tim besar tapi keok melawan tim-tim kecil. Bahkan, ada idiom di kalangan mereka sendiri. Liverpool adalah tim yang merampok poin tim-tim elit dan membagikannya untuk tim-tim kecil. Seperti Robin Hood.

Namun, tampaknya Robin Hood dari Mainz, Jerman, itu akan kesulitan merampoknya dari Pep. Sebab, mereka kini jauh lebih stabil dibanding para pemain dari kota pelabuhan tersebut.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!