5 hal yang menarik dari pidato perpisahan presiden Barack Obama

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 hal yang menarik dari pidato perpisahan presiden Barack Obama

AFP

Kalau capek berdebat dengan orang tak dikenal di internet, coba temui langsung salah satu di antara mereka

 

JAKARTA, Indonesia –  Setiap kali Presiden Barack Obama menyampaikan pidatonya, saya merasa seperti diajak menelusuri sejarah pemikiran para pendiri Amerika Serikat.  Sebuah negeri yang menurut kisah fiksi dalam film “Far and Away” menjadi impian bagi para pencari tanah, tempat memulai hidup bagi para imigran. 

Film yang dibintangi Tom Cruise dan Nicole Kidman dan dirilis tahun 1992 itu buat saya adalah salah satu contoh yang “nge-pop” tentang bagaimana dahulu kala AS dibangun bersama imigran dari berbagai bangsa. Berbagai warna kulit, agama, etnis. 

Kita bisa menemukan apa yang disebut sebagai “American Dream” dengan segala prosesnya, dari film “Selma”, “Citizen Kane”, “Easy Rider” sampai “The Great Gatsby”.  Ibarat lirik lagu New York, New York yang dipopulerkan Liza Minnelli, “If I can make it there, I’m gonna make it anywhere, It’s up to you, New York, New York.”

Barack Obama, presiden AS ke-44, akan dikenang sebagai salah satu puncak “American Dream”. Dan, itulah yang saya tonton di layar televisi setiap kali melihat dia berpidato di berbagai kesempatan. 

Hari ini, saya menonton pidato perpisahan Presiden Barack Obama yang disampaikan dari Chicago, kota di mana semuanya berawal untuk karir politik Obama. Ada lima hal yang menurut saya menarik dari pidato itu.

You made be a better President, and you made me a better man

Pada bagian awal dari pidatonya, Obama menyampaikan bahwa dia dan Michele tersentuh dengan begitu banyak perhatian, doa yang mereka terima dari warga AS dalam minggu-minggu terakhir menghuni Gedung Putih, kantor dan kediaman resmi Presiden AS. 

Obama mengingat kembali, dan berterima kasih atas pertemuan dan percakapan langsung dengan warga AS di berbagai lokasi dan kesempatan. Pertemuan dan percakapan yang membuatnya menjaga kejujuran, membuatnya terinspirasi, membuat dia terus maju. Every day, I learned from you. You made me a better President, and you made me a better man.

Tentu saja, pidato perpisahan dari seorang kepala politisi di AS, seorang Presiden, tetap sarat pesan politik dan ditujukan untuk membangun persepsi politik. Menurut saya, Obama bersikap rendah hati, ketika mengatakan dirinya banyak belajar selama delapan tahun menjadi presiden.

Belajar dari kisah kehidupan warganya. Dan itu memperkaya dirinya menjadi seseorang yang lebih baik. Menjadi presiden yang lebih baik. Obama tidak mengatakan, “saya tahu.  Semuanya saya tahu. Saya ke lapangan.”

Democracy does not require uniformity

Pada bagian kedua dari pidatonya, Obama membahas tentang demokrasi. Obama mengingatkan kesepakatan yang dibangun oleh pendiri negara AS. Democracy does not require uninformity. Demokrasi tidak mensyaratkan keseragaman. Para pendiri juga mengetahui sejak awal untuk berfungsi dengan baik, demokrasi membutuhkan rasa solidaritas yang mendasar, sebuah ide yang mengingatkan kita semua, lepas dari perbedaan diantara sesama warga, kita melaluinya bersama; kita bangun dan jatuh sebagai satu kesatuan warga bangsa.

AS, sebagaimana bangsa-bangsa lain, termasuk Indonesia menghadapi tantangan global. Cakupannya mulai dari ketimpangan ekonomi dan sosial, perubahan demografi yang memicu keharusan perubahan sosial dan cara melihat dan mengeksekusi sebuah masalah, sampai ancaman terorisme.

Di dalam negeri AS, kecenderungan polarisasi di masyarakat menguat, dan kian mengancam setelah pemilihan Presiden 8 November 2016. AS, juga dunia, bersiap menghadapi apa yang disebut “Trump Era”.  Era yang membuat khawatir berkaitan dengan jaminan hidup dan perlakuan setara bagi  kaum minoritas dan imigran.  Kekhawatiran yang dirasakan oleh Adinda Rania, siswi Sekolah Dasar di Virginia, Washington DC.

Obama seolah mengingatkan kembali ke motto dalam lambang negara AS, yang berbunyi, “E Pluribus unum”, yang artinya, “Dari Banyak, satu”.  Mirip dengan cita-cita dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.  Berbeda-beda tetapi tetap satu. Karena bukan satu suku, agama, asal bangsa yang membentuk negara, melainkan berbagai suku, agama, ras atau etnik. Dalam kasus AS, berbagai warga bangsa datang ke sana ratusan tahun lalu membentuk AS yang kini menjadi negara terkuat di dunia secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.

Obama mengingatkan semangat awal warga AS berbangsa. Obama mengingatkan kita juga, yang tengah mengalami “goyangan”, atas citra sebagai bangsa yang majemuk. Bagaimana kita bisa menangani dan melalui goncangan atau sekedar goyangan, termasuk dalam hal mendidik anak-anak, menentukan masa depan bangsa.

We must uphold laws against discrimination

Obama mengingatkan pentingnya memastikan perlindungan terhadap kaum minoritas. Menjalankan hukum yang menentang diskriminasi dalam segala bidang. Dalam rekrutmen, fasilitas perumahan, akses ke pendidikan sampai ke sistem hukum kriminal.

Mengandalkan aturan hukum saja tidak cukup. Kita perlu lebih mengedepankan hati, empati. Obama mengutip ucapan sebuah karakter besar dalam fiksi Amerika, Atticus Finch, yang mengatakan bahwa,” Kamu tidak akan benar-benar memahami seseorang, sampai kamu mempertimbangkan hal-hal dari sudut pandang orang tersebut, sampai kamu memanjat kulitnya dan berjalan-jalan di sekitar.” Atticus Finch adalah karakter dalam buku berjudul “To Kill a Mockingbird” yang ditulis oleh Harper Lee. Ada istilah lain yang menggambarkan hal ini, “Coba deh berjalan dengan sepatunya”.

Manakala kita hidup dalam masyarakat yang majemuk dalam segala hal, advis itu perlu juga kita pertimbangkan.

Sulit bagi kita berempati dan menghormati warga agama minoritas, jika kita seumur hidup tinggal di tengah warga mayoritas. Mereka yang gemar menggunakan cara kekerasan atau pemaksaan atas nama agamanya yang mayoritas, perlu memikirkan bagaimana jika saudara dan warga yang beragama sama, hidup menjadi minoritas di daerah atau negara lain? 

Ketika kita menolak pendirian sebuah gereja, pernahkah berpikir hal yang sama bisa dialami warga Islam yang tinggal di daerah mayoritas Kristen? Begitu juga sebaliknya, sulit untuk menerima mengapa seseorang tidak mau menggunakan atribut yang dikaitkan dengan agama lain, padahal menurut kita itu kan sekedar atribut?  Lebay amat sih pakai protes? Pakai minta fatwa?

Seperti dikatakan oleh Obama, produk hukum ada, tetapi tidak cukup. Butuh empati.  Kesadaran solidaritas yang mendasar.

Sulit merasa empati kepada warga yang harus tidur di tenda atau bedeng karena rumahnya digusur. Karena kita tidak mengalaminya. Sulit untuk empati kepada warga yang menerima jatah rumah susun dengan luas terbatas meskipun dibangun baru, masih mengeluh pula, karena kita tidak pernah harus berbagai dua kamar untuk enam sampai delapan orang. 

Sulit untuk berempati terhadap mereka yang harus naik angkutan umum, berganti dua sampai tiga kali untuk sampai ke tempat kerjanya, gara-gara harus pindah ke rusunawa, karena kita tinggal naik mobil atau taksi aplikasi. Dan seterusnya. 

So let’s be vigilant, but not afraid

Di bagian ini Obama menceritakan apa yang sudah dilakukan untuk memberangus dan menangkapi para teroris, termasuk pemimpin Al Qaeda, Osama Bin Laden.  Komitmen pemerintahan AS di bawah kepemimpinannya untuk menundukkan kekuatan Iraqi Syria Islamic State (ISIL), sangat tinggi.

Obama membanggakan bahwa praktis selama delapan tahun di bawah kepemimpinannya, AS aman dari serangan teror kelompok yang membawa bendera agama Islam untuk berbuat kekerasan. Tentu saja sejumlah kekerasan dan tragedi penembakan terjadi di Negeri Paman Sam.

Obama yakin bahwa ISIL terus berupaya membunuh warga yang tak bersalah.  “Tetapi, mereka tidak dapat mengalahkan Amerika, kecuali kita mengkhianati konstitusi dan prinsip kita dalam memeranginya.” Obama. Dia mengingatkan bahwa, kita harus waspada, tapi jangan takut. Let’s be vigilant, but not afraid.

Ancaman lebih besar datang ketika di dalam negeri sendiri terjadi polarisasi, gontok-gontokan, ketimpangan sosial dan ketidakadilan meningkat, sehingga ketidakpuasan makin besar. Kecurigaan antara warga berbeda agama, suku, ras meningkat.  Kepercayaan menurun. Nilai-nilai bersatu dalam keberagaman pudar. Enggak kompak lagi. Serangan dari dalam seperti ini lebih membahayakan ketimbang serangan dari luar.

Bukankah ini juga yang kita khawatirkan terjadi di negeri sendiri?

(BACA : Wawancara Kepala BNPT, Anak Teroris Jangan Dimarjinalkan

If yo’re tired of arguing with strangers on the internet, try  to talking with one of them in real life

Indonesia banget.  Ini problem di era digital. Obama adalah produk presiden di era digital, dan sangat aktif memanfaatkan komunikasi digital sejak masa kampanye untuk menjadi presiden di periode pertama, sampai sekarang.  Dia paham betul bagaimana komunikasi di ranah digital, yang spektrumnya sangat luas.

Komunikasi digital dalam masa rivalitas politik dan sesudahnya menjadi lebih kasar, lebih jahat, melibatkan mereka yang tidak dikenal yang dengan enteng memaki-maki, melibatkan akun bodong alias anonym termasuk pasukan bot mesin.

Komunikasi virtual tanpa tatap muka juga membuat orang merasa lebih berani, lebih kasar dari di dunia nyata.

Solusi yang ditawarkan Obama bukan membuat pertemuan netizen dan menyusun tata krama komunikasi di media sosial. Dia mengajak untuk bertemu langsung dengan salah satu dari lawan debat kita di media sosial, jika kita capek melayaninya di dunia maya.  

Komunikasi tatap muka biasanya lebih berpotensi mencari kesamaan, menempuh sepakat untuk tidak sepakat secara lebih beradab. Lagipula, tatakrama berkomunikasi di internet mestinya sama dengan di dunia nyata. Bayangkan kalau ada yang memaki dengan kata bodoh, dungu dan sebangsanya di dunia nyata.  Saya kok yakin yang bersangkutan minimal dilempar air minum dalam gelas.

Berkomunikasi dengan mereka yang berbeda tidak kalah penting dengan mereka yang sama. Saya ingat saat diminta ikut menjadi delegasi Indonesia dalam berbagai kegiatan dialog lintas agama baik di dalam maupun luar negeri, saya bertanya kepada para pemimpin agama (biasanya kalau dari Islam diwakili oleh pemimpin Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah). 

Ketika diskusi membahas kelompok-kelompok yang konservatif, dan kerapkali menggunakan jalur kekerasan, saya bertanya, mengapa mereka tidak dilibatkan dalam dialog seperti ini?  Sebab interfaith dialogue yang dihadiri oleh mereka yang pahamnya moderat saja, menurut saya ibarat berkhotbah kepada sesama moderat.  Kita sudah paham. Satu persepsi. “Kita perlu menjangkau mereka yang ada di luar ruangan ini.” 

Jadi kalau sekarang kita cuma saling memaki-maki atau pasang status marah-marah di akun media sosial, ya tidak akan ke mana-mana. Apalagi no-mention (catatan buat saya juga).  

Sekarang, semua orang lagi gandrung bicara memerangi informasi HOAX di internet.  Pemerintah, mulai dari presiden, menteri, DPR, polisi sibuk mengingatkan ancaman konten HOAX. Mulai dari yang bermuatan radikal, SARA sampai bernuansa makar.  Pertemuan dengan netizen influencer digelar di mana-mana termasuk di kantor kepala staf presiden.

Apakah pertemuan-pertemuan dengan netizen dilakukan, termasuk di kantor kepala staf presiden. Siapa saja yang dilibatkan?  Apakah hanya mereka yang selama ini dalam kelompok yang sama?  Itu pertanyaan besarnya. Yang perlu dijangkau dan diajak dialog itu termasuk mereka yang ada “di seberang”.  

Sebenarnya ada sejumlah hal menarik lainnya dalam pidato perpisahan Presiden Barack Obama. Termasuk bagaimana dia menitikkan air mata ketika mengapresiasi Ibu Negara Michele Obama. Saya pun terharu. Obama juga menyinggung isu perubahan iklim. Menjanjikan transisi kepemimpinan yang mulus ke pendukungnya, Donald J. Trump, pada 20 Januari 2017, pekan depan. Padahal keduanya saling bertukar kritik pedas saat masa kampanye pilpres lalu.

Lima hal di atas yang saya pilih, karena menurut saya, pesan-pesan itu yang dekat dengan situasi yang kita alami saat ini di tanah air. Pesan kuatnya secara keseluruhan adalah, dari semua perbedaan yang kita miliki, termasuk perbedaan pendapat dan pilihan politik, kita berbagi titel yang sama, tempat terpenting dalam kehidupan demokrasi: warga 

Jika Anda punya catatan lain tentang pidato perpisahan Presiden Obama, silahkan berbagi di sini. – Rappler.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!