Hoax dan kebencian: Ketika akal sehat jadi korban pertama

Geger Riyanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hoax dan kebencian: Ketika akal sehat jadi korban pertama
Hoax, meski berbahaya, tidak bisa dihentikan melalui pemblokiran situs atau pelarangan.

 

Di tengah riuh rendah perihal hoax beberapa waktu terakhir ini, pengajar filsafat di Universitas Indonesia (UI), Rocky Gerung, menyampaikan gagasan yang provokatif namun—seperti biasa—dikemas cerdas dan membersitkan sesuatu untuk dipikirkan secara serius. 

Hoax, betapa pun Rocky secara pribadi tak menyukainya, menjaga nafas demokrasi. Ia menjadi alternatif bagi informasi-informasi media arus utama yang, lebih jauh, memungkinkan perimbangan kekuatan serta kritisisme terhadap penguasa.

Rocky mengajak kita melihat hoax dari konteks yang lebih luas alih-alih sekadar menyikapinya secara tergopoh-gopoh. Saya sangat menghargai gagasan ini dan, memang, argumentasinya sangat masuk akal bila kita mengilas reaksi pemerintah terhadap berita palsu. 

Hoax, jelas, tak bisa dihadapi dengan jalan pintas yang biasa diambil pemerintah—pemblokiran dan pelarangan. Ini akan menjadi preseden buruk bagi realisasi hak-hak sipil di Indonesia. Seperti kita tahu, satu hal ini tengah menggapai titik terpuruknya hari-hari ini.

Namun, pada saat dilihat dari dampak lebih luasnya, sebagaimana dilakukan Rocky, kita pun akan mendapati ada watak berbahaya hoax yang membuatnya tak bisa serta-merta ditafsirkan sebagai udara segar untuk tatanan demokrasi. Ia selalu memuat kumandang peperangan terhadap yang lain. 

Ia, toh, menyebar berkat bersimbiosis dengan sentimen-sentimen tergelap manusia—ketakutan, kebencian, keangkaramurkaan—yang menyebabkan kita tak berpikir dulu sebelum membagikannya kepada yang lain.

Pembuktiannya tidak sulit. Begini saja: hampir tidak ada hoax yang memuat pesan-pesan cinta, bukan? Tidak ada hoax yang memuat kabar yang secara emosional tawar, bahkan. 

Hoax, jelas, tak bisa dihadapi dengan jalan pintas yang biasa diambil pemerintah—pemblokiran dan pelarangan.

Setiap hoax, yang kebetulan mampir ke gawai saya, selalu mengumbar imajinasi kita tengah disandera krisis, kegentingan, ancaman, yang bila tak segera disikapi akan memunahkan kita, entah bagaimana caranya. 

Spektrum ideologisnya boleh jadi sangat beragam. Saat ini, kita tengah diserbu hoax-hoax yang bergandeng dengan sentimen religius. Pada hari-hari lain, kita akan dihadapkan dengan hoax bersentimen nasionalis atau ekonomis. Namun, intinya, ia menyusul dari kemasygulan yang tak pernah bisa diuji secara rasional.

Konsultan digital Buzzsumo menghimpun berita-berita politik Amerika Serikat palsu yang paling banyak dibagikan serta ditanggapi di Facebook sepanjang 2016. Hasilnya, 5 berita palsu teratas memiliki muatan yang membenarkan apa yang sudah disampaikan di sini. 

Berita teratas adalah Obama melarang sumpah setia kepada Amerika Serikat di sekolah-sekolah. Sebuah berita yang jelas memanfaatkan kegamangan nasionalisme kulit putih terhadap Obama yang merajarela sejak pertama kali sang presiden kulit hitam itu terpilih. 

Perkaranya, dalam reproduksi hoax yang bisa jadi sangat masif ini, kebencian-kebencian tak beralasan kepada kelompok lain pun turut tereproduksi secara tak kalah masif. 

Setengah abad sudah berlalu sejak peristiwa 1965, saya tak melihat kita masih punya alasan yang jelas—atau setidaknya secara politis relevan—untuk paranoid terhadap komunisme. Namun, terima kasih kepada hoax pihak-pihak yang berkepentingan menjatuhkan sosok tertentu, komunisme seakan masih bercokol, menyandera pemerintahan, dan siap kembali menguasai Indonesia kapan pun kita lengah. 

Anak-anak yang lahir selepas hegemoni sistematis Orde Baru berakhir pun masih harus terus-menerus terpapar dengan kebencian yang sama dengan yang ditanamkan kepada orang tuanya.

Memang, hoax ini akan terasa jenaka bila kelompok lain yang menjadi sasaran tembak kebencian adalah sosok imajiner—Yahudi, misalnya. Tetapi, kebanyakan dari mereka yang diimajinasikan sebagai musuh eksistensial adalah pihak yang nyata dan dekat dengan keseharian kita.

Jajak pendapat Wahid Institute memperlihatkan, dua dari antara kelompok yang menjadi objek paling dibenci masyarakat adalah Kristen dan Tionghoa, dan, kita tahu, betapa seringnya kelompok-kelompok ini difantasikan sebagai momok menakutkan dalam hoax-hoax.

Hal serupa tak hanya terjadi di sini, tentu. Hoax yang melanda Obama adalah sesuatu yang akan terus-menerus mereproduksi ketakutan para jingois kulit putih terhadap orang-orang kulit warna di Amerika Serikat. Hoax yang melejitkan reputasi Trump—berita Trump menawarkan tiket satu arah untuk orang Afrika dan Meksiko yang mau meninggalkan Amerika, misalnya—pada kenyataannya menempatkan pemerintahan yang rawan melansir kebijakan rasis di pucuk kekuasaan.

Akal sehat, memang, adalah korban paling pertama dari hoax. Puluhan ribu orang dapat seiring seirama mengatakan Indonesia dikuasai persekongkolan yang tak pernah eksis—sebuah pertunjukan ketidakmasukakalan yang menghibur, memang, kalau kita tak mau memikirkannya secara terlalu serius. 

Namun, korban selanjutnya dari hoax adalah kelompok minoritas dan, pada saat ini yang terjadi, pada saat pedang terhunus ke kawula rentan ini, tak ada lagi hal yang bisa kita tertawakan. Berapa banyak kasus pengusiran, pengintimidasian, kekerasan yang ditujukan kepada kelompok-kelompok rentan berawal dari hoax mulut ke mulut yang menyemai ketakutan, kalau kita mau teliti? Banyak, saya yakin. Sangat banyak.

Sayangnya, tak ada jalan mudah untuk mengurai persoalan ini. Poin yang ingin disampaikan Rocky bahwa pelarangan bukan jalan yang akan meretas persoalan sangatlah bisa dipahami. Kita tak bisa membiarkan pemerintah mendapatkan keleluasaan mengancam hak warganya maupun menanamkan informasi yang hanya diinginkannya. Kita sudah mengalaminya di masa silam dan hal itu terlalu menyesakkan untuk diulang.

Kotak pandora sudah terbuka. Menghalau keburukan yang sudah terbebaskan tak akan menjadi pekerjaan satu malam. —Rappler.com 

Geger Riyanto, esais, peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di Universitas Indonesia. Ia dapat dihubungi melalui surel geger255@gmail.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!