Mengurangi kemiskinan dari bawah

Bayu Krisnamurthi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengurangi kemiskinan dari bawah
Harus ada alternatif strategi dan langkah operasional untuk mempercepat pengurangan kemiskinan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam mengurangi kemiskinan semakin berkurang. Tahun 2010-2015 setiap pertumbuhan ekonomi 1% akan berdampak pada pengurangan kemiskinan 0,116%. Namun sejak tahun 2013-2016 pertumbuhan ekonomi 1% tersebut hanya mampu mengurangi kemiskinan sekitar 0,059%.

Kondisi ini menegaskan bahwa pengurangan kemiskinan –juga mengatasi ketimpangan ekonomi– semakin tidak dapat hanya bergantung pada pertumbuhan ekonomi secara makro. Salah satu penyebabnya adalah karena pertumbuhan yang terjadi lebih bersumber pada kegiatan di luar kelompok miskin itu sendiri, pertumbuhan yang datang “dari atas”. Kelompok miskin menerima dampak – yang untungnya sampai saat ini masih positif – dari pertumbuhan yang lebih kecil. 

Harus ada alternatif strategi dan langkah operasional untuk mempercepat pengurangan kemiskinan, dan pada saat yang sama juga meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi agar dapat lebih berdaya guna mengatasi masalah-masalah sosial. Strategi dan langkah operasional itu harus mampu mendorong pertumbuhan dari dalam kelompok masyarakat miskin sendiri melalui peningkatkan produktivitas kegiatan ekonomi mereka dan pengembangan nilai tambah dari kegiatan ekonomi itu.

Pra kondisi

Pengurangan kemiskinan dari dalam kelompok miskin – atau pengurangan kemiskinan “dari bawah” – bukan sesuatu yang bisa diwujudkan dalam sekejap. Injeksi modal kedalam kegiatan ekonomi  kelompok miskin akan sia-sia jika pra-kondisinyanya tidak dipenuhi. Dan menumbuh-kembangkan keberadaan pra-kondisi ini harus menjadi bagian dari strategi baru pengurangan kemiskinan, yang artinya perlu ada investasi yang cukup terkait hal itu.

 

Pertanian dan pedesaan dapat menjadi fokus perhatian utama, karena lebih dari 60% kemiskinan memang terdapat di pedesaan dan terkait pertanian.

Pertama, perlu ditumbuhkan keinginan bagi kelompok miskin untuk keluar dari kemiskinan dengan kekuatannya sendiri. Semangat maju dan mandiri menjadi prasyarat mutlak bagi pengurangan kemiskinan dari bawah. Jika keinginan dan semangat ini tidak ada maka yang terjadi adalah terbentuknya kelompok masyarakat yang hanya mendambakan dan meminta (bahkan memaksa) bantuan dari pihak lain, khususnya pemerintah. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa jumlah mereka cukup banyak, sikap meminta bantuan ini kemudian mudah untuk menjadi “bermuatan politik”.

Kedua, energi sosial positif terkait keinginan untuk maju dan mandiri bersama-sama yang dahulu pernah tumbuh subur diantara masyarakat harus dikembalikan lagi. Semangat saling percaya, bekerja bersama, dan gotong royong, dengan berbagai manifestasinya seperti riungan, arisan, jimpitan dan sebagainya perlu dilahirkan kembali dan dikembangkan. Langkah sistematis, bertahap, dan dengan perspektif waktu yang cukup mendesak untuk segera dimulai karena membangkitkan lagi energi sosial itu tidak instan.

Ketiga, kelompok miskin yang berjumlah banyak dan berskala usaha kecil perlu berorganisasi untuk berdaya bersama. Koperasi, keuangan mikro, BUMDes, atau kelembagaan lokal seperti Nagari dan Subak merupakan contoh organisasi masyarakat yang konstruktif dan produktif. Dengan organisasi keinginan untuk maju mandiri dan energi sosial yang telah terbentuk dapat diarahkan untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama.

Keempat, di era digital yang milenial kelompok miskin perlu meningkat keberdayaannya dengan pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai. Toleransi terhadap kualitas yang tidak sesuai dengan permintaan konsumen semakin sulit diharapkan. Proses produksi dan hasil kegiatan kelompok miskin semakin dituntut untuk dapat memiliki kualitas, konsistensi, dan harga yang sesuai.

Kelima, proses produktif dari kelompok miskin perlu dapat didukung untuk menjadi bagian dari rantai pasok besar yang sudah ada atau yang akan berkembang dimasa depan. Rantai pasok yang merangkai sebagai kegiatan yang menghubungkan produsen dan konsumen serta sekian banyak subsistem diantaranya. 

Teknologi dan sistem – khususnya teknologi informasi dan komunikasi – telah membuka dan memberi kemudahan bagi siapa saja masuk dalam rantai pasok itu. Namun tetap saja hal ini harus dilakukan dan diperjuangkan.

Fokus perhatian

Apabila pra-kondisi diatas dapat dikembangkan dan dikuatkan sebenarnya proses pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sudah separuh berhasil. Dan dalam dunia yang berkembang non-linier seperti saat ini, hal itu dapat berjalan bersama dengan program utamanya. 

Pertanian dan pedesaan dapat menjadi fokus perhatian utama, karena lebih dari 60% kemiskinan memang terdapat di pedesaan dan terkait pertanian. Disamping itu, dalam sejarah 40 tahun terakhir – terutama dari pertengahan tahun 1970an hingga 1990an – pengembangan produktivitas petani miskin, petani gurem, dan buruh tani terbukti telah memberikan dua hasil yaitu penurunan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan.

Luasnya sebaran masyarakat miskin, terutama di wilayah pedesaan, menyebabkan penanganannya tidak dapat – dan tidak perlu – hanya diserahkan pada pemerintah baik pusat atau daerah. Organisasi masyarakat (CSO) dan lembaga swadaya masyarakat dapat terlibat aktif, bisa atas inisiatif sendiri tetapi lebih baik jika bekerja bersama pemerintah. 

Lagipula, masalah kemiskinan dan ketimpangan itu bukan hanya masalahnya kaum miskin dan mereka yang kurang beruntung, tetapi masalah kita semua. Kita semua tanpa kecuali juga harus berusaha untuk mengatasinya. —Rappler.com

 

*Penulis adalah Dosen Agribisnis IPB/Pembina Yayasan Bina Swadaya/Ketum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia/Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag)/Mantan Wakil Menteri Pertanian.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!