Benarkah ajaran Agama Samawi tidak toleran pada perilaku LGBT?

Muhammad Harvan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Benarkah ajaran Agama Samawi tidak toleran pada perilaku LGBT?
Apakah Allah dengan segala belas-kasihNya melaknat sekelompok manusia dengan sifat alami yang Ia ciptakan sendiri?

 

Topik LGBT kembali menjadi perbincangan hangat di tanah air setelah beberapa waktu lalu anggota Komisi III DPD RI Fahira Idris menyerukan agar ormas Islam di Indonesia beramai-ramai memboikot Starbucks. Pernyataan itu ia keluarkan sebagai respon terhadap pernyataan sikap Howard Schult, CEO Starbucks, yang mendukung dilegalkannya pernikahan sesama jenis.

Ajakan memboikot kedai kopi ini bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya, Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), ustadz kondang tanah air sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhid Bandung pernah menyerukan hal yang sama pada 2016. Saat itu Aa Gym menyerukan agar Starbucks diboikot karena mendukung pernikahan sesama jenis.

(Baca: Aa Gym serukan boikot Starbucks karena mendukung pernikahan sesama jenis)

Mungkin kurang menarik jika membahas inkonsistensi mereka yang hanya memboikot Starbucks, tapi tidak memboikot perusahaan lainnya yang juga secara terang-terangan mendukung pelegalan pernikahan sesama jenis, seperti Facebook, Coca-Cola, Google dan banyak lainnya. Atau bahkan ikut memboikot produk keluaran Apple, yang salah satu founding fathers-nya jelas-jelas seorang Gay. Tidak, penulis tidak akan membahas itu.

Yang akan coba diangkat oleh penulis adalah alasan penolakan yang dikeluarkan oleh sebagian orang terhadap perilaku LGBT, dan seringkali, juga dijadikan alasan pembenaran tindakan persekusi dan diskriminasi yang ditujukan terhadap kelompok minoritas tersebut.

Tindakan diskriminatif terhadap kelompok LGBT, salah satunya dilakukan oleh institusi pendidikan tinggi negeri tanah air: Universitas Andalas. Tindakan diskriminatif ditunjukan dengan diberlakukannya persyaratan daftar ulang bagi mahasiswa baru, yang mensyaratkan calon mahasiswa menyerahkan Surat Pernyataan Bebas LGBT. 

Pihak universitas bahkan menyediakan form tersebut. Walaupun kemudian persyaratan ini dihapuskan, kebijakan ini sempat viral di kalangan warganet dan sontak membuat pihak Universitas Andalas mendapatkan kritik hingga kecaman. Namun tidak sedikit juga warganet yang menyatakan dukungannya terhadap kebijakan tersebut.

(Baca: Syarat masuk Universitas Andalas: harus bebas LGBT)

Yang tak kalah kontroversial adalah cuitan di media sosial yang dikeluarkan oleh mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring pada 2016. Ia mengutip  sebuah hadist yang diriwayatkan Ahmad Ibn Hanbal (w.855-56 M), yang kurang lebih berbunyi, “Nabi Muhammad SAW bersabda, siapa yang kalian dapati mengerjakan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah.”

Cuitan tersebut sontak membuat geger media sosial, Tiffatul dituding kelompok pro-LGBT telah melakukan ujaran kebencian yang ditujukan pada kelompok minoritas. Walaupun pada akhirnya Mantan Presiden Partai PKS tersebut menghapus cuitan bermasalah miliknya sembari membagikan artikel dengan nada serupa.

(Baca: Hadits LGBT: Ikut Tifatul atau Muslim-Bukhari?)

Penolakan terhadap kelompok LGBT seringkali berangkat dari dogma Agama yang menganggap perilaku tersebut adalah perilaku menjijikan, tercela, dan bertentangan dengan kodrat Tuhan.  Dari 4200-an agama yang ada dan pernah ada di bumi, Agama Samawi (Islam dan Kristen), adalah agama yang  dinilai paling keras terhadap perilaku homoseksual. 

Sebagai kepercayaan yang dianut mayoritas penduduk Indonesia, dogma ajaran Agama Samawi sedikit banyak mempengaruhi pola pikir dan cara pandang masyarakat Indonesia dalam merespon polemik LGBT di Indonesia. Tak jarang, banyak orang meminjam  “tangan” Allah dan Nabi-Nabinya untuk membenarkan tindakan persekusi dan diskriminasi terhadap kelompok ini. Namun, apa benar demikian?

Perbedaan intepretasi terhadap ayat-ayat Allah

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, penolakan terhadap perilaku LGBT seringkali didasarkan pada firman Allah yang tertuang dalam Al-Quran dan hadist-hadist Rasulullah Muhammad SAW. Ayat yang paling sering digunakan sebagai pembenararan label perilaku menyimpang yang dibenci Allah terhadap perilaku LGBT adalah QS. Al-Araf: 80 yang berbunyi,

Dan (Kami juga telah mengutus Nabi) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan yang sangat hina itu, yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian?”

Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kejahatan itu.”

Ayat suci Al-Quran yang satu ini memiliki kesan koersif yang sangat kuat terhadap kaum Nabi Luth yang dianggap sebagai kaum “zhalim” dengan perilaku homoseksualnya. Sebagian orang mengintepretasikan ayat ini sebagai dasar untuk memberi label fahsiyah (keji, hina) terhadap kaum LGBT dan menolak perilaku menyelisihi fitrah manusia, dan Allah akan melaknat siapa saja yang berbuat demikian.

Hanya saja, apakah ajaran Allah yang terkenal dengan nilai cinta-kasih Nya secara ganas akan membumihanguskan sekelompok manusia yang memiliki karakter “berbeda” dari manusia pada umumnya? Apakah Allah dengan segala belas-kasihNya melaknat sekelompok manusia dengan sifat alami yang Ia ciptakan sendiri?

Ya, penelitian terakhir di dunia psikologi-medis menunjukan bahwa LGBT atau perilaku homoseksual hanyalah salah satu jenis dari orientasi seksual yang secara alami muncul pada seorang individu. World Psychiatric Association (WPA), menyatakan bahwa orientasi seksual adalah bawaan yang ditentukan oleh faktor biologis, psikologis, dan sosial, sehingga mengobati LGBT adalah tindakan yang tidak etis dan bertentangan dengan sains. WHO pun sudah mencabut homoseksual dari daftar perilaku psikologis yang menyimpang.

(Baca: Organisasi Psikiatri Dunia: Istilah ‘mengobati’ LBGT itu tidak etis)

Tentu juga perlu dipahami, jika bertolak pada firman Allah dan hadist Rasul-Nya, intepretasi dan penafsiran yang bisa memicu perbedaan cara pandang tidak akan terelakan. Namun, saya pribadi setuju pada ucapan Anas bin Malik (w. 709 M), salah satu sahabat nabi yang pernah menyatakan bahwa penafsiran yang baik tidak akan mengabaikan aspek pemikiran logis dan saintifik.

Tidak logis jika muslim mencela perilaku LGBT dengan ayat yang kontradiktif dengan sifat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Mengatakan LGBT adalah perilaku menyimpang karena melawan kodrat, pun, bertentangan dengan penemuan dunia sains modern saat ini.

Lagipula, jika saya boleh mengutip tulisan Aan Anshori, Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi dan salah satu aktivis GUSDURian, dirinya mengklaim bahwa dilaknatnya kaum Sodom (kaum Nabi Luth) bukanlah karena mereka komunitas homoseksual – terbukti dari mereka yang beranak-istri- melainkan karena perilaku fahsiyah mereka yang gemar melakukan cara keji guna mengintimidasi orang luar yang dianggap musuh dan merampok harta-benda mereka. Cara keji ini adalah berupa perkosaan anal (anal rape).

Jika mengacu pada konsep patriarki pra-islam, perkosaan anal sesama jenis merupakan bentuk penghinaan tertinggi bagi korbannya, seperti yang seringkali terjadi di kebudayaan romawi saat masih menganut kepercayaan pagan. Lelaki yang menjadi korban praktik ini dianggap tidak lagi pantas dianggap laki-laki karena telah terenggut kelelakiannya (manhood).

Pendek kata, akan lebih logis jika firman surat Al-Araf: 80 dianggap sebagai peringatan bagi praktik perkosaan anal ini ataupun sejenisnya. Karena pada dasarnya, perkosaan, baik dilakukan pada lawan jenis atau sesama jenis, harus dipidana berat karena sifatnya yang koersif dan destruktif.

Keadaan sedikit lebih baik jika dilihat dari sudut pandang sepupu tua dari Islam. Ajaran Agama Kristen, dalam kitab Kejadian: 18:16-33, juga menceritakan hal serupa dengan yang ada di ajaran Islam. Dikisahkan bahwa Tuhan akan menghancurkan Kota Sodom dan Gomora yang diisi oleh orang-orang yang telah melakukan dosa besar. 

Tidak tertulis apakah dosa yang dimaksud adalah perilaku LGBT, meskipun ada tertulis bahwa orang-orang Sodom yang mendatangangi rumah Lot (keponakan Abraham), adalah orang-orang penyuka sesama jenis. Ayat ini menjadi salah satu rujukan bagi para agamawan Kristen untuk mencela perilaku LGBT.

Namun, intepretasi dan pemahaman terhadap ayat ini dilakukan lebih lembut oleh para pemeluk Agama Kristen. Salah satunya Pope Francis, Imam Besar Vatikan, yang mengajak para pemeluk agama Kristen untuk menerima kelompok LGBT sebagaimana adanya dan tidak mendiskriminasi mereka. 

Di Indonesia, hal ini diikuti dengan dirilisnya pernyataan sikap Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) pada 2016 lalu, agar mempertimbangkan kemajuan dunia sains modern tentang perilaku homoseksual dan tetap merangkul kelompok minoritas tersebut.

Jalan panjang persamaan hak minoritas

Kasus diskriminasi dan persekusi, serta stigma negatif yang dilekatkan pada kelompok LGBT hingga saat ini menjadi pertanda bahwa perjuangan kelompok minoritas untuk mendapatkan perlakuan yang sama di mata masyarakat dan negara masih harus menempuh jalan panjang. Kebencian yang sudah mengakar, serta keinginan menghakimi tanpa niat untuk memahami jadi penyebabnya.

Padahal, anda tentu bisa tidak setuju dengan cara hidup mereka, tanpa perlu menghakimi dan menghalangi mereka untuk mendapatkan hak mereka sebagai warga negara pada umumnya: akses ke fasilitas pendidikan, ekonomi, pemerintahan, dan sebagainya.

Sama seperti saya yang tidak setuju dengan cara hidup perokok. Saya benci asap rokok, tapi bukan berarti saya bisa meghakimi anda karena perbedaan dengan cara hidup saya. Saya tidak bisa membuat anda dihukum cambuk hanya karena anda ketahuan merokok di depan saya. Singkat kata, saya bisa saja tidak setuju dengan gaya   anda, tapi saya akan melindungi apa yang menjadi hak anda, selama hal tersebut berada sejalur dengan kaidah dan norma hukum yang berlaku.

Bicara soal hukum, jalan panjang lainnya yang juga mesti ditempuh kelompok LGBT untuk mendapatkan yang seyogyanya menjadi hak mereka: Menikah.

Salah satunya, dikarenakan alasan hukum. Para pakar hukum beranggapan pernikahan sesama jenis bertentangan dengan hukum positif Indonesia, yang salah satunya tercantum pada UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi, sudah dianggap terlarang oleh hukum agama, pernikahan sesama jenis terlarang pula oleh hukum negara Indonesia.

Tapi tak apa, ini Indonesia. Anda tidak boleh menikahi individu sesama jenis walaupun saling cinta dan di bawah persetujuan dua belah pihak, tapi anda tentu boleh menikahi gadis dibawah usia 16 tahun. Menikahi Peri pun juga bisa. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!