Malala, Batman dari Mingora

Muhammad Harvan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Malala, Batman dari Mingora
Malala berjuang untuk pendidikan sejak usia belia

 

Tentu kita mengenali cerita tentang seorang milyuner yang punya segalanya: harta, tahta, kemapanan, dan wanita, namun lebih memilih keluar malam-malam dibanding tidur nyenyak di ranjang super empuk, demi membasmi kejahatan, dan membela apa yang menurutnya benar. 

Seorang manusia biasa saja: tidak lebih kuat dari yang terkuat, tidak lebih cepat, tidak lebih cerdas, mungkin hanya sedikit lebih berani dan lebih banyak punya uang. Tapi lebih daripada itu, sifat manusia nya tidak menghentikan dirinya untuk berbuat lebih: menjadi pahlawan bagi orang banyak.

Pahlawan, maknanya pun sederhana. Bagi saya, pahlawan adalah orang yang rela mengorbankan kenyamanan miliknya hanya agar orang lain, yang membutuhkan, bisa merasakan kenyamanan yang sama dengan dirinya. 

Maka Bruce Wayne, sang milyuner tampan dari kota Gotham, bisa dikatakan sebagai pahlawan. Batman hanyalah persona-nya. Ia tak perlu menjadi sekuat Superman atau secepat The Flash untuk disebut pahlawan.

Dengan definisi sederhana versi saya ini, manusia yang pantas disematkan label “pahlawan” bisa kita temukan pada diri siapa saja: seorang Satpam ATM, seorang petugas kebersihan, tukang antar makanan, para guru, dan orang-orang lainnya. Termasuk, pada diri gadis belia yang tinggal di desa terpencil di negara kelas tiga.

Dunia mengenal Malala Yousafzai, seorang gadis belia asal  Mingora, sebuah kota kecil di Barat Laut Pakistan, yang pantas diberi label “pahlawan pendidikan anak”. Sejak usia belia, gadis ini  mengorbankan kenyamanannya untuk memperjuangkan apa yang menurutnya menjadi haknya dan teman-teman sebayanya: bersekolah. 

Malala telah memulai perjuangannya sejak tahun 2008, saat usianya baru beranjak 11 tahun. Ia melakukan aktifitas perjuangan dengan menyuarakan gagasannya di kota-kota seperti Peshwar, Pakistan. Ia juga menulis surat yang menceritakan keadaan yang dirinya dan teman-temannya alami selama masa pendudukan Taliban di kota tempat mereka tinggal. Aktifitas ini pun menghasilkan banyak dukungan dan membuat dunia internasional menyoroti kondisi yang dialami dirinya dan teman-temannya tersebut. Perjuangnya mulai membuahkan hasil. 

Namun melawan ketidakadilan tidaklah mudah, seperti halnya Martin Luther King dan Nelson Mandela, atau Wiji Thukul dan Munir Said Ali, Perjuangan Malala pun berujung pada pesakitan. Tak sedikit terror dan ancaman pembunuhan yang  ia dan keluarganya dapatkan atas perjuangan yang dilakukan dalam melawan diskriminasi pasukan Taliban yang melarang anak perempuan Pakistan untuk bersekolah. Tak kenal takut, perjuangannya tetap ia lanjutkan. Hingga puncaknya di tahun 2012, saat dirinya ditembak oleh salah seorang anggota Taliban yang membuatnya hampir meregang nyawa. 

Peristiwa tersebut sontak menjadi pemberitaan yang membuat geger hampir di seluruh bagian dunia. Gelombang kecaman dan protes terhadap Taliban, serta dukungan terhadap perjuangan Malala pun mendorong Pakistan untuk menjamin hak bersekolah sebagai hak asasi bagi seluruh anak perempuan di Pakistan.

Setelah pulih dari koma yang cukup panjang, sosok Malala menjadi sorotan. Sebetulnya saya yakin, setelah kejadian memilukan tersebut berlalu Malala telah menjadi pusat perhatian dunia dan mendapatkan banyak hal, mulai dari penghargaan bidang perdamaian yang kembali ia peroleh, tawaran membuat buku, hingga menjadi pembicara di acara-acara pertemuan pemuda, yang tentunya memberikan feedback baik ketenaran maupun uang yang mampu membuat nya merasakan hidup nyaman, Tapi anehnya, ia lebih memilih untuk kembali duduk di kursi pesakitan. melanjutkan apa yang telah ia mulai.

Saya pribadi tidak bisa memastikan apakah Malala pernah membaca gagasan pemikir besar seperti Confucius, Mahatma Gandhi, atau Hellen Keller. Tapi yang jelas gagasan-gagasan para pemikir besar tersebut tumbuh dalam dirinya, menjadi bahan bakar bagi malala untuk terus memperjuangkan hak anak-anak, terutama perempuan dalam meraih pendidikan.

Kini, nama Malala Yousafzai bukan lagi nama yang bisa dipandang secara biasa. Ia adalah nama dari seorang gadis belia penerima penghargaan Nobel Perdamaian termuda sepanjang sejarah, juga segudang penghargaan lainnya di bidang perdamaian dan perlindungan hak anak-anak. Nama Malala, kini menjadi simbol bagi perjuangan melawan ketidakadilan dan kemiskinan yang merenggut anak-anak dari hak mereka meraih pendidikan.

Yang membuat cerita dan pengalaman hidup Malala begitu menyentuh adalah bukan karena itu unik, melainkan karena itu hal yang masih lumrah terjadi. Masih ada jutaan anak-anak diluar sana yang tidak bisa mendapatkan hak nya untuk meraih pendidikan. Tercabut dari hak nya untuk memperoleh kehidupan yang aman dan nyaman, terpaksa meninggalkan rumah mereka dan meringkuk pilu di tenda-tenda pengungsian.

Di negara tercinta kita ini, pun, terjadi hal serupa. Masih banyak anak-anak, terutama perempuan, yang masih tidak bisa mendapatkan hak nya duduk di bangku sekolah. Penyebabnya macam-macam, mulai dari alasan klasik tidak punya biaya, hingga alasan yang absurd: dipaksa menikah.

Maka apa yang diperjuangkan Malala bukan lagi masalah Malala seorang, bukan lagi masalah untuk orang-orang di daerah konflik dan kamp pengungsian saja. Ia juga masalah seluruh manusia yang tinggal di lingkungan yang kental akan budaya patriarki, yang masih memiliki pemikiran terbelakang: bahwa pendidikan bukan hak bagi anak, itu pilihan. Pilihan orang tuanya.

Anggap saja, dunia ini layaknya sebuah kota imajiner buatan Bob Kane dan kawan-kawan, Kota Gotham. Kota dengan peradaban maju dan metropolis, namun korup luar biasa. Kacau. Diisi oleh pemimpin yang tidak kapabel, hukum yang bisa dibeli, si miskin yang malas usaha dan si kaya yang enggak membantu.

Namun keadaan mulai berubah saat salah seorang warga nya yang masih belia memutuskan untuk berdiri dari kursi nyaman nya, dan mengangkat senjata: pulpen dan pena. Ia menyuarakan gagasan nya untuk melawan ketidakadilan yang menimpa banyak orang. Awalnya suara nya kecil, ia sendiri, namun kini suaranya terdengar ke seluruh pelosok dan membuat banyak orang terinspirasi melakukan hal yang serupa.

Ia tidak berjubah dan bertopeng, tapi wajahnya jadi simbol perdamaian dan perlindungan hak asasi bagi anak dan wanita. Maka seperti Batman dan kawan-kawan nya, Malala telah mewariskan ide kepahlawanan yang abadi ke generasi berikutnya. 

—Rappler.com

Muhammad Harvan adalah mahasiswa Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjajaran. Saat ini sedang magang di Rappler Indonesia

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!