US basketball

Ketika Tito kecewa Istri Jenderal tampar petugas bandara

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika Tito kecewa Istri Jenderal tampar petugas bandara
Tito Karnavian mengaku bahwa, 60% dari penilaian kinerja kepolisian ditentukan oleh media, termasuk media sosial

“Blue spanish eyes

Teardrops are falling from your spanish eyes
Please, please don’t cry
This is just adios and not goodbye
Soon I’ll return
Bringing you all the love your heart can hold
Please say si si
Say you and your spanish eyes will wait for me”

Lirik lagu “Spanish Eyes” yang bernuansa perpisahan itu meluncur merdu dari mulut Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian. Vibrasi suara orang nomor satu di kepolisian RI itu bertenaga, lebih mirip ke versi Al Martino, penyanyi yang pernah mempopulerkan lagu ini tahun 1960-an. Lagu ini juga dipopulerkan oleh Engelbert Humperdick dan Elvis Presley.  

Separuh dari ruangan di kediaman resmi Kapolri yang hadir di acara Halal Bi Halal dan silaturahmi dengan pemimpin media pada 12 Juli 2017 itu belum mendengar alunan suara Kapolri Tito. Sebagian lain, para jenderal pejabat utama di Mabes Polri tentu tak asing dengan kemampuan bernyanyi yang tak kalah dengan kemampuan mengejar teroris.  

Sebenarnya, bahwa para jenderal di lingkungan TNI dan Polri piawai menyanyi bukan hal baru. Tapi, saya termasuk yang tak menyangka, Jenderal Tito punya cengkok dan teknik menyanyi yang bagus.

Malam itu Tito nampak rileks. Dia memberikan bonus, lagu kedua, “Walk Away” yang dipopulerkan Matt Monroe. Suaranya lepas, menggelegar. 

Jajaran kepolisian baru merampungkan kerja besar dan berat, menyukseskan operasi Ramadniya 2017, yang tujuannya menciptakan ketertiban dan keamanan, serta kelancaran lalu lintas mudik selama Ramadan dan Lebaran 2017. Operasi ini dianggap sukses, dibandingkan dengan tahun sebelumnya.  

Sukses Mudik 2017, bagaikan kado Hari Bhayangkara ke-71, yang diperingati setiap tanggal 1 Juli.  Tahun ini, Hari Bhayangkara dirayakan pada tanggal 10 Juli 2017, menunggu kehadiran Inspektur Upacara Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang baru tiba mengikuti KTT G20 di Jerman dan kunjungan kenegaraan ke Turki. (BACA: Lima petuah Presiden Jokowi di Hari Bhayangkara 2017)

Polri juga berhasil menggulung jaringan pelaku teror Bom di Terminal Kampung Melayu dan menangkap pelaku teror bom panci  yang berencana meledakkan tiga lokasi di Bandung. (SAKSIKAN: Maut mengintai di balik panci)

Dalam wawancara khusus dengan Rappler, Tito juga menyampaikan bagaimana apresiasi komunitas penanggulangan teroris di dunia atas kinerja aparat kepolisian RI dan untuk aspek pencegahan, kinerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tito pernah menjabat Kepala BNPT sebelum diangkat menjadi Kapolri pada 13 Juli 2016, sekitar 1 tahun lalu. (BACA: Wawancara Kapolri Tito Karnavian, Jangan sampai konflik Marawi mendapat image sebagai konflik agama)

Bukti bahwa negara lain mengapresiasi kinerja Polri di bawah kepemimpinan Tito datang dari Brunei. Akhir pekan ini, Sabtu, 15 Juli 2017, Tito Karnavian menerima Bintang Kebesaran Negeri Brunei Darussalam Paduka Kebenaran Laila Terbilang dengan gelar ” Dato Paduka Seri”.  Penghargaan kepada Tito Karnavian diberikan secara langsung oleh Sultan Haji Hassanal Bolkiah dengan disaksikan tak kurang dari 5 ribu orang dari berbagai negara. Penghargaan diberikan di Istana Nurul Iman.

Pekan lalu Kepolisian juga sukses menggerebek upaya penyelundupan narkoba sabu-sabu sebanyak 1 ton. Nilainya sekitar Rp 1,5 triliun.

Kritik terhadap Polri bukannya tidak ada. Yang paling hangat adalah kritik terhadap lambatnya Polri mengangkap pelaku kekerasan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Novel diserang dengan air keras yang mengakibatkan kerusakan pada kedua matanya, pada 11 April 2017.  

Polisi yang biasanya cepat mengangkap kasus, termasuk dalam kasus serangan teroris, nampak kewalahan mengungkap siapa di balik penyerangan terhadap Novel Baswedan. Dari kubu alumni presidium 212, penyelenggara aksi bela Islam pada 2 Desember 2016, meluncur kritik atas sikap Polri memproses kasus dugaan percakapan bermuatan pornografi yang melibatkan pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Shihab.

Tekad Tito mengurangi arogansi aparat di lapangan, terganggu oleh sikap istri jenderal polisi yang menampar petugas di bandara Sam Ratulangi, Manado.  

“Satu kasus istri jenderal menampar petugas bandara, menjadi viral.  Polisi di-bully, dianggap masih bermental lama, mental arogan,” keluh Tito malam itu, di depan pemimpin media di Jakarta. 

Begitupun, Tito mengapresiasi dukungan publik terhadap polisi baik. Misalnya, polisi yang menolong pemudik yang melahirkan saat di Jalan Jalan Tol Cipali.  

“Ada banyak polisi baik, tetapi begitu ada satu polisi atau keluarganya yang arogan, sangat mempengaruhi citra lembaga ini. (BACA: Masih ada polisi baik)

Tak heran jika Tito mengaku bahwa, 60% dari penilaian kinerja kepolisian ditentukan oleh media, termasuk media sosial. Sebanyak 20% oleh kinerja termasuk penanganan kamtibmas, penanganan konflik sosial dan sebagainya. 

Sisanya yang 20% oleh keberhasilan mengubah kultur, seperti menghapus biaya koruptif, menghilangkan penggunaan kekerasan yang berlebihan dan menekan sikap arogansi dan sewenang-wenang. 

“Manajemen media dan bagaimana menjalin hubungan dengan media sangat penting,” kata Tito.

Tito tidak asing dengan media. Ayah Tito adalah wartawan surat kabar lokal di Palembang, tempat kelahiran Tito. 

Dalam sebuah wawancara yang saya lakukan ketika Tito menjabat Kapolda Papua, dia mengatakan, “Saya melihat bahwa dalam bisnis informasi, kemampuan berkomunikasi sangat penting.” Jadi dengan apresiasi publik, termasuk masyarakat internasional dan negara tetangga itu, mengapa muncul kisah Tito Karnavian ingin pensiun dini? 

Cerita ini muncul pertama kali dalam wawancara Tito dengan Pemimpin Redaksi Kompas, Budiman Tanuredjo yang ditayangkan Kompas TV. Budiman bertanya, “menuju pensiun masih lama, apakah akan merampungkan tugas di kepolisian sampai pensiun?”. Tito menjawab, “Saya tidak berobsesi sampai pensiun, terlalu lama. Tidak sehat untuk organisasi kalau terlalu lama. Karena saya pikir Polri juga butuh penyegaran-penyegaran. Bosan mereka melihat saya terlalu lama.”

Ucapan ini memicu pertanyaan publik, yang diwakili media. Tito kembali mengulanginya saat ditanya wartawan di peringatan Hari Bhayangkara. “Jadi, Kapolri penuh dengan kehidupan yang stressfull,” katanya.  

Karena itu, Tito melanjutkan, jika ada kesempatan untuk pensiun dini, maka ia akan mengambil kesempatan tersebut. “Kemungkinan ada waktu yang saya anggap tepat, mungkin akan pensiun dini,” katanya.

Malam itu, Tito untuk ketiga kalinya menyampaikan soal rencana pensiun dini  yang menjadi bahasan media sejak wawancara Kompas yang ditayangkan 8 Juli 2017. “Supaya tidak ditafsirkan lain, tentu saja maksudnya kalau saya diizinkan dan bukan berarti segera dalam waktu dekat,” ujar Tito. Masa jabatan sebagai Kapolri tentu di tangan Presiden.  

Sebagai jenderal, masa dinas Tito di kepolisian akan berakhir 28 Oktober 2022, saat dia berusia 58 tahun, masih lima tahun lagi. Dalam sejarah sejak tahun 1990-an, hanya Jenderal Da’i Bachtiar yang menjabat selama  lebih dari tiga tahun. Rata-rata menjabat pucuk pimpinan Polri paling lama tiga tahun.

Naiknya Tito, lulusan Akademi Kepolisian Angkatan 1987, ke kursi nomor satu di Trunojoyo, sebutan untuk Markas Besar Polri, juga mendahului beberapa seniornya. Pemimpin Redaksi Jak TV, Timbo Siahaan, yang meliput di kepolisian tiga dekade, menceritakan bagaimana sehari setelah namanya diumumkan sebagai calon kapolri, Tito menyambangi jenderal-jenderal aktif di kepolisian yang lebih senior darinya, untuk meminta restu. 

“Yang pertama kali dikunjungi Pak Tito adalah Wakapolri Budi Gunawan,” kata Timbo ketika saya tanyai.

Menurut Timbo, sejak awal sebenarnya Tito merasa belum saatnya menjadi Kapolri. Dia merasa masih ada yang lebih senior. Lagipula, waktu bagi Tito ke masa pensiun masih cukup lama, enam tahun. 

“Meskipun, semua mengakui bahwa Beliaulah sosok jenderal polisi yang lengkap, sebagai pemikir dan memiliki wawasan luas karena gemar membaca dan sekolah, juga lengkap pengalaman di lapangan becek,” ujar Timbo.  

Lapangan becek yang dimaksud adalah kaya pengalaman penanganan kasus berat di lapangan terutama kasus terorisme. (BACA: 5 Hal yang perlu kamu ketahui tentang Tito Karnavian)

Tapi Presiden Jokowi melihat potensi Tito dan menganggap usia muda bukan halangan. Tito bukan kapolri termuda sejak tahun 1990-an. 

Kapolri Dibyo Widodo menjabat di usia 49 menuju 50 tahun, pada Maret 1996. Dibyo mengakhiri masa tugas sebagai kapolri pada Juni 1998. Setelah itu dia masih bertugas sebagai perwira tinggi di Mabes Polri sampai usia pensiun. Kapolri lainnya biasanya mengakhiri masa jabatan ketika memasuki usia pensiun.

Tito nampaknya tidak ingin menempuh jalan yang diambil Dibyo Widodo. Passion-nya adalah sekolah, pendidikan.  

“Bisa menjadi pembicara di dalam maupun di luar negeri. Menjadi research fellow di almamater saya, misalnya di Nanyang Technology University, Singapura,” ujar Tito.  

Di NTU, selama lima tahun Tito menempuh pendidikan doktoral. Dia lulus tahun 2013 dengan gelar PhD dalam Studi Strategis bidang Terorisme dan Radikalisasi Islam di Rajaratnam School of International Studies, NTU dengan predikat magna cum laude. 

Saya pernah melihat Tito memberikan paparan mengenai terorisme kepada 38 mahasiswa Stanford Graduate Business School yang berkunjung ke Indonesia, pada tahun 2012.  Anak-anak mahasiswa pilihan dan sebagian besar datang dari keluarga terkemuka di negaranya masing-masing itu menyimak paparan Tito. Terkesima.  

Pensiun dini dari dinas kepolisian setelah selesai masa tugas sebagai Kapolri, memang membuka peluang lebih besar bagi Tito untuk mengabdi di bidang lain, seraya tetap mendalami bidang yang selama ini membuatnya masuk dalam deretan ahli anti teror terbaik di dunia.  

“Saya juga perlu waktu lebih banyak dengan keluarga, karena sekian lama mereka sering berpisah, saya tinggal bertugas,” ujar Tito. 

Untuk alasan keamanan, anak-anak Tito memang bersekolah di negeri tetangga.

Malam itu, Tito menceritakan masa ketika dia menjadi mahasiswa doktoral di Singapura.  Beasiswanya sekitar 5.600 dolar Singapura per bulan.  

“Bagi yang tahu, kita bisa berhemat  hidup di Singapura. Jangan belanja di daerah Orchard Road dong,” ujarnya sambil tergelak. 

Tito dan keluarga biasa belanja di pinggiran kota, dengan harga sangat murah. Singapura memberikan subsidi besar untuk pendidikan. Jadi, anak-anak Tito bisa sekolah dengan biaya jauh lebih murah ketimbang biaya bersekolah di sekolah favorit di Jakarta.  

“Ke sekolah, karena sistem rayon, jadi dekat. Anak-anak jalan kaki saja dari apartemen ke sekolah,” ujar Tito. 

Dari beasiswa Tito bisa menyicil membeli apartemen. Ini dilaporkan dalam laporan kekayaan pejabat negara.

Masa-masa di kampus, di lingkungan dunia pendidikan itu yang membuatnya kangen kembali ke sana. Mengajar dan menulis buku. 

Pengalaman hidup dan pekerjaan sangat kaya. Satu tahun menjadi kapolri, Tito dihadapkan kepada sedikitnya tiga aksi massa yang besar di ibukota Jakarta, yang berakhir dengan damai.  Sementara ancaman teror dan konflik sosial terus menganga dan bahkan kian mengeras belakangan.

“Jadi kapolri di Indonesia itu mungkin nomor dua yang terberat di dunia setelah Tiongkok.  Ini dari luasnya aspek wilayah kerja dan kompleksitas masalah. Tapi di Tiongkok kan negara sosialis, sementara di Indonesia kita harus di koridor demokrasi. Lebih banyak tantangannya.  Lebih stressfull,” kata Tito.

Lepas dari stressfull pula yang menjadi alasan Tito tak ingin masuk ke dunia politik. Selain mengaku tak punya gen politik, dunia politik penuh dengan konflik yang bisa membuat orang bermusuhan. Padahal, di tingkat elit politik, ada yang menyebut Tito sebagai salah satu yang layak mendampingi Jokowi jika maju kembali di Pemilihan Presiden 2019

Jadi, jika Presiden Jokowi mengabulkan keinginan Tito untuk pensiun dini setelah menjabat beberapa waktu, sebagaimana rata-rata jabatan kapolri lainnya, mungkin kita tak akan sesering sekarang melihat Tito di media, di televisi.  Yang jelas, publik masih menagih penuntasan sejumlah kasus.  

Lalu, sebagaimana lirik “Spanish Eyes”, This is just adios, and not goodbye.  And soon, jika negara membutuhkan sebagai sebagai pendidik, sebagai pakar anti terorisme dan deradikalisasi, he will return. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!