Indonesia

Laporan tindak intoleransi beragama dan berkeyakinan 2016 meningkat

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pertama kali Jakarta termasuk provinsi intoleran.

  

JAKARTA, Indonesia — Angka tindakan intoleran di Indonesia meningkat pada tahun 2016. Hasil survei Setara Institute selama tahun lalu mencatat ada 208 peristiwa kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang dibarengi 270 tindakan.

Angka tersebut meningkat bila dibandingkan pada tahun 2015, di mana tercatat ada 197 peristiwa dan 236 tindakan. “Ini meningkat signifikan bila dibanding tahun lalu,” kata peneliti Kebebasan Beragama Setara Institute Halili di Jakarta pada Ahad, 29 Januari 2017.

Hal yang patut diperhatikan lainnya adalah masuknya Jakarta sebagai salah satu daerah dengan peristiwa intoleran terbanyak. Sebelumnya, Jakarta tidak pernah masuk dalam sepuluh besar. Namun, tahun ini ia berada di peringkat kedua dengan 31 peristiwa.

Peringkat pertama masih diduduki Jawa Barat dengan 41 peristiwa, dan ketiga adalah Jawa Timur dengan 22 peristiwa. Peneliti Setara Institute Sudarto mengatakan masuknya Jakarta disebabkan isu agama yang dipolitisasi.

MENINGKAT. Laporan tindak intoleransi pada 2016 dari Setara Institute.

“Pilkada atau politik yang memanfaatkan isu agama,” kata dia. Ia merujuk pada peristiwa penodaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Dugaan tersebut berakibat pada demonstrasi besar-besaran yang menuntut Ahok dipenjara.

Pemerintah lemah

Sudarto dan Halili menilai peran pemerintah masih minim. Akibatnya, tingkat represifitas atas pemeluk agama dan keyakinan minoritas tetap tinggi.

“Katalisator umum pelanggaran kelompok minoritas adalah menguatnya kelompok intoleran serta lemahnya kebijakan dan regulasi negara,” kata Halili.

Ia menilai, selama dua tahun pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, belum ada perbaikan signifikan dari sisi kebebasan beragama. Saat ini, lanjut Halili, fokus pemerintahan memang masih pada kebijakan berkaitan dengan pembangunan ketimbang hak beragama.

“Mungkin bagi mereka isu ini wajar saja sehingga dikesampingkan,” kata dia.

Meski demikian, belakangan ini sudah muncul beberapa kepala daerah yang berani melawan perilaku intoleran. Seperti Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang menindak ormas penolak KKR di Sabuga ITB; atau Bupati Bantul Suharsono yang menolak mencabut camat non-muslim atas desakana masyarakat.

Lantas, apakah itu tidak berarti sudah ada perubahan berarti di Indonesia? “Memang ada, tapi sangat minor. Di luar mereka, banyak sekali bupati dan walikota yang perspektif kebinekaannya lemah, bahkan mereka bangga ketika melakukan tindakan diskriminatif, seperti yang dilakukan oleh Bupati Bangka terhadap Jemaat Ahmadiyah di sana,” kata Direktur Setara Institute Hendardi kepada Rappler pada Senin, 30 Januari 2017.

Masih ada banyak tugas yang harus dilakukan, seperti mengawasi peraturan tingkat lokal yang memicu terjadinya tindak intoleransi; hingga politisasi isu agama.

Data Setara menyebutkan, tindak diskriminatif tidak melulu soal kebijakan, tetapi juga dalam bentuk pernyataan yang mengandung provokasi. Juga tindak pembiaran yang masih kerap terjadi.

Hasil survei menyebutkan, pelaku tindakan diskriminatif terbesar adalah aparat negara, yakni 140 tindakan. Sementara 42 tindakan oleh warga dan 30 oleh ormas.

Kebanyakan tindak diskriminatif dari aparat pemerintah adalah pembiaran. Seringkali mereka diam saat kelompok intoleran menekan ataupun melarang minoritas untuk berkegiatan.

“Karena itu Polri seringkali menjadi institusi yang terkena dampak dan tuduhan pembiaran. Sebagai hilir dari persoalan keamanan, tidak bisa dielakkan,” kata dia.

Meski demikian, Hendardi mengakui ada perubahan terlihat sejak awal Januari 2017. Sejumlah kepala daerah, institusi Polri, dan lembaga kepresidenan telah mulai menunjukkan sikap tegasnya pada pembelaan kemajemukan.

Jokowi berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional, meski masih kontroversial. Sementara Polri, melalui sejumlah Kapolda, telah menunjukkan langkah pemulihan supremasi hukum dan konstitusi dengan komitmen menegakkan hukum atas kelompok intoleran.

“Dukungan Kapolri pada Polda-Polda tersebut merupakan momentum bagi masyarakat sipil untuk juga memberikan dukungan terbuka pada institusi Polri, pemerintah daerah, pemerintah pusat untuk secara terus menerus menjaga momentum ini untuk memperkuat kemajemukan,” kata dia.

Sebagai catatan, pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sepanjang 2016 paling banyak menimpa kelompok organisasi keagamaan Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) yaitu dengan 36 peristiwa; posisi kedua adalah individu warga negara sebanyak 33 peristiwa; jamaah Ahmadiyah Indonesia sebanyak 27 peristiwa; dan Syiah 23 peristiwa.

Laporan kondisi kebebasan beragama atau berkeyakinan ini merupakan yang ke-10 dari Setara Institute. Pemantauan dan pengumpulan data dilakukan lewat wawancara, analisa dokumen, FGD, hingga check list.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!