Kepemimpinan kuat Prabowo, demokrasi, dan politik koalisi

Indra A. P.

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

'Seorang pemimpin bisa demokratis, tapi tetap bersikap kuat dan tegas secara bersamaan.'

(An English translation of this opinion piece can be found below.)

Meskipun sering melakukan retorika atau berorasi dengan berapi-api, perkataan maupun tindakan Prabowo tidak serta merta harus kita tafsirkan sebagai sikap anti-demokrasi. Lagipula ia tidak bisa memutar kembali tatanan demokrasi Indonesia yang sudah berjalan. Kita telah mengalami kemajuan yang sangat jauh untuk dia, atau siapa pun, untuk berbalik arah. Kita memiliki cukup checks and balances untuk mencegah berbaliknya arah demokrasi kita, pertama di konstitusi kita sendiri, kemudian sistem pengadilan, termasuk Mahkamah Konstitusi, dan akhirnya dalam masyarakat sipil kita. Setiap upaya untuk memperkuat kekuatan individual yang memperlemah institusi kita selalu secara konsisten ditentang baik oleh Pengadilan maupun masyarakat. Kepresidenan Prabowo adalah kepresidenan yang memimpin dengan arahan dan konsistensi dari atas sampai bawah. Namun demikian kekuasaannya akan terbatas pada ranah eksekutif.

Saya berhutang klarifikasi kepada setiap pembaca tulisan saya sebelumnya mengenai apa yang saya maksud dengan memimpin dengan keyakinan (leadership by conviction). Memimpin dengan keyakinan berarti memprioritaskan agenda dan berkomitmen untuk melaksanakannya secara tuntas dan menyeluruh. Karena bagaimanapun, politik adalah kepanjangan dari keterbatasan atas sumber daya. Kita tidak dapat melakukan semua hal sekaligus. Prabowo berpegang teguh pada kebijakan dasar yang sama sejak pemilihan presiden tahun 2009, yaitu menekankan pada ekonomi berbasis kerakyatan dan memposisikan negara untuk mendistribusikan kekayaan Indonesia. Namun lebih dari apapun, memimpin dengan keyakinan berarti hanya berkompromi apabila dengan berkompromi manfaat yang didapat lebih tinggi daripada tidak. Memimpin dengan keyakinan bukanlah untuk menyenangkan semua orang tanpa akhir. 

Memimpin dengan keyakinan bukanlah berarti memperlemah lembaga atau sistem demokrasi kita. Memimpin dengan keyakinan juga bukanlah berujung pada pemusatan kekuasaan di eksekutif maupun melemahkan checks and balances. Seorang pemimpin bisa demokratis, tapi tetap bersikap kuat dan tegas secara bersamaan. Margaret Thatcher berkomitmen untuk mengubah Inggris menjadi ekonomi berbasis layanan dan melepaskan negeri tersebut dari belenggu serikat pekerja. Lee Kuan Yew menciptakan Singapura modern dari visi tunggal terfokus dan berkomitmen untuk itu. Mereka berdua mempimpin dengan keyakinan, melepaskan orang-orang tidak tegas dari kereta kepemimpinan mereka.

Ketakutan pengecam Prabowo bahwa ia akan menjadi seorang diktator tentunya sangat beralasan, tetapi kurang pada tempatnya. Saya mengamati sejarah negara-negara, terutama bagaimana diktator-diktator di abad ke-20 menjadi berkuasa. Saya tidak sepakat kondisi di Indonesia memungkinkan siapapun untuk menjadi seorang diktator, apalagi hanya dengan menjabat presiden. 

Untuk seorang diktator bisa berkuasa, perlu tiga hal ini secara kumulatif: (1) dukungan militer; (2) dukungan rakyat dan (3) pemusatan kekuasaan. Sebagai contoh, Hitler baru benar-benar berkuasa mutlak saat angkatan bersenjata Jerman bersetia penuh pada dirinya, mayoritas rakyat Jerman mendukung pemusatan kekuasaan pada dirinya, dan institusi pengadilan Jerman tunduk pada program nazifikasi-nya. Mao Zedong bisa mempertahankan kekuasaannya pada saat Revolusi Kultural di tahun 1970 karena rakyat Tiongkok mendukung dirinya secara pribadi. Abdel Fath Al-Sisi di Mesir pun bisa membungkam saingan-saingan politiknya karena rakyat Mesir sendiri menghendakinya.

Hal ini tidak mungkin diterapkan di Indonesia, apalagi dalam kurun waktu 5 tahun. Untuk menjadi diktator, seorang presiden Indonesia memerlukan untuk mengubah peta konstitusi kita dan memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri. Dia harus melemahkan pengadilan kita, KPK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan sejumlah lembaga independen lainnya. Dia harus mendapatkan dukungan dari angkatan bersenjata, yang sangat tidak mungkin mengingat TNI tidak lagi bersumpah setia kepada seoarang individual. Pun kenaikan pangkat seorang perwira TNI tidak lagi ditentukan pada kedekatannya dengan seorang penguasa. Tetapi yang terpenting, Prabowo membutuhkan masyarakat untuk mendukung dia. Sebaliknya, rakyat Indonesia ternyata selalu dan telah berhasil menentang setiap upaya pelemahan institusi maupun demokrasi yang dilakukan oleh siapapun baik itu seorang presiden, maupun DPR.  

Kekhawatiran publik akan adanya terlalu banyak kepentingan di dalam koalisinya tentu sangat beralasan dan sah. Maka kita perlu perdalam pengertian kita atas hal ini. Tidak seperti demokrasi parlementer, Presiden Indonesia tidak memerlukan dukungan Parlemen untuk dapat membentuk pemerintahan yang stabil. Ia juga tidak akan terbelenggu oleh gaya sistem persetujuan anggaran seperti di Amerika, yang mengharuskan persetujuan legislatif agar APBN dapat disetujui – apabila DPR menolak APBN satu tahun anggaran, maka otomatis APBN tahun lalu akan berlaku. Bahkan dalam situasi ekstrim di mana ia menemukan partainya sendiri di DPR, ia masih bisa mengandalkan kekuasaan eksekutif yang bedasarkan pada legislasi primer (undang-undang). Presiden dan pemerintahannya memiliki kewenangan konstitusional yang cukup untuk melaksanakan undang-undang yang telah ada melalui peraturan pelaksana (contohnya: Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri). Hal ini berarti seorang presiden tidak perlu selamanya bermanis-manis terhadap kepentingan koalisinya. Apabila ada anggota koalisinya yang nyeleneh, misalnya korupsi,sang presiden tidak perlu membelanya, tinggal serahkan ke KPK. 

Sistem yang ada di Indonesia saat ini memungkinkan seorang presiden untuk memimpin dengan keyakinan tanpa memperlemah sistem demokrasi kita. Gerakan politiknya akan terbatas pada ranah lembaga eksekutif. Setiap peraturan yang ia undangkan harus melalui proses berdasarkan delegasi wewenang dari DPR. Maka pertanyaan sesungguhnya adalah: gaya kepemimpinan manakah yang paling efektif untuk konstelasi politik saat ini?

Jokowi, berdasarkan tolak ukur tersebut, adalah seorang yang terkesan plin-plan. Dia meninggalkan Solo dan untuk memerintah Jakarta di tengah-tengah masa jabatannya yang kedua. Sekarang, dia meninggalkan Jakarta tanpa menyelesaikan masa jabatan pertamanya meskipun telah membuat pernyataan publik sebaliknya. Dia menerapkan sistem plat nomor mobil ganjil-genap, yang kemudian dia lepaskan begitu saja. Dia begitu yakin untuk membatalkan kontrak air Jakarta. Sekarang ia mengambil posisi untuk mempelajari kontrak-kontrak pemerintah sebelum mengambil keputusan tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Sebelum debat Capres tanggal 5 Juli dia begitu yakinnya Koperasi sudah tidak tepat untuk Indonesia. Lalu seolah kata-kata tersebut tidak pernah terucap, ia ubah posisinya menjadi membela koperasi Indonesia.

Sebagai perbandingan, Prabowo tegas menolak tawaran Presiden SBY untuk bergabung dalam pemerintahannya karena orientasi politik dan prinsip-prinsip pemerintahan SBY dianggap tidak sefaham.

Kita tidak bisa lagi berada dalam ketidakpastian dalam lima tahun ke depan. Selama menjadi ahli hukum perdagangan, saya telah banyak melalui pertemuan yang tak terhitung jumlahnya. Saya memahami negosiasi untuk mencapai kesepakatan memerlukan konsensus. Tapi saya juga tahu bahwa di waktu tertentu, para pelaku usaha akan kelelahan dari diskusi yang tak berujung dan tidak ada hasilnya. Seorang pemimpin yang kuat mengetahui apa yang menjadi prioritasnya, mana yang realitstis dan mana yang merupakan angan-angan belaka.

 

Prabowo menunujukkan bahwa dia mengerti dirinya hanya memiliki mandate selama 5 tahun. Maka dia memprioritaskan programnya kepada sesuatu yang realistis, yaitu pertanian untuk mempekerjakan 40% pekerja yang bekerja di bidang pertanian kita dalam waktu singkat (lihat di bawah). Kita, seperti bangsa lainnya, memiliki sumber daya terbatas dan kita tidak bisa memenuhi semua tuntutan. Kompromi memperlemah kebijakan. Kebijakan yang lemah berujung pada peraturan perundang-undangan yang tidak dapat diterapkan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengetahui apa yang realistis dan apa yang tidak. Negosiasi akan menjadi langkah pertama tapi harus ada titik cut-off. Kita tahu Capres mana yang mendapat dukungan paling banyak di DPR, dan oleh karenanya yang paling dapat melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan.Hal yang perlu diperhatikan berikutnya adalah capres mana yang menunjukkan sikap tegas dan dapat mengambil keputusan.

Siapapun nantinya Presiden yang akan terpilih, ia harus segera membangun sistem baru. Akan tetapi membangun sebuah sistem yang intinya adalah menunujuk orang yang tepat untuk posisi yang tepat. Prabowo jelas tidak mungkin menjadi pemimpin Kopassus jika ia tidak menunjuk dan mengandalkan bawahannya yang kompeten. Juga tidak mungkin ia memimpin begitu banyak operasi yang berhasil apabila kenaikan pangkatnya berdasarkan kedekatan dia pada kekuasaan. Terlepas dari militer, ia memiliki track record dalam menunjuk atau mencalonkan orang berdasarkan kompetensi. Prabowo-lah yang mencalonkan Ahok untuk berpasangan dengan Jokowi untuk menjadi wakil Gubernur Jakarta.

Sebagai perbandingan, Jokowi tampaknya tidak dapat mengendalikan  bawahannya. Penyelidikan atas pengadaan Bus Transjakarta menunjukkan ia bahkan tidak memahami berkas apa yang telah atau belum diserahkan kepada KPK. Pembenarannya? Dia memberi perintah kepada bawahannya dan bawahannya tidak mengikuti seluruh prosesnya. Ini memberikan gambaran yang sangat mengkhawatirkan. Melempar kesalahan kepada orang lain dan kurangnya akuntabilitas pemerintahan adalah salah satu hal yang disayangkan dari pemerintahan SBY. Seorang presiden harus bertanggung jawab atas bawahannya, sebab titik ujung tanggung-jawab berada pada sang presiden.

Ketahanan pangan 

Saya setuju bahwa pertanian Indonesia tidak sebaiknya menjadi keunggulan komparatif jangka panjang. Tapi pergeseran keunggulan komparatif membutuhkan waktu. Pertanian mempekerjakan 39% tenaga kerja yang ada di seluruh nusantara. Rakyat Indonesia yang lain membutuhkan makanan dengan harga terjangkau. Presiden berikutnya di Indonesia memiliki 5 tahun untuk mewujudkan hal ini. Untuk itu, ia harus fokus terutama pada pertanian sambil membangun kemampuan tenaga kerja sebagai langkah pertama dalam pergeseran keunggulan itu. Dari dua calon presiden, tampaknya hanya Prabowo yang memahami bahwa agar bangsa ini dapat terus maju, kita perlu mengontrol sendiri ketahanan pangan. Segala sesuatu yang lain akan berakar dari sana.

Pertama, impor pangan saja tidak akan berujung pada ketahanan pangan. Impor hanya bisa memberikan kita ketahanan pangan jika daya beli masyarakat cukup tinggi untuk melindungi dari kenaikan harga pangan dunia. PDB rata-rata orang Singapura adalah $64.584 setelah disesuaikan dengan PPP, lebih dari 12 kali lipat PDB orang Indonesia yaitu $5200. Per statistik BPS, antara tahun 2005 dan 2013 rata-rata rumah tangga Indonesia menghabiskan sekitar 50% pendapatannya untuk makanan, dibandingkan dengan Singapura yang hanya berkisar 20%. Kenaikan 10% harga makanan menjadi beban tambahan 5% penduduk Indonesia, yang pendapatannya sudah tertekan. Belah statisktiknya, dan terlihat gambaran yang lebih mengenaskan lagi. 15% masyarakat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, menghabiskan 80% pendapatannya untuk pangan. Terapkan hitungan ekonominya dan lihat bagaimana rentannya kebanyakan orang Indonesia terhadap kenaikan harga pangan. Harga dunia pun terus meningkat dan kita acap kali berada pada posisi yang dirugikan. Bukan suatu kebetulan bahwa unjuk rasa yang menuntut kenaikan upah, biasanya didahului kenaikan harga pangan global. Terakhir, jumlah banyak kebutuhan pokok kita yang diimpor.

Kita tidak sendirian untuk mencoba melepaskan diri kita dari ketergantungn impor makanan. Negeri yang memiliki tanah subur seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa menghabiskan miliaran dolar untuk subsidi pertanian sementara mereka juga mempersulit impor. Kita semua telah mendengar ungkapan “sapi Uni Eropa menerima subsidi lebih dari yang petani Afrika hasilkan”. Negeri yang lahan pertaniannya sedikit, misalnya negara-negara Timur Tengah, memperoleh lahan di luar negeri untuk menanam bahan pangan dan diimpor kembali. Mengapa? Peningkatan populasi global bertambah lebih cepat dari pada produksi pangan dunia. Idealnya, negara-negara akan saling berdagang. Namun dalam kenyataannya, pemerintah mereka akan memikirkan perut warga negara mereka dahulu sebelum kita.

Kedua, perubahan keunggulan komparatif jelas sangat membutuhkan waktu. Saya setuju dengan destruksi kreatif (creative destruction) dan pertanian perlu diefisienkan. Tetapi itu membutuhkan proses waktu, dan negara harus menengahi untuk memperlunak imbasnya terhadap rakyat. Ekonomi Singapura di tahun-tahun awal kemerdekaan berbasis industri ringan skala kecil dengan teknologi rendah. Pada tahun 1960, Korea Selatan dianggap selamanya kompetitif hanya untuk menghasilkan beras. Contoh sukses lainnya dari AS yang sebagian besar berasal dari pertanian hingga pertengahan abad ke-19. Industrialisasi hanya mungkin terjadi dengan adanya ketahanan pangan. Revolusi Industri Inggris terjadi sedikit banyak karena ketahanan pangan sehingga dapat menyuplai masyarakat perkotaan. Ya, sebagian besar makanan memang diimpor tetapi karena mereka memiliki keunggulan komparatif untuk mengimpor pada saat itu dan sekarang.

 

Ketiga, mari kita kaitkan harga pangan yang terjangkau dengan ekonomi kreatif Jokowi. Dari sisi permintaan, ekonomi kreatif berkembang hanya jika adanya daya beli lebih setelah kebutuhan dasar tercukupi. Harga pangan yang terjangkau dan stabil membuat pendapatan meningkat lebih cepat daripada inflasi, yang berujung pada meningkatnya taraf hidup. Dari sisi penawaran, sebagian besar ekonomi kreatif berpusat pada sektor kuliner. Tidakkah harga makanan yang tidak fluktuatif dan murah berujung pada margin yang lebih tinggi? Tidakkah vendor dan outlet menjadi memiliki lebih banyak dana untuk dibelanjakan pada segmen lain dari sektor kreatif, seperti periklanan, desain dan dekorasi?

Jokowi, di sisi lain, tampaknya kurang memahami bahwa kebijakan ekonomi unggulannya bergantung pada ketahanan pangan. Menjabat sebagai gubernur beberapa tahun lagi sangatlah baik untuknya.

 

 

 

Pemasukan APBN 

Prabowo berencana untuk menutup kebocoran dalam perekonomian kita: yang beliau jelas tekankan adalah memastikan bahwa semua orang membayar pajak sesuai dengan taraf yang berlaku. Ia belum menyatakan bahwa ia akan menetapkan pajak baru. Think-tank-nya menulis sebuah kajian kebijakan, diterbitkan sebagai buku, dan ia secara konsisten berpegang pada posisi tersebut. 

Dalam pajak, tidak kah adil apabila saya berpendapat setiap orang harus membayar sesuai kewajibannya? Dengan statistik dari pemerintah kita sendiri, pajak hanya menyumbang 12% dari PDB kita, dibandingkan dengan rata-rata 16% negara-negara ASEAN. Saya tidak suka pajak seperti orang lainnya. Tetapi pajak mendanai pendidikan bangsa kita, yang sangat kita butuhkan untuk bertransisi ke ekonomi berbasis SDM unggul, dan pajak juga membiayai sistem kesehatan Jokowi ajukan, yang dia sendiri belum sebutkan bagaimana mendanainya. Tapi apa yang lebih mengesalkan dari pajak? Ketika orang lain tidak membayar pajaknya karena sistem yang tidak dapat melacaknya.

Prabowo hanya berusaha untuk memastikan bahwa setiap orang membayar pajak sesuai dengan hukum yang ada. Sebagai perbandingan, Jokowi berencana menaikkan pajak yang baru, tanpa memastikan pajak yang sudah ada dapat diperlakukan dan telah dibayar semua orang. Ya, pilihan kata-kata Prabowo memang abstrak. Tapi ia tidak hanya berbicara kepada pengacara dan ekonom. Ia berbicara kepada seluruh bangsa dan ia harus berbicara kepada semua orang. – Rappler.com

(Below is the English version)

Prabowo’s strong leadership, democracy, and coalition politics

Despite his fiery rhetoric, Prabowo Subianto’s words or action should not be interpreted as anti-democracy. He cannot roll back our democracy. We have progressed much too far for him, or anyone, to reverse course. We have sufficient checks and balances, first in our Constitution, then in the court system (including the Constitutional Court), and finally, in our civil society. Any attempt at strengthening individual power at an institution’s expense has been consistently opposed by the Court and by the masses. His presidency will see a streamlined executive who will govern with direction but his power will be confined in the executive realm.

I owe every reader clarification about what I meant with leading by conviction in my previous writing. Leading by conviction means prioritizing your agenda and committing to it. Politics, after all, is the extension of scarcity of resources – we cannot promote everything. Prabowo has stuck to his same fundamental policy during the 2009 presidential election: trickle-up, grassroots-based economics while positioning the state to redistribute income. But more than anything else, leading by conviction is compromising only where there is more to be gained out of it. It is not about endless appeasement.

Leading by conviction is not about dismantling our institutions or the democratic system. Neither is it about concentrating power in the executive branch nor diluting checks and balances. A leader can be democratic, but strong and decisive at the same time. Margaret Thatcher was committed to transforming Britain to a service –based economy and unshackling the nation from labour union stranglehold. Lee Kuan Yew created modern Singapore out of a single-focussed vision and committed to it. They both led by conviction, dropping ditherer out of their bandwagons.  

I believe that his detractors’ fears that he would become a dictator is valid but rather misplaced. I observe the history of nations, in particular the rise of dictators in the 20th Century. I do not agree that any one person could become a dictator, particularly if he was just a serving president.

For a dictator to rise to power, these three conditions are cumulatively requisite: (1) military support; (2) popular support; and (3) concentration of power. As an example, Hitler’s dictatorship was only made possible when the German military swore personal allegiance to the fuhrer’s office, the German majority supported concentration of power in him, and the judiciary was subjugated to its nazification programs. Mao Zedong maintained his power during the Cultural Revolution because the Chinese people supported his person. Abdel Fath Al-Sisi of Egypt silenced his political rivals because the people of Egypt voted for his programs.

 

This is a practical impossibility in Indonesia, especially in five years. A president would have to change our constitutional constellation and confer more power to himself. He would have to amend our Constitution. He would have to weaken our judiciary, the Corruption Eradication Commission (KPK), the State Auditor (BPK), and numerous other independent institutions. He would have to get our armed forces on board – unlikely since it no longer swears personal allegiance and officer promotion is no longer based on patronage. But above all, he would need the public to support him. On the contrary, the public has invariably and have successfully opposed any attempt at institutional weakening by anyone, be it a president or the legislature (DPR).

The concern that too many interests exist in his coalition is certainly valid. However, this is only half the truth. Unlike in a parliamentarian democracy, an Indonesian president does not have to command parliament’s confidence to remain in office. Neither is he shackled by a US-style budget approval system, requiring both houses to vote. Even in the extreme situation where he finds his party alone in the DPR, he can still rely on the executive power vested in primary legislations (undang-undang). Reading most of our existing laws, the president and his government have enough constitutional authority to pass delegated legislations. Indonesia’s current system thus allows a president to lead by conviction without dismantling our democracy. His effort will be squarely limited within the executive realm. Any legislation his office passes will be based on delegation by the DPR.

The real question, then, is: which leadership style is effective for the current political constellation?

Joko Widodo or Jokowi, by the same measure, is a serial flip-flopper. He left Solo to govern Jakarta halfway through his second term. Now he’s leaving Jakarta without completing his first term, despite a public statement of the contrary. He was initially for an odd-even car plate number system only to drop it later. He was dead set on terminating Jakarta’s water contracts, but now he is for studying the contracts before deciding what to do next. Prior to the July 5 presidential debate, he was so convinced our cooperative system was no longer suitable for Indonesia. Then as though such words were never uttered, he switched his position into staunchly defending the cooperative.

By comparison, Prabowo declined SBY’s invitation to join his government during a cabinet reshuffle owing to differences in policy and principle.

We cannot afford another 5 years of flip-flopping. Being a corporate lawyer, I have sat through countless meetings and negotiations, and consensus building is needed. But I also know that beyond a certain time, business actors will tire of endless discussions and transaction fatigue will kill the deal. A strong leader knows his priorities and what is realistic and what is not.

Prabowo shows that he understands that he only has a mandate of five years. He thus prioritizes his administration’s efforts on farming, to employ 40% of our workforce engaged in agriculture in short time. We, just as any nation, have limited resources and we cannot appease everyone. Appeasement results in compromise. Compromise weakens policy. Weakened policy results in unimplementable legislations. Leadership is about knowing what is realistic and what is not. Negotiation will be the first step but there has to be a cut-off point. We know which man commands most support in the legislature, thus he is the man best positioned to negotiate. The next issue then is: Which man has shown more decisiveness?

The next president must build a system. But building a system involves appointing the right people to the right position. Prabowo clearly did not become the army special forces leader by promoting or relying on incompetent subordinates. Neither could he have led successful operations if his rise was based on patronage instead of competence. Prabowo has a track record of appointing or nominating based on competence. Prabowo was the one who nominated Basuki Purnama, or Ahok, to serve as Jokowi’s deputy governor. 

By comparison, Jokowi does not seem to be in control of his party or his subordinates. The recent investigation into the Transjakarta bus procurement system shows he does not even grasp what has and has not been submitted to the KPK. His defense? He gave the subordinate an order who did not follow it through. This paints a worrying picture. Shifting blame and lack of accountability plague the current Susilo Bambang Yudhoyono government. A president needs to take responsibility for his subordinates’ actions. The buck stops with him. 

Food security

I agree that agriculture should not be Indonesia’s long-term comparative advantage. But a comparative advantage shift takes time. Agriculture employs 39% of our workforce. The rest of us need affordable food. Indonesia’ next president has 5 years to make that happen. For that reason, he needs to focus primarily on agriculture while building our workforce capacity as the first step in shifting that advantage. Of the two presidential candidates, only Prabowo seems to grasp that in order for this nation to progress, it needs to take food security into its own hands. Everything else will trickle up from there. 

First, food imports alone cannot bring us food security. It works only if the population’s purchasing power is sufficiently high to insulate against rising global food prices. The average Singaporean earns $64,584 adjusted to PPP, over 12 times Indonesia’s $5,200. According to official statistics, between 2005 and 2013 the average Indonesian household spent around 50% of its income on food, compared to Singapore’s 20%. A 10% rise food prices is an additional burden of almost 5% on the average Indonesian’s already-pressured income. Segment the statistics and a harsher picture appears. The 15% living below the poverty line spend 80% of their income on food. Apply the economics and see how susceptible most Indonesians are to rising food prices. When world prices do increase, we often are caught at the wrong end. It is no coincidence that labor demonstrations, followed by wage hikes, were usually preceded by a bout of increased global food prices. After all, a sizeable amount of our staple food is imported.

We are not alone in trying to wean ourselves off imports. Nations with fertile lands such as the US and EU spend billions of dollars on agricultural subsidies while feverishly restricting imports. There’s a saying that goes, “European Union cattle receive more subsidies than what African farmers earn”. Those without – e.g. the Middle East – acquire land abroad to cultivate foodstuffs and import it back. Why? Global population increase outpaces global food production. Yes, in an ideal world nations trade. But in reality, they will think of their citizens’ stomachs before ours.  

Second, comparative advantages change, but it takes time. I agree with creative destruction and that agriculture must become efficient. But the process takes time and the state has to intervene to soften its blow. Singapore’s economy in its early years of independence was based low-tech, small-scale light industries. In the 1960’s, South Korea was considered to be forever competitive at producing rice. Your shining example of the US was largely agricultural until the mid-19th century. Industrialization is only possible with food security. Britain’s Industrial Revolution happened partly because of food security for its urban population. Yes, it imported most of its food but because it was in their advantage to do so then and today. 

Third, let’s tie affordable food prices to Jokowi’s creative economy. From the demand side, a creative economy thrives only if there is more to spend after basic necessities. Affordable and stable food prices help wage hikes get ahead of inflation, thus giving bigger disposable incomes. From the supply side, a sizable part of the creative economy is centered on the culinary sector. Do cheaper and less-fluctuative food prices not mean higher margins? Will vendors and outlets not have more to spend on other segments of the creative sector, such as advertising, design and decorations?

Jokowi does not seem to grasp that his flagship economic policy depends on food security. A few more years as governor will do him good. He should try the presidency again when he gets the economic fundamentals right. 

Plugging leaks in the State Budget

Prabowo’s plan to plug the leakages in our economy is clear: Ensure everyone pays taxes according to existing rates. He has not stated that he would raise or create new taxes. His think tank wrote a policy paper, published as a book, and he has consistently advocated this position. 

On taxes, it is fair to say that everyone should pay what’s due, right? By our own officials statistics, taxes only make up 12% of our GDP, compared to the 16% ASEAN average. I hate paying taxes as much as anyone, but it pays for our education, which we need to transition to a knowledge economy, and it pays for Jokowi’s universal healthcare system, which he does not know how to fund. But what irks me more than taxes? When others don’t pay theirs because the system misses them or cannot catch up. 

Prabowo only seeks to ensure that everyone pays taxes according to the existing law. By comparison, Jokowi plans to create new ones, without tapping the existing tax base. Yes, Prabowo was disappointingly abstract during the debates, but he wasn’t just speaking to lawyers and economists. He was speaking to the nation and he had to relate to everyone. – Rappler.com

Indra A. P.  is a graduate of the University of Warwick (LLB Hons.), UK, and the University of Pelita Harapan (SH), Indonesia. He currently works at a Jakarta-based law firm, specializing in infrastructure works and foreign investment.

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!