Pemimpin dunia antre bertemu Jokowi: Istimewa atau tidak?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pemimpin dunia antre bertemu Jokowi: Istimewa atau tidak?

EPA

Seberapa penting peran Indonesia dalam posisi internasional? Presiden Jokowi sudah mengonfirmasi kehadirannya ke tiga KTT dalam waktu dekat ini. Patut ditunggu apa yang akan ia lakukan

Bahkan Presiden Amerika Serikat Barack Obama pun ikut antre bertemu dengan Presiden Jokowi. Membaca kalimat itu, yang dimuat di situs berita viva.co.id, saya teringat pengalaman meliput kegiatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sejumlah forum internasional.

Berita yang dimuat Selasa (4/11) mengutip informasi dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi setelah bertemu dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Presiden, kata Menlu Retno, berencana menghadiri tiga agenda internasional yang digelar November ini, yaitu Pertemuan Pemimpin APEC, KTT ASEAN, dan KTT G20 .

Menlu Retno juga menceritakan kerepotan mengatur jadwal karena banyak pemimpin negara yang ingin bertemu Presiden Jokowi yang baru dilantik 20 Oktober lalu. Beberapa kepala negara yang sudah mengantre bertemu, antara lain adalah Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Tiongkok Xi Jinping, Perdana Menteri Australia Tony Abbot, dan Presiden Myanmar Thein Sein.

Tak begitu istimewa?

Saya meliput beberapa kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke luar negeri. Wartawan yang meliput kegiatan Presiden SBY sering bercanda. Pak SBY nampak lebih happy jika sedang berada di luar negeri.

Posisi Indonesia dalam 10 tahun masa pemerintahannya tergolong baik. Peran Indonesia dalam forum global membesar. Masuknya Indonesia menjadi anggota pertemuan tingkat kepala negara anggota G20, misalnya, membuat Presiden SBY bergabung dalam liga-liga pemimpin dunia. Konon, Singapura yang secara angka produk domestik bruto lebih maju dari Indonesia merasa cemburu atas keikutsertaan Indonesia di forum G20. Hal ini disampaikan Presiden SBY dalam pertemuan dengan anggota Dewan Pers. Saya hadir di pertemuan yang berlangsung di kantor kepresidenan itu, pada 22 Oktober 2012 lalu.

Mantan Presiden Amerika Serikat George W. Bush (kanan) berbincang dengan mantan Perdana Menteri Australia Silvio Berlusconi (kiri). Mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono tersenyum di antara keduanya saat jamuan makan dalam suatu pertemuan di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS. Foto oleh EPA

Ketika berlangsung Sidang Tahunan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2005, Presiden SBY termasuk sebagai kepala negara yang diundang makan malam oleh Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan.

“Presiden SBY duduk di sebelah kiri Presiden AS George W. Bush. Di sebelah kanan Bush duduk Raja Spanyol,” kata Dino Patti Djalal, juru bicara presiden bidang luar negeri kala itu. “Jamuan makan seperti itu kan tidak seperti makan di kantin. Namun sudah diatur sedemikian rupa. Jadi bukan secara kebetulan jika SBY bersebelahan dengan Presiden Bush,” lanjut Dino.

Pertemuan SBY dengan Bush itu tercatat untuk yang ketiga kalinya. Duduknya SBY bersebelahan dengan Bush, serta satu meja dengan Raja Spanyol, Presiden Chili, Presiden Rusia, dan Raja Jordania, disebutkan Dino, sebagai suatu perkembangan yang bagus bagi Indonesia, khususnya posisi Presiden SBY di mata dunia. Jamuan makan siang itu sifatnya non-formal yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan pribadi. Namun, forum seperti itu juga digunakan untuk membahas masalah-masalah secara khusus bagi para kepala negara. “Ini menunjukkan bahwa Presiden SBY sudah mendunia. Ini terlihat dari posisi duduknya dan dengan siapa SBY duduk,” kata Dino, seperti dikutip detikcom. Saat itu saya meliput sebagai wartawan TV7.

Ketika meliput KTT G20 di Toronto, Oktober 2010, saya menyaksikan dari dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diundang sarapan pagi oleh Presiden AS Barack Obama. Acara dilakukan beberapa jam sebelum pembukaan sesi pertemuan G20 di Toronto, Kanada.

Presiden AS Barack Obama (kedua dari kiri) mengadakan pertemuan bilateral dengan mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (kanan depan) pada acara G20 di Toronto, Kanada, 27 Juni 2010. Foto oleh EPA

Berdasarkan pengalaman itu saya menganggap tidak ada yang istimewa jika Presiden AS ingin bertemu Presiden Indonesia, siapapun dia.

Berdasarkan pengalaman itu saya menganggap tidak ada yang istimewa jika Presiden AS ingin bertemu Presiden Indonesia, siapapun dia. Negeri ini adalah laboratorium demokrasi yang dianggap paling sukses. Apalagi dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Tak heran jika pihak-pihak yang bertikai di Timur Tengah berharap Indonesia lebih berperan dalam mediasi konflik.

Posisi strategis Indonesia

Di kalangan negara ASEAN, posisi Indonesia juga strategis, dan sejak era Soeharto Indonesia dianggap sebagai kakak senior. Peran Indonesia dalam mediasi beragam konflik cukup menonjol. Dalam pidato kenegaraan di depan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2012 lalu, Presiden SBY menyinggung peran Indonesia dalam mendorong diakhirinya konflik antar etnis di Myanmar.

“Seraya terus mendukung proses demokratisasi dan nation building di Myanmar, secara khusus, kita memberi perhatian yang sungguh-sungguh terhadap penyelesaian masalah kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar,” kata Yudhoyono.

“Dengan niat yang baik, saya telah mengirim surat kepada Presiden Thein Sein, dan mendorong agar masalah konflik antar etnis dapat diselesaikan dengan cepat, bijak dan damai.”

SBY juga membahas mengenai kesatuan dan peran sentral ASEAN dalam menghadapi berbagai tantangan regional, termasuk perkembangan sengketa Laut Cina Selatan yang menorehkan tinta merah dalam sejarah ASEAN karena untuk pertama kalinya pertemuan tingkat menteri negara-negara Asia Tenggara itu tidak berhasil mengeluarkan pernyataan bersama.

Indonesia juga dianggap sebagai kekuatan ekonomi baru.

“Saat ini Indonesia menjadi kekuatan ekonomi ke-16 dunia, Kita menjadi negara berpendapatan menengah, dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang secara bertahap berhasil diturunkan,” kata Presiden SBY saat itu.

Yudhoyono menyinggung kedatangan Dana Moneter Internasional (IMF) beberapa waktu lalu untuk berkonsultasi dan bertukar pikiran dengan Indonesia dalam mengatasi krisis global saat ini.

Di forum perubahan iklim pun posisi Indonesia adalah game changer, yakni saat mengumumkan akan menurunkan tingkat emisi karbondioksida menjadi 26 persen pada tahun 2020. Saya ingat, bagaimana juru bicara Dino Patti Djalal bolak-balik ke kabin presiden di pesawat yang membawa rombongan SBY ke KTT Perubahan Iklim ke-15 di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009. Begitu tiba di tanah kelahiran Hans Christian Andersen itu, SBY sudah ditunggu oleg Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg. Pertemuan dengan PM Australia juga menjadi agenda rutin di berbagai forum multilateral.

Saking seringnya Presiden SBY menghadiri forum internasional yang menempatkan dirinya sebagai tokoh penting, saya sempat bertanya, “Apa sih Pak manfaatnya buat rakyat kalau kita ikut pertemuan seperti ini? Biayanya kan besar?”

Pertanyaan ini saya ajukan saat jumpa pers di atas pesawat. Pak SBY terdiam, seakan tidak berkenan. Tapi, sejurus kemudian dia menjelaskan. Intinya penting. Selain kesempatan memasarkan potensi investasi, di sela-sela agenda multilateral dimanfaatkan untuk pertemuan bilateral.

Beberapa kali dalam forum dengan diplomat asing saya ditanya, apa warisan Presiden SBY? Menurut saya salah satunya adalah kursi di panggung dunia. Tantangan terberat adalah menjadikan kursi itu sebagai dudukan nyaman bagi kepentingan rakyat Indonesia. Jika tidak, maka kritik bahwa Indonesia selalu mengambil posisi “in-between” alias abu-abu menemukan dasarnya. Ujungnya cuma bahagia bisa makan siang atau sarapan bareng. Lalu berfoto bersama sambil tertawa ceria.

Di KTT APEC dan G20 nanti saya membayangkan Presiden Obama akan menindaklanjuti kunjungan Menteri Luar Negeri John Kerry, soal ancaman terorisme Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Bagaimanakah jawaban Presiden Jokowi? Menarik ditunggu.

Pagi tadi saya mengirim pesan pendek ke Menlu Retno Marsudi soal sikap Singapura yang mengirim tentara memerangi ISIS. Di depan parlemen, Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen menyatakan bahwa Pasukan Bersenjata Singapura akkan mengirimkan personel ke Pusat Komando dan Markas Satuan Tugas Gabungan AS. Ini ujung tombak pasukan koalisi di Irak dan Suriah.

Bagaimana sikap Indonesia? “Indonesia menunggu sampai ada mandat dari PBB, Mbak,” jawab Menlu Retno.

Hal-hal seperti ini antara lain yang membuat posisi Indonesia penting. Jadi, selamat mengikuti tiga KTT, Presiden Jokowi. Anda mewakili negara besar dan penting. Saya menunggu gebrakan dan ”blusukan” Presiden di panggung dunia. Foto selfie dengan pemimpin dunia asyik juga. —Rappler.com


Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!