Makan singkong untuk hemat anggaran? Kuat nuansa pencitraan

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Makan singkong untuk hemat anggaran? Kuat nuansa pencitraan
MenPAN dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi terbitkan surat edaran gerakan hidup sederhana, salah satunya konsumsi rapat bahan lokal, termasuk singkong. Selain tidak baru dan tidak kreatif, ide surat edaran ini kuat nuansa pencitraan.

Hampir setiap minggu saya mampir ke Pasar Tebet, Jakarta Selatan. Di area lobi, banyak penjual kue-kue basah. Sepotong kue lapis legit, harganya Rp 1.500-2.000. Sebuah lemper isi ayam, harganya Rp 2.000. Kue bolu kukus, harganya Rp 1.500 per buah. Puluhan jenis kue, rasanya lumayan enak. Tidak kalah dengan kue basah yang dijual di toko kue di pusat perbelanjaan mewah. Saya juga sering beli. Harga bisa empat kali lipat. Bedanya ya kalau beli singkong rebus keju, parutan kejunya lebih banyak sedikit. Saat masih memimpin divisi pemberitaan di ANTV, saya sering beli kue-kue di situ. Lebih sering lagi beli gorengan. Rp 50.000 bisa buat rapat 20-30 orang. Nggak sehat, sih, tapi enak dan cukup. Kopi atau teh buat sendiri. Masak air dong. Energinya tidak seberapa. 

Kalau mereka menjual dengan harga rata-rata Rp 1.500-2.000 per buah di Pasar Tebet, tentu ada marginnya. Katakanlah mereka mengambil margin 20 persen. Artinya, harga beli di Pasar Kue Subuh di Pasar Senen, lebih murah lagi. Kalau rapat di instansi pemerintah menyajikan kotak makanan ringan dengan tiga jenis kue, dengan ditemani sajian teh atau kopi, modal konsumsi rapat maksimum Rp 10.000 per orang. Tapi, kita tidak ingin katering pemasok kue bangkrut karena kehilangan order dari pemerintah, kan?  Boleh lah mereka ambil margin 50 persen, termasuk kotak dan ongkos pegawai, pula transportasi. Jadi? Rp 15.000-20.000 per orang untuk snack ringan di instansi pemerintahan? Cukup wajar. Bisa lebih murah, sih. 

Jadi, ketika saya membaca berita pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan semangat menyambut edaran agar instansi pemerintahan menyajikan menu tradisional dan buah lokal dan mengatakan menyajikan singkong dan kacang rebus akan menurunkan biaya dari biasanya Rp 35.000 menjadi Rp 20.000, saya yakin bapak yang menjadi narasumber media ini tidak pernah tahu berapa harga kue di pasar. Kalau serius mau menekan budget snack, ya. 

Kalau kita menggunakan logika bahwa menyajikan singkong dan jagung rebus plus minuman air dalam kemasan dikombinasikan dengan kopi dan teh bakal menekan biaya konsumsi hingga 30 persen dibanding sebelumnya, harusnya biaya turun dari Rp 20.000 ke Rp 13.000. Iya dong. Menyajikan tiga macam kue bisa Rp 20.000, itu sudah untung pedagangnya. Artinya makan singkong harus lebih murah 30 persen.  Artinya juga, selama ini memang kemahalan anggarannya. 

Tapi, saya juga tidak ingin pemasok katering kelas menengah bangkrut karena kebijakan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi. Yang saya maksud katering kelas menengah adalah yang menghargai sepotong kuenya Rp 5.000 – Rp 10.000. Rasanya juga lebih enak. Mentega lebih banyak. Mungkin selama ini mereka ini yang menjadi pemasok kementerian? Instansi pemerintah? 

Pejabat di kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengatakan, sejak era Menteri Dahlan Iskan di lingkungan BUMN sudah biasa sajian singkong, pisang rebus, jagung, dan kacang rebus. Nothing new. #wesbiyasa. Menteri Yuddy bisa bertanya ke Kementerian BUMN, berapa biaya konsumsi selama setahun di sana? Untuk mengetahui berapa harga per porsi. Berapa penghematan? 

Masalahnya, ketika saya mengetikkan kata impor singkong dan impor jagung, yang muncul adalah angka impor singkong 100 ton tahun 2013. Bustanul Arifin pernah menyebutkan bahwa Indonesia adalah importir ubi kayu alias singkong terbesar di dunia. Mayoritas dari Thailand. Impor jagung tahun 2014 diperkirakan bakal mencapai 3,6 juta ton. Melonjak signifikan ketimbang tahun lalu sebanyak 2,9 juta ton. Ini akibat tumbuhnya industri pakan ternak dan kurangnya pasokan jagung di lapangan. Melonjaknya impor jagung karena kebutuhan pakan ternak. “Ini belum melihat dampak dari bencana alam gunung meletus, banjir, dan serangan El Nino. Diperkirakan GPMT akan merevisi impor jagung karena impor bisa saja mencapai 4 juta ton hingga akhir tahun 2014,” tukas Sudirman, ketua gabungan pengusaha makanan ternak, sebagaimana dikutip media. 

Jadi, ketika kantor Menteri Yuddy menerbitkan edaran No. 10 Tahun 2014 tertanggal 21 November 2014 yang mewajibkan seluruh instansi pemerintah menyediakan makanan lokal hasil pertanian dalam negeri, saya berharap Menteri Yuddy tahu bahwa sebagian dari singkong, jagung, dan bahkan kentang dan cabai kita masih impor. Apakah perlu ada petugas khusus di kementerian yang memastikan bahwa jagung dan singkong rebus yang disajikan bukan bagian dari yang diimpor? Kue lapis berbahan tepung tapioka pun tepungnya masih impor. 

Saya memang agak sinis menanggapi surat edaran ini. Saya berharap pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengusung jargon Revolusi Mental menelurkan kebijakan yang benar-benar revolusioner. Edaran makan singkong rebus ini jauh dari revolusioner. Malah balik ke era Orde Baru, ketika Presiden Soeharto yang memang selalu mengaku sebagai “Anak Desa”, memilih mengonsumsi getuk, tiwul, dan singkong rebus. Semua makanan tradisional. Zaman itu mungkin kita belum impor. Dalam 10 tahun terakhir saya mengikuti rapat di berbagai kementerian, sampai ke daerah. Pula rapat dengar pendapat di DPR, makanan ringan yang disajikan ya yang normal saja. Kue basah, kadang dikombinasikan kacang goreng.  Ada juga jagung dan pisang rebus.  Lagi-lagi #wesbiyasa. 

Di daerah, makanan berat yang disajikan pun menu daerah. Kalau kita ke Palembang, maka makanan di hotel atau di acara pemerintah daerah akan menyajikan pempek, tekwan, dan pindang patin. Ke Sumatera Utara kita menikmati sayur daun ubi tumbuk. Ke Makassar sup yang disajikan adalah coto Makassar. Semua adalah makanan tradisional. Tentu saya tidak mengecek apakah rendang dan coto dibuat dari daging yang kita impor. Atau ikan kakap asam manis dibuat dari ikan yang menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, masih banyak diimpor. Intinya, menyajikan makanan tradisional sebagaimana yang dimaksudkan di surat edaran itu sudah biasa dilakukan. Masalahnya, memastikan makanan itu bahannya impor atau lokal itu persoalan berikutnya. 

Saya mendukung niat pemerintahan Presiden Jokowi untuk menekan anggaran pengelolaan pemerintahan. Tapi buat saya edaran makan singkong itu selain tidak baru, tidak kreatif juga kuat nuansa pencitraan. Borosnya anggaran bersumber dari korupsi. Termasuk praktik mark-up harga. Di semua lini pengadaan, termasuk pengadaan konsumsi. Ini yang harusnya menjadi target utama. Bukan masuk terlalu dalam ke jenis makanan yang harus disajikan. Tapi saya paham, membuat edaran makan singkong paling gampang.  Saya menunggu laporan triwulanan ke publik berapa yang bisa dipangkas dari edaran makan singkong ini. 

Surat edaran dari Menteri Yuddy juga terkait dengan Gerakan Hidup Sederhana. Rapat di kantor, bukan di hotel. Undangan menikahkah anak tidak boleh lebih dari 400 undangan atau 1.000 orang undangan. Reaksi masyarakat? Pengusaha? Tentu ada. Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono mengatakan berat menerapkannya, tapi akan mencoba. Soalnya orang Indonesia kuat adat kekerabatan dan pertemanan. Prinsip extended family. Jika menikahkan anak lantas ada yang tidak diundang, bisa tidak enak. (BACA: Pejabat negara dilarang gelar resepsi pernikahan mewah)

Menurut Menteri Keuangan Profesor Bambang Brodjonegoro, anggaran yang bisa dihemat dari rapat di hotel dan perjalanan kelas ekonomi sekitar Rp 1,5 triliun. Presiden Jokowi memangkas anggaran perjalanan dinas dan rapat seluruh kementerian dan lembaga yang jumlahnya mencapai Rp 41 triliun pada 2015 menjadi hanya Rp 25 triliun. 

Pesan hidup sederhana dan siap kerja juga ditunjukkan dengan hampir selalu berpakaian putih. Dalam buku From Third World To First, memoar Lee Kuan Yew, yang meletakkan dasar Singapura yang modern dan menjadi perdana menteri cukup lama, ia menceritakan soal filosofi dibalik berpakaian putih. Saat menduduki jabatan memimpin Singapura di tahun 1959, dimulai dengan pengucapan sumpah, PM Lee dan menterinya menggunakan kemeja dan celana panjang putih. “Ini simbol kemurnian dan kejujuran,” ujar Lee dalam buku setebal 778 halaman itu.   

“We made sure from the day we took office in June 1959 that every dollar in revenue would be properly accounted for and would reach the beneficiaries at the grass roots as one dollar, without being siphoned off along the way.”  

Untuk itu pemberantasan korupsi di sektor yang menjadi lahan “basah” menjadi prioritas. Termasuk keberanian untuk mengumumkan ke publik setiap harga pembelian properti bergerak maupun tidak bergerak yang dibeli pejabat saat menjabat. Lee misalnya mengumumkan diskon yang diperolehnya dari developer ketika ada tekanan dari publik yang mencurigai perlakuan spesial yang diterima dirinya dan istrinya, yang notabene seorang pengacara senior dengan pengalaman 40 tahun. Mereka membeli properti dan mendapat diskon dengan persentase yang sama dengan yang diperoleh pembeli lain. Pasangan ini memutuskan mengembalikan diskon senilai US$1 juta ke kementerian keuangan untuk menghindari kecurigaan menerima perlakuan istimewa dari developer.  Belakangan, setelah dilakukan investigasi mendalam, dipastikan pasangan Lee dan istrinya Mdm Choo tidak menyalahi aturan apapun.  Uang itu dikembalikan. 

Tapi ini adalah contoh bagaimana keseriusan membangun clean government. Semua pejabat di Singapura saat itu membangun kredibilitas dengan melaporkan transaksi pribadinya ke publik. Ada kolega dekat PM Lee yang harus didenda bahkan masuk penjara karena terbukti memperkaya diri sendiri. Ada yang bahkan sampai bunuh diri karena malu. Semua diceritakan di memoar ini.  

Singapura memang negara yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia. Saya ingat bertanya kepada Menteri Senior Lee Kuan Yew saat berkesempatan makan malam dengannya, beberapa tahun lalu. “Bagaimana kalau Anda kami pinjam untuk memimpin Indonesia?” canda saya. Waktu nuansa di masyarakat lagi kecewa betul dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang terjadi di tanah air. Lee menjawab, “It’s scary.” Serem. Karena kita memang negara besar dan luas. Spent of control seorang pemimpin di Indonesia lebih besar.  

Tetapi sekarang kita sudah di posisi 16 ekonomi dunia. Jadi kalau mau menerapkan good government dengan belajar dari pola Singapura atau negara yang punya good government lebih baik ketimbang kita, harusnya bisa. Saat ini. Dan itu bukan dengan menerbitkan surat edaran makan singkong.  

Menteri Yuddy perlu membaca buku memoar Lee. Banyak inspirasi di sana. Termasuk pengalaman bahwa menggunakan pakaian dengan warna sama pun bisa diakali dengan bahan yang beda. Ini pengalaman di era Pemimpin Mao di Tiongkok. Pakaian semua sama, model maupun warna. Tapi para elit menggunakan bahan yang berbeda. Yang lebih mahal, pastinya. Jadi, seragam sama yang dimaksudkan untuk memberikan citra kesederhanaan, jatuhnya pencitraan juga. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!