Dampak Topan Hagupit, bagaimana Indonesia antisipasi Badai El Nino?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dampak Topan Hagupit, bagaimana Indonesia antisipasi Badai El Nino?
Negosiator dan aktifis pro-lingkungan menyerukan agar negara-negara di COP 20 lakukan tindakan nyata untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Filipina dilanda Topan Hagupit. Perlu bukti apa lagi? Bagaimana upaya Indonesia?

                             

Dari Lima, Peru, saya mengikuti perkembangan dampak dari Topan Hagupit yang menimpa sebagian wilayah Filipina akhir pekan kemarin. Pemerintah Filipina belajar banyak dari pengalaman menangani krisis saat Topan Haiyan tahun lalu yang memakan korban jiwa sedikitnya 6.000 orang. Kali ini peringatan dini dan evakuasi 1 jutaan warga di area yang potensial terdampak dilakukan. Hagupit sempat diperkirakan menjadi badai topan terbesar yang tercatat pernah dialami Filipina.                

Bencana Topan Hagupit terjadi saat ribuan orang berkumpul di Pentagonito, Lima, untuk menghadiri ratusan diskusi terkait perubahan iklim yang disebut dengan Conference of Parties (COP) 20.  Tak pelak lagi, bencana yang dialami warga Filipina menjadi topik diskusi hangat. Negosiator, advokat perubahan iklim, lembaga swadaya masyarakat meneriakkan perlunya semua pihak sepakati bahwa perubahan iklim itu nyata dampaknya.  

Negara besar penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) yang dianggap berkontribusi dalam meningkatkan temperatur laut sebagai salah satu bentuk perubahan iklim harus siap membantu negara lain yang dikepung bencana secara rutin, seperti Filipina. Juga Indonesia. 

Mary Ann Lucille Sering, anggota komisi Filipina untuk perubahan iklim, menekankan perlunya membangun “mekanisme kerugian dan kerusakan” untuk membantu negara yang rentan terhadap bencana yang ongkos penanggulangannya kian besar, seiring makin besarnya kerusakan akibat beragam bencana.   

Setiap tahun sejak 2008, bencana topan selalu mengiringi pelaksanaan konferensi perubahan iklim. Fakta bahwa perubahan iklim mendorong perubakan cuaca secara ekstrim yang kian membahayakan manusia harusnya menjadi pendorong tercapainya kesepakatan mekanisme kerugian dan kerusakan saat COP 21 di Paris, tahun depan.                

“Dampak perubahan iklim saat ini sudah di luar batas kemampuan kami,” kata Sering kepada media di arena COP 20. Mekanisme kompensasi untuk “kerugian dan kerusakan” mulai hangat dibahas saat COP 19 Di Warsawa, Polandia, tahun 2013. Negara-negara kepulauan dan negara rentan terhadap bencana alam rawan kehilangan semua aspek kehidupan saat terjadi bencana alam. Mekanisme ini membantu negara-negara ini lakukan mitigasi dan adaptasi.

Di COP 15, Kopenhagen, Denmark, pernah disepakati kumpulkan dana senilai US$30 miliar untuk membantu negara berkembang dan miskin menangani mitigasi dan adaptasi bencana. Menurut cerita Rachmat Witoelar, mantan menteri lingkungan hidup yang kini menjabat Ketua Dewan Perubahan Iklim Nasional, realisasi dari komitmen itu tidak mudah.   

“Mengumpulkan uangnya tidak gampang, terutama bagi negara besar yang merasa tidak rawan terhadap bencana. Padahal dampak perubahan iklim itu sudah meluas, termasuk menurunnya produktivitas pertanian dan gangguan terhadap ekonomi,” ujar Racmat. 

Salah satu side event yang saya ikuti dalam COP 20 adalah Dampak Badai Topan El Nino. Menghadirkan pembicara dari Badan Pangan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Program Pangan Dunia, juga Dr. Andi E. Sakya, Direktur Jenderal Badan Meteorologi dan Geofisika, yang juga Presiden Badan Meteorologi Dunia untuk kawasan Asia Pasifik. Andi memaparkan dampak Topan El Nino bagi sektor pertanian: Kekeringan berkepanjangan yang menyebabkan gagal panen. 

Selain gagal panen memangkas pendapatan petani dan menambah kemiskinan, El Nino bakal menambah pengangguran, mengganggu lumbung pangan negara, menganggu ketersediaan air bersih, meningkatkan wabah penyakit, sampai terganggunya pasokan listrik tenaga air. 

Dalam diskusi ini  juga terungkap, kemungkinan 70 persen bakal terjadi Badai El Nino pada Februari 2015. Sebagian dari wilayah Indonesia dan Filipina akan menjadi area yang dilintasi badai ini, juga negara di kawasan Pasifik Timur lainnya. Peringatan dini menjadi kunci menekan dampak kerugian. Indonesia melakukan climate field school, atau sekolah perubahan iklim bagi para petani di daerah rawan terdampak bencana El Nino. Andi memperlihatkan video kegiatan sekolah lapangan yang dilakukan bagi petani di Bali. 

Sejak menjadi tuan rumah COP 13 di Bali, 2007, Indonesia cukup serius menangani dampak perubahan iklim. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Instruksi Presiden No. 5/2010 tentang Ketahanan Pangan terkait dengan iklim yang ekstrem termasuk dari ancaman topan badai. Ia juga mengeluarkan Inpres lain terkait hydro-meteorologi sampai informasi spasial sebagai dampak perubahan iklim. Implementasinya adalah menyediakan portal informasi yang bisa diakses untuk antisipasi datangnya bencana. Inisiatif lain yang sudah disiapkan adalah One Fisherman Village One Display (OFVOD). 

Lewat OFVOD, pemerintah menyediakan papan informasi cuaca, termasuk area yang aman bagi nelayan di desa tersebut untuk mencari ikan. Data disediakan atas bantuan satelit. “Dengan melihat layar informasi yang akan dipasang di setiap desa, maka nelayan tak perlu berlayar terlalu jauh untuk mendapat ikan, juga terhindar dari badai,” kata Andi. Dia berharap program ini bisa diresmikan akhir 2014.  

Semoga Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang sedang getol membangun kemaritiman meneruskan inisiatif. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!