Soal nepotisme, Indonesia bisa belajar dari kasus ‘Peanuts Air’ Korsel

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Soal nepotisme, Indonesia bisa belajar dari kasus ‘Peanuts Air’ Korsel

EPA

Pola putri bos Korean Airlines memicu kritik soal praktik nepotisme di lingkungan bisnis di Korea Selatan. Praktik ini juga terjadi di Indonesia.

            

Bos maskapai Korean Airlines Cho Yang-ho terpaksa meminta maaf kepada publik gara-gara kelakuan anak perempuannya, Heather Cho. Heather Cho, yang memilik nama asli Cho Hyun-ah, memicu insiden di bandara JF Kennedy, New York, Amerika Serikat, 5 Desember lalu. 

Hyun-ah, yang juga memegang posisi sebagai kepala layanan kabin di Korea Airlines,  meminta pilot kembali ke pintu bandara setelah berjalan sekitar 35 meter. Ia marah besar karena kepala pramugara menghidangkan kacang mete (macadamia) dalam kemasan, bukan disajikan di piring.  

Hyun-ah, putri tertua Cho Yang-ho, memerintahkan pesawat kembali ke pintu bandara dan menyuruh si pramugara keluar dari pesawat saat itu juga. Kejadian ini disaksikan penumpang, dan menyebabkan jadwal penerbangan mundur. Menurut pengakuan si pramugara, dia dipaksa berlutut minta maaf sambil dibentak-bentak anak bosnya. Pilot mengaku tak berani menolak perintah dari anak pemilik maskapai. Padahal setiap pergerakan pesawat tanpa koordinasi dan tidak sesuai jadwal berpotensi melanggar aturan penerbangan dan membahayakan keselamatan penumpang.            

“Saya memohon maaf karena saya tidak mendidik dia dengan baik,” demikian permintaan maaf Cho Yang-ho kepada publik setelahnya. Publik marah besar dan menjadikan kasus ini sebagai momen mengkritisi praktik nepotisme dalam bisnis yang dikelola para chaebol, sebutan bagi konglomerat di KoreaSelatan.  

Memaki-maki jika keinginannya tidak dipenuhi dan menyuruh karyawan berlutut untuk minta maaf adalah praktik yang biasa dilakukan bos perusahaan di sana, dan sudah lama menjadi sasaran kritik.  

Insiden “Air Nuts” ini, demikian publik Korsel menyebutnya, menjadi pembicaraan luas, termasuk di media internasional seperti The New York Times.            

Kritik juga ramai di media sosial. Ada yang membuat parodi video promo Korean Airlines yang diplesetkan dengan “Peanuts Airlines”. Videonya bisa ditonton di sini.

Dalam waktu sekejap video itu ditonton setengah juta kali. Tekanan publik yang kuat membuat Cho Yang-ho mencopot putrinya dari posisi eksekutif di sejumlah perusahaan di bawah Hanjin Group yang berbisnis mulai dari penerbangan, perkapalan sampai manufaktur. 

“Saya meminta maaf kepada negara ini, sebagai kepala Korean Air dan sebagai seorang ayah, atas keributan yang disebabkan oleh tindakan bodoh anak saya,” kata Yang-ho, di depan media massa yang berkumpul di lobi markas besar maskapai itu di Bandara Internasional Gimpo, Seoul.

Saya membaca berita ini saat berada di Peru, mengikuti pertemuan perubahan iklim di Lima. Ingatan saya melayang saat bulan lalu menumpang Korean Airlines dalam perjalanan ke AS. Maskapai ini termasuk favorit saya karena kru kabin yang ramah, makanan yang enak, juga transit di salah satu bandara terbaik di dunia, Incheon. 

Memetik pelajaran dari Heather Cho 

Kelakuan Hyun-ah juga mengingatkan saya pada budaya nepotisme yang terjadi di tanah air, baik di dunia bisnis dan politik. Banyak pemilik dan bos konglomerat mempercayakan pengelolaan perusahaan kepada anak-anaknya. Sebagian di antara mereka memiliki modal pendidikan dan kapasitas kepemimpinan yang baik. Mereka memberikan angin segar atas pengelolaan bisnis warisan keluarga.  Inovasi dalam produk dan manajemen. Saya mengenal banyak pewaris bisnis yang seperti ini di Indonesia.

Dunia politik Indonesia sarat dengan politik dinasti dari pusat hingga ke daerah. Dari partai politik sampai organisasi masyarakat.

Saya juga mengenal pewaris yang memiliki watak seperti Hyun-ah. Tidak hanya satu. Kapasitas personal pas-pasan, kemampuan kepemimpinan minim, dan emosi yang meledak-ledak, dan bertindak “semau gue” semata karena mengandalkan kekuasaan yang diwarisi dari orang tuanya. Tipikal spoiled brat. Anak manja yang gampang ngambek kalau keinginannya tidak dipenuhi.

Ini tidak hanya saya temui di bisnis, melainkan juga di politik. Dunia politik Indonesia sarat dengan politik dinasti dari pusat hingga ke daerah. Dari partai politik sampai organisasi masyarakat. Dari organisasi militer dan polisi hingga sipil. 

Pernah, dalam perjalanan ke Lampung saya berkicau, soal politik dinasi di provinsi itu. Saya mendapatkan informasi dari supir yang menjemput saya di bandara. Dalam beberapa menit tanggapan dari ranah Twitter muncul. Ternyata politik dinasti bukan cuma di Banten, di keluarga Atut Choysiah. Tapi mudah ditemui di belasan provinsi. Beranak-pinak.

Perjalanan waktu juga memberikan contoh, anak-anak (dan keponakan) yang hanya mengandalkan kekuasaan dan nama besar keluarga, akhirnya terpinggirkan saat pemangku ruh kekuasaan itu lengser keprabon. Termasuk meninggal dunia. Dalam pengalaman bekerja, saya menemukan orang-orang yang tidak ada hubungan keluarga dengan pemilik pun, sering mengatasnamakan pemilik untuk melanggengkan pengaruh, berusaha bertahan dengan eksis dengan segala cara. Bentuk lain nepotisme, mengaku-aku dekat dengan keluarga pemilik.

Menurut kamus, nepotisme artinya adalah kekuasaan dan atau posisi/kedudukan yang didapat berdasarkan hubungan kekeluargaan, baik dalam politik dan bisnis. Asal katanya dari Italia, nepotenephew, kebiasaan Paus memberikan perlakuan spesial kepada keponakan atau keluarganya.

Saya bisa menolerir nepotisme, dalam arti kebiasaan memberikan posisi penting kepada keluarga. Sepanjang didasarkan kepada kapasitas dan kemampuan, mengapa tidak? Dinasti politik Kennedy di AS, misalnya, kita kenal sebagai dinasti yang diisi sosok-sosok berkualitas.

Kuncinya adalah tersedianya penilaian kinerja yang terukur dan transparan. Juga dilakukan dengan melibatkan panel. Membangun sistem, itu kuncinya.  

Ini juga perlu dilakukan pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Nepotisme bisa terjadi dalam praktik penempatan personil, bisa dalam menyalurkan pekerjaan atau proyek, termasuk memilih mitra kerja, misalnya dalam bisnis impor. Nepotisme bisa diekstensi menjadi favoritisme. Dan ini di luar hubungan kekeluargaan. 

Saya tahu Jokowi sejak di DKI Jakarta menerapkan lelang jabatan untuk mengisi posisi tertentu. Juga berencana menerapkannya untuk mengisi posisi Direktur Jendral Bea dan Cukai serta posisi-posisi strategis lain termasuk di jajaran pemimpin Badan Usaha Milik Negara. Awal yang bagus, yang perlu dijalankan secara konsisten. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!