Jusuf Kalla dan ombak perdamaian di Aceh

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jusuf Kalla dan ombak perdamaian di Aceh
Hari ini JK memimpin peringatan 10 tahun tsunami di Banda Aceh. Dia melihat Aceh yang berubah. Membangun kembali dengan lebih baik. Ada ekses, tapi sulit dipungkiri bahwa kerja JK di serambi Aceh, fenomenal.

“Bu Uni, ini Yadi.  Bapak mengajak Bu Uni ke Aceh, siang ini.“

Pagi kemarin, Yadi Jentak, asisten pribadi Wakil Presiden Jusuf Kalla menelpon Saya. Wapres memang dijadwalkan memimpin upacara peringatan 10 tahun tsunami di Banda Aceh. Tawaran mendadak. Menarik.  Saya merasa terharu Pak JK ingat mengajak Saya. 

Sayangnya, Saya dalam perjalanan menuju ke bandara untuk ke Semarang.  Hari ini Saya sudah berjanji mengisi pelatihan jurnalistik untuk Sekolah Jurnalistik Indonesia yang didirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). 

Kegiatan ini sudah berjalan sekitar lima tahun, di belasan propinsi.  Tidak mudah menyesuaikan waktu mengajar dari belasan pelatih.  Pembatalan mendadak enggak profesional.

Daya ingat Pak JK luar biasa.  Teman saya, Fenty Effendy, penulis buku Ombak Perdamaian: Inisiatif dan Peran JK Mendamaikan Aceh, menuliskan melalui komentar di akun Facebooknya, bagaimana JK mengingat peristiwa tanggal 27 Desember 2004. 

Di buku terbarunya, JK mengenang bencana tsunami

Sehari sesudah gempa bumi dan tsunami meluluh-lantakkan sebagian wilayah Aceh.  Kami tiba di Lambaro, sekitar 20 menit dari bandara Sultan Iskandar Muda mengarah ke pendopo gubernuran di tengah kota Banda Aceh.  “Saya lihat Menteri Sri Mulyani menangis.  Uni Lubis bercucuran air mata sambil menyorotkan handycam-nya,” kata JK dalam buku yang akan diluncurkan hari ini, di pendopo gubernuran di Banda Aceh.

Melihat ribuan mayat disusun berjajar di kedua sisi jalan di kawasan Lambaro, JK mengaku hampir menangis. “Sebenarnya saya juga mau pingsan waktu itu, Astagfirullah, astagfirulah,” kata JK berkali-kali.


Melihat ribuan  mayat disusun berjajar di kedua sisi jalan di kawasan Lambaro, JK mengaku hampir menangis.  “Sebenarnya saya juga mau pingsan waktu itu, Astagfirullah, astagfirulah,” kata JK berkali-kali. Cuplikan buku dikutip dalam berita ini

Malam, tanggal 26 Desember, persis 10 tahun yang lalu, saya duduk bersebrangan dengan Wapres JK.  Kami di tengah acara makan malam editors club. Selama 12 tahun sejak 1999, saya menjadi titik kontak bagi teman-teman pemimpin redaksi dan wartawan senior yang bergabung dalam sebuah organisasi tanpa bentuk yang disebut editors club

Kami sering berdiskusi soal banyak topik actual, dengan narasumber terkait. Pak JK salah satu narasumber tetap.  Sebelum meluncurkan sebuah kebijakan, biasanya dia akan menelpon saya minta bantuan mengontak teman-teman editors club untuk diskusi informal. 

 Saya lupa apa tema khusus malam itu, tapi itu adalah pertemuan pertama dengan Pak JK sebagai wakil presidennya Susilo Bambang Yudhoyono.

Makan malam itu berlangsung di Klub Bimasena, Hotel Dharmawangsa, di kawasan Jakarta Selatan.  Pak JK datang agak telat.  Meja diatur memanjang.  Jadi, jarak antara saya dan Pak JK cuma sekitar 1,2 meter.

Dia menerima telpon,  lalu mengucap, “astagfirulah, astagfirulah.” Itu telpon dari Pak Sofyan Djalil, Menteri Komunikasi dan Informasi. JK mengirim Sofyan Djalil, menteri yang berasal dari Aceh, untuk pergi ke Banda Aceh siang itu, setelah media mengumumkan gempa berkekuatan 9,3 SR.  Sofyan mengecek bagaimana situasi di lapangan.   

Cuplikan ceritanya bisa dibaca di sini:

“Besok pagi-pagi sekali saya ke Banda Aceh,” bisik JK.  Teman-teman yang duduk agak jauh tidak mendengar, sebagian masih makan.  Saya spontan berkata, “saya ikut ya Pak.”  JK mengiyakan dan meminta saya berkumpul di bandara Halim Perdana Kusumah pukul 5 pagi.

JK menyiapkan pesawat jet pribadinya, Atthirah, diambil dari nama ibu kandungnya, untuk mengangkut rombongan ke Banda Aceh.  Bandara di sana rusak, tak ada pesawat komersil yang berani mendarat. 

Cerita soal ini saya sampaikan juga di tulisan mengenai Menteri Susi Pudjiastuti di tautan ini dan Wawancara dengan Direktur Pengelola Bank Dunia Sri Mulyani, salah satu menteri yang 10 tahun lalu ada di pesawat Atthirah menuju Banda Aceh.  Ini tautan wawancara itu.

Saya senang Fenty Effendy menuliskan buku ini, yang isi pokoknya bagaimana peran penting JK dalam penanganan pasca bencana tsunami di Aceh dan Nias, sampai ke proses perdamaian antara pihak Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. 

ACEH BANGKIT. Sebuah desa di Aceh bangkit, membangun kembali rumah-rumah penduduknya./Rappler

Aceh bangkit dengan damai

Setelah sama-sama menjadi korban kedahsyatan tsunami, mereka yang terlibat dalam konflik puluhan tahun di bumi Serambi Mekkah, menyadari pentingnya membangun kembali Aceh, dan itu hanya bisa dilakukan dalam suasana damai. 

Pak JK memimpin semua proses ini hari demi hari, jam demi jam, dengan segala kepiawaian seorang politisi dan pebisnis. Memikirkan semua aspek yang potensial membuka ruang solusi.

Buku Ombak Perdamaian misalnya, membahas kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke kantor Wapres JK, p[ada 10 Januari 2005.  SBY datang untuk mendengarkan memorandum yang disampaikan wapresnya, usulan bagaimana solusi pasca bencana ke arah perdamaian.  SBY menyetujui ide JK.  The rest is history.

Sesudah buku ini, semoga tak ada lagi polemik diantara pendukung JK dan pendukung SBY soal siapa yang paling berperan dalam memimpin penanggulangan bencana di Aceh. SBY adalah presiden, yang menyetujui pengambilan keputusan. JK adalah otak semua kegiatan itu. 

Pak Jakob Oetama, pendiri dan pemimpin kelompok penerbitan Kompas menyebut JK sebagai sosok yang “get things done”. Bisa mencari solusi dan menjalankan solusi itu. Tidak semua pemimpin mempunya kualitas itu.

JK adalah sosok yang teliti. Soal ini selalu saya jadikan contoh dalam setiap pelatihan jurnalistik, terutama dalam meliput konflik. Hal penting yang harus diperhatikan jurnalis adalah mencari akar
permasalahan. Riset, riset, riset. 

Sehingga saat turun ke lapangan, memiliki gambaran situasi yang terjadi. Ketika mengurus negosiasi perdamaian di Aceh, JK membaca banyaki buku sejarah Aceh. 

Dia mempelajari bahwa orang Aceh sejak lama punya hubungan baik dengan suku Bugis yang datang ke Aceh untuk berdagang. Orang Bugis memenangkan respek warga Aceh. Ini yang membuat JK memilih Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin yang berasal dari Bugis sebagai negosiator dari Indonesia. Bukan Sofyan Djalil yang dari Aceh. 

Menteri Awaluddin saat itu diminta JK membaca banyak buku tentang Aceh, sebagai bekalnya ke meja negosiasi.

Penanganan bencana tsunami di Aceh dan tercapainya perdamaian di sana, akan selalu menjadi pencapaian JK.  Sayangnya dia gagal mendapatkan manfaat politik dari peran ini.  Suara untuk JK di pemilu presiden 2009 jauh di bawah SBY. 

Buat saya ini juga misteri. Tapi mungkin tidak juga, karena sebagai calon petahana, SBY memiliki semua infrastruktur yang membuat posisinya diuntungkan dalam pemilu 2009 itu. Termasuk di Aceh.

JK kembali ke kursi wapres, sebagai pendamping presiden Jokowi. Ini juga sebuah preseden politik. Pilihan kepada JK tentu didasarkan pada pengalamannya, juga jejaringnya. JK membantu SBY memenangi suara di Indonesia bagian Timur pada 2004. Saya menduga ini juga yang diharapkan partai pengusung Jokowi-JK saat pilpres 2014. 

Pembangunan kembali Aceh bukannya tanpa ekses. Kita membaca laporan di media, sejumlah elit politik berebut kekayaan alam di sana. Pengrusakan lingkungan terjadi dan sulit ditangani karena melibatkan penguasa-penguasa lokal.

Pembangunan kembali Aceh bukannya tanpa ekses. Kita membaca laporan di media, sejumlah elit politik berebut kekayaan alam di sana. Pengrusakan lingkungan terjadi dan sulit ditangani karena melibatkan penguasa-penguasa lokal. 

Sosok-sosok yang dulu bergabung di GAM (Gerakan Aceh Merdeka) kini terpecah dalam dua partai politik dan bertempur untuk kekuasaan. Menarik untuk mengikuti ke mana semua ini bermuara.

Hari ini, JK bersama  warga Aceh dan mereka yang peduli berkumpul di Banda Aceh untuk memperingati 10 tahun Tsunami, menjadi saksi hidup Aceh yang berubah. Aceh yang dalam proses membangun kembali dengan lebih baik di semua lini kehidupan warganya. 

Presiden Jokowi karena alasan tertentu tidak jadi memimpin peringatan ini, dan membatalkan kunjungan ke Aceh hari ini. 

Ada baiknya juga menurut saya.  Agar sosok di panggung fokus kepada mereka yang benar-benar bekerja untuk warga Aceh. Satu diantaranya, dan yang termasuk paling penting perannya, adalah JK.– Rappler.com

 

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!