Antara Ahok dan Bloomberg: Sebuah tantangan metropolitan

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Antara Ahok dan Bloomberg: Sebuah tantangan metropolitan

AFP

Lebih penting mana meninggalkan warisan sebagai pemimpin kota, membangun proyek fisik yang heboh, atau meningkatkan kualitas sumber daya manusianya?

Ketika miliarder Michael Bloomberg meninggalkan posisi Walikota New York, AS, jelang akhir 2013, banyak yang sepakat, warisan terpentingnya adalah perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Selama hampir 12 tahun memimpin, Bloomberg menjadikan the city that never sleeps itu sebagai pusat diskusi reformasi sektor pendidikan publik di seantero AS.

Tentu saja, Bloomberg dikenal dengan serangkaian inisiatif populer lain, seperti kota yang ramah untuk pengendara sepeda, CitiBike. Kemacetan di kota berpenduduk 8,5 juta itu sudah mendunia. Ya, karena New York adalah melting pot, tempat bertemu segala bangsa. Di sana, misalnya, berkantor Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk menyebut sebuah institusi resmi.  

Jutaan orang datang ke New York setiap tahun, termasuk mencari masa depan lebih baik. “If  I  can make it there, I am gonna make it anywhere”, kalimat dalam lagu berjudul New York, New York, lagu yang ditulis John Kander untuk Liza Minelli, yang juga dipopulerkan Frank Sinatra itu menjadi magnit.

Mereformasi sistem pendidikan publik, kalau di sini disebut sekolah negeri, adalah program yang sulit bagi Bloomberg. Saat menghadiri sebuah diskusi pendidikan di acara pertemuan puncak eksekutif negara anggota APEC, Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik di Vladivostok, Rusia, tahun 2012, saya mencatat ucapan Perdana Menteri Australia Julia Gillard yang menjadi panelis. “Sulitnya mereformasi pendidikan bagaikan memindahkan kuburan,”  kata Gillard. Artinya, sulit sekali, karena berbenturan dengan keyakinan yang mengakar lama.  Melibatkan perubahan paradigma guru, orang tua murid, murid, pengelola sekolah, masyarakat sekitar, dan kota.

Namanya persepsi. Bahkan, setelah NYC disebut sebagai ibukota reformasi pendidikan pun, masih banyak orang tua yang tidak puas. Makanya Bloomberg dalam sejumlah wawacara jelang lengser, mengatakan, paling susah menjual ide reformasi pendidikan. Banyak yang rewel.

Berkat kepemimpinan Bloomberg, kota New York memuncaki Brookings Institute Education Choice and Competition Index. Brookings Institute adalah lembaga kajian publik terkemuka di Negeri Paman Sam. Bloomberg meninggalkan warisan, lebih banyak sekolah negeri dengan kualitas pendidikan yang bagus dibanding ketika dia memulai masa jabatannya. Salah satu orang terkaya di dunia menurut majalah Forbes itu juga dikenal sebagai pendukung kuat charter school.  

Di sekolah yang dikelola charter school, pendidikan dijalankan dengan fokus pada kebutuhan pelajar. Orang tua terlibat aktif. Sekolah disubsidi dan mengundang banyak pelajar dari kelompok minoritas dan yang tidak mampu. Sebuah studi oleh Stanford University’s Center for Research on Educational Outcomes menunjukkan hasil sistem  pengajaran di charter school lebih diminati ketimbang di sekolah publik yang tradisional. Di NYC, tingkat kelulusan sekolah menengah atas meningkat 40 persen. Sementara di tingkat nasional angkanya cuma 9 persen.  Bloomberg mengklaim bahwa NYC memiliki sistem evaluasi kemampuan guru terkuat di AS.

Mantan Walikota New York City Michael Bloomberg. Foto oleh EPA

Kepedulian Bloomberg pada pendidikan termasuk mendesakkan Common Core, sebuah program peningkatan kemampuan matematika dan bahasa Inggris bagi pelajar, agar lebih mampu bersaing saat masuk ke pasar tenaga kerja global. Program ini sempat ditentang oleh sejumlah wakil rakyat di dewan kota. Tapi Bloomberg bersikukuh.  “To condemn our kids, your kids, my kids, everybody else’s kids to a life where they can’t compete is just, it’s sick. That’s the nicest thing you can say,” kata Bloomberg, dalam wawancara dengan Katie Couric, Presenter Yahoo Global News.

Pengganti Bloomberg, Bill De Blassio menuai kritik karena memangkas sejumlah alokasi bujet kota untuk mendukung charter school.

Sebagai politisi terkemuka sekaligus orang terkaya yang punya banyak jejaring, tentu saja ada kritik kepada Bloomberg yang dianggap banyak memberi kemudahan kepada orang kaya NYC — teman-temannya. Bloomberg menunjukkan data-data berapa banyak usaha kecil yang tumbuh selama dia memimpin. Dia juga dikenal peduli terhadap isu perubahan iklim. Polusi kota. Kemacetan. “Bisa dibayangkan bagaimana kota-kota pada 2050? Di sebagian kota, Anda bisa melihat udara yang Anda hirup,” katanya.

Di masanya, NYC dilanda badai topan Sandy yang meluluhlantakkan sebagian kota di wilayah dekat pantai.

Pernah saya ceritakan, tahun 2013 saya mengikuti program East West Center Journalism Fellowships on Disaster Management and Resiliency, dan memulainya di New York. Saya mendapatkan informasi bagaimana kantor walikota merespons, termasuk dukungan bagi usaha mikro. Bloomberg , yang menurut catatan Forbes memiliki kekayaan senilai 33 miliar dolar AS, memaksa perbankan dan lembaga keuangan untuk memberi kemudahan kredit termasuk pembayarannya. Membuat asuransi kebencanaan yang dengan manfaat yang lebih rinci dan besar. Otak bisnisnya berperan. Berpikir sebagai pengusaha.

Setelah pensiun, Bloomberg juga akan melanjutkan kerja saat di kantor walikota dengan terus memerangi masalah kesehatan publik, termasuk merokok dan obesitas, serta pengetatan pengawasan terhadap kepemilikan senjata. Dia membanggakan program saat menjadi walikota, membatasi kadar gula dalam minuman ringan, maksimal 16 persen per ons. Upaya yang menginspirasi seluruh negeri dalam rangka memerangi obesitas yang kian menjadi ancaman kesehatan, terutama bagi anak-anak. Banyak tantangan dari industri, tapi Bloomberg yakin dia dan pendukung kebijakan itu akan memenangkan pertempuran.

Tahun 2007 saya pernah mengunjungi rumah sakit kanker yang disebut terbaik di dunia, Hadassah Medical Center, yang terletak di Jerusalem. Keluarga Bloomberg ikut mendanai operasional rumah sakit yang sebenarnya didirikan sebagai rumah sakit pendidikan.  Hadassah adalah nama perkumpulan perempuan zionis di Amerika Serikat. Nama ibu Michael Bloomberg diabadikan sebagai donatur di paviliun perawatan kanker.    

Problematika Ahok

Sebagai alternatif, kamu bisa gunakan bus tingkat gratis untuk mencapai tujuan. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Mengapa saya menulis beberapa paragraf soal Michael Bloomberg, terutama bersumber pada wawancara terakhir dengan media saat dia lengser menjadi walikota?

Kemarin sore di linimasa Twitter, stand-up komedian dan juga presenter televisi @abdelachrian dan @solehsolihun mengusulkan agar saya menulis soal Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, populer dipanggil Ahok.  Temanya soal gaji 72 ribu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di DKI Jakarta yang sampai hari ini belum dibayar. Biasanya mereka menerima gaji pada tanggal 1 setiap bulan. Tunjangan kedinasan dibayarkan pertengahan bulan.  

Alasan terlambat, kata pihak kepala badan keuangan daerah adalah perubahan susunan pejabat kedinasan. Gubernur Ahok memang merombak banyak posisi, juga merampingkan posisi jabatan struktural dari 8.000 an menjadi 6.511 saja.  

Pelantikan dilakukan Jumat (2/1) lalu di Lapangan Monas dan diikuti tes urin untuk mengecek apakah ada yang mengonsumsi narkoba. Ahok sempat jengkel dan menganggap alasan kelambatan pembayaran gaji sebagai bentuk pembangkangan. Memang ada restrukturisasi, tapi harusnya yang terpengaruh cuma tunjangan kedinasan yang terkait dengan posisi struktural. Gaji dan tunjangan anak-istri bisa tetap dibayarkan. Semalam saya membaca, gaji akan dibayarkan hari ini, Kamis (8/1). Ini berita hangat terkait Ahok.

Ahok banyak diberitakan saat mengeluhkan kinerja anak buah. Dia mengancam akan memecat jika ada yang kinerjanya buruk. Banyak tidur-tiduran. Ketika 12 petugas honorer pemandu wisata di bis kota yang disediakan untuk keliling Jakarta meminta kesempatan diangkat jadi PNS, Ahok juga kesal. Berita terkait Ahok yang berkeluh kesan dan marah silakan Anda cek dengan menggunakan mesin pencari artikel di Internet. Saya tidak ingin membahasnya.

Yang lain, Ahok melarang pengendara sepeda motor melewati jalur jalan protokol Sudirman-Thamrin. Alasannya antara lain mengurangi kemacetan dan potensi kecelakaan kendaraan bermotor. Tentu saja ada pro dan kontra.  Kalau ingin mengurangi kemacetan, mengapa motor yang dilarang? Bukankah mobil juga sumber kemacetan?  Untuk mengangkut pengendara sepeda motor yang punya kepentingan di sepanjang jalur protokol ini, Ahok berjanji sediakan bis kota gratis. Belum memadai jumlahnya.

Jumlah bus TransJakarta juga akan ditambah, sekitar 200an tahun ini. Masalahnya memang peremajaan dan kurang bus, sehingga waktu tunggu di setiap halte bisa mencapai 20 menitan, terutama di jam sibuk pagi dan sore hari.  Barusan saya membaca sebuah berita di laman merdeka.com, judulnya Ahok sebut ada setan yang gerakkan PNS DKI meneror dia. Soal pembayaraan gaji PNS yang tertunda, bisa dibaca di sini. 

Ahok juga menemui Menteri Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago, mengeluhkan soal solusi macet dan banjir. Januari ini curah hujan diperkirakan tinggi, dan biasanya sebagian wilayah Jakarta banjir. Ahok juga ditegur Kementerian Dalam Negeri karena belum menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2015. Ini tautannya.  

Tiada hari tanpa berita Ahok, sebagaimana juga kala Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjabat gubernur. Maklum, keduanya berpasangan dalam Pemilihan Gubernur 2012. Jokowi kini naik pangkat jadi Presiden, Ahok mengisi kursi Gubernur. Keduanya sosok populer, disenangi media. Ahok disenangi karena sikap ceplas-ceplos dan dianggap berani. Saat awal menjabat Wakil Gubernur, dia menuai pujian karena memarahi Kepala Dinas Pekerjaan Umum saat rapat. Videonya beredar di YouTube. Ahok berjanji akan setransparan itu dalam mengelola DKI.  

Sampai kini belum ada lagi video rekaman rapat yang baru.

Saya tidak terlalu kenal Ahok. Belum pernah wawancara sesudah dia ke Jakarta. Di beberapa pertemuan paling saling senyum. Jadi tidak punya koleksi foto bersama dia di kantornya. Dia nampak kasual dan santai kalau saya perhatikan dari mereka yang memasang foto bersamanya di akun media sosial mereka.

Tahun 2009, saya mengundang Ahok, saat itu politisi Golkar dari Belitung Timur, menjadi panelis di program Ring Politik, program spesial pemilu ANTV saat itu, yang saya bawakan. Mungkin itu panggung yang pertama bagi Ahok muncul di TV nasional.

Saya masih ingat, mendapat oleh-oleh dari Ahok dan timnya yang datang ke studio saat itu, segepok buku profil dan biografi. Ada juga compact disc. Foto-foto keren hasil jepretan seorang profesional, dicetak di kertas cukup mahal. Ada beberapa buku, dan beberapa kru mendapatkannya juga. Seingat saya cuma Ahok yang siap dengan materi promo diri seperti itu. Canggih juga, pikir saya.

Sekarang Ahok jadi tokoh nasional. Bahkan ada yang mulai menyebutnya sebagai kandidat untuk pemilu presiden 2017. Who knows? Dia sudah mencetak sejarah sebagai gubernur pertama di ibukota yang keturunan Tionghoa.

Dari Michael Bloomberg ke Ahok?   

New York City memang sebuah kota. Tapi tingkat penting dan ruwetnya permasalahan seperti provinsi Jakarta.  Bahkan lebih pelik. Kota ini bagaikan ibukota dunia. Jumlah penduduk New York 1,5 juta lebih sedikit dibanding  Jakarta. Tantangan kotanya mirip. Kosmopolitan, tekanan urbanisasi.

Jadi, membaca wawancara dan warisan Bloomberg, saya tercekat. Dua belas tahun memimpin, ratusan mungkin ribuan inisiatif dan program, tapi yang menjadi kenangan paling kuat baik bagi dirinya maupun penduduk kota, juga media, adalah reformasi di bidang pendidikan.

Sementara Ahok, yang baru menjabat Gubernur sebulan (meskipun sebenarnya ketika Jokowi sibuk kampanye praktis Ahok sudah menjadi pelaksana harian), masih dipusingkan dengan infrastruktur, problem mendasar termasuk mengurusi 72 ribu PNS yang sampai saat ini belum gajian.

Membaca berita Michael Bloomberg saya membaca betapa membangun kota, itu sesungguhnya bukan (hanya) membangun fisik, termasuk infrastruktur. Membangun kota adalah membangun manusianya. Mungkin contoh yang dekat dengan Bloomberg adalah Tri Rismaharini, Walikota Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia. Hari-hari ini pun kita mengikuti kiprahnya yang menonjolkan sosok kepemimpinan yang beda, lebih memanusiakan, saat mendampingi keluarga penumpang pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di Selat Karimata, dalam perjalanan dari Surabaya ke Singapura.  

Kita juga punya walikota seperti Ridwan Kamil, Bupati Putra Azwar Anas. Siapa lagi menurut Anda? 

Saya membayangkan kepala daerah, gubernur, atau bupati dan walikota, saat mengakhiri masa tugasnya, mendapatkan kepuasan batin seperti Bloomberg. Karena dia memiliki minat dan kepedulian besar pada pendidikan, yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Itu the biggest legacy yang ia tinggalkan. Bukan bangga karena meninggalkan proyek fisik yang megah. Apalagi karena dikenang sebagai pejabat yang ekspresif. Sumbu pendek.

Semangat ya, Pak Ahok. Masih ada waktu. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!