Kabinet Kerja Jokowi masih belajar

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kabinet Kerja Jokowi masih belajar

EPA

Dua bulan pertama masa kerja pemerintahan Presiden Jokowi diwarnai sejumlah kontroversi. Ada juga tragedi dan skandal dugaan korupsi calon Kapolri.

Duta Besar Jepang tadi agak setengah menggertak, “Kalau itu dibatalkan, nanti akan ada konsekuensi ekonomi dan politiknya.” Tapi, saya harus bertindak untuk dan atas nama rakyat Indonesia, dan de facto, saat seperti ini Menteri PPN/kepala BAPPENAS harus sadar bahwa ia harus menjalankan tugas diplomatik.

Kalimat di atas adalah status di dinding Facebook Andrinof Chaniago, diketahui sebagai akun media sosial Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Andrinof  Chaniago. Diunggah  pada tanggal 12 Januari 2014, Pukul 6.43 pm. Pagi harinya, pukul 6.15 am, akun Menteri Andrinof memasang status berikut:

“Dua setengah bulan menjalankan tugas, salah satunya yang saya rasakan adalah betapa agresifnya negara-negara lain mencarikan proyek untuk para penguaha mereka di Indonesia. Salah satu yang paling agresif adalah Jepang. Tugas Bappenas adalah menjaga agar investasi mereka masuk ke agenda pertumbuhan yang berkualitas.”

Harian berbahasa Inggris, The Jakarta Post, membuat berita dengan judul, Minister claims being threatened by Japanese Ambassador. Bahan-bahannya dari status Facebook Andrinof. Jakarta Post menyimpulkan bahwa status Facebook Andrinof menunjukkan adanya ancaman dari Duta Besar Jepang di Indonesia, bahwa akan ada reaksi ekonomi dan politik jika Indonesia membatalkan proyek terkait dengan investasi Jepang. Jepang adalah investor terbesar Indonesia, dan baru saja berkomitmen untuk membiayai proyek konstruksi mass rapid transportation (MRT) senilai sekitar 2 Miliar dolar AS.

Sebagian pembaca status Facebook itu, termasuk saya, menilai bahwa seyogyanya sebagai pejabat tinggi, menteri pula, Menteri Andrinof tak memasang status yang bisa memicu masalah diplomasi. Mengatakan bahwa seorang dubes asing mengancam, sebagaimana istilah yang digunakan Jakarta Post, itu sesuatu hal yang serius. Lagi-lagi, secara diplomatik.  

Duta besar Jepang, Tanizaki Yasuaki, adalah salah satu diplomat senior dan mumpuni. Dia lulusan Fakultas Hukum Universitas Tokyo, pernah bertugas di Australia, Filipina, Rusia, Jerman, dan Vietnam. Menjadi pegawai Kementerian Luar Negeri Jepang sejak 1975. Sebelum bertugas di Indonesia, Yasuaki adalah direktur jendral lembaga pelatihan Japan’s Foreign Service. 

Sesudah nampak heroik nasionalis di status Facebooknya, sehari sesudah berita Jakarta Post, Andrinof mengklarifikasi pemberitaan itu. Pada berita berjudul Minister clarifies issue with Japanese ambassador, Andrinof mengatakan bahwa dirinya tidak merasa diancam oleh Dubes Yazuaki. “Tidak ada ancaman sama sekali. Posting Facebook saya artinya bahwa tersirat dari Dubes [Jepang], bahwa akan ada konsekuensi ekonomi dan politik jika proyek dibatalkan.”

Jakarta Post nampaknya membuat berita semata berdasarkan status Facebook. Menyimpulkan bahwa menteri “merasa diancam” berdasarkan penggunaan kalimat, “agak setengah menggertak,” yang notabene dikutip dari status sang menteri. Kesimpulan Jakarta Post tidak salah. Menteri Andrinof yang nampaknya belakangan menyadari ada konsekuensi diplomasi dari status di media sosial itu.

Pelajaran penting bagaimana bersosial media setelah menjadi pejabat publik, yang setiap kalimatnya tidak bisa dilepaskan dari status baru. Sebagai mantan pengamat, Andrinof pasti lebih leluasa menyampaikan apa saja, termasuk curhat colongan di media sosial. Tidak ada konsekuensi dari status media sosialnya. Sebagai pejabat publik, ada konsekuensinya. Apalagi membicarakan diplomat asing.

Sejumlah anggota kabinet Presiden Joko “Jokowi” Widodo berasal dari kalangan pengamat atau politisi. Masuk ke birokrasi yang penuh dengan peraturan dan tata-krama. Termasuk tata-krama komunikasi. Jokowi meneriakkan jargon Revolusi Mental, termasuk bertekad membenahi birokrasi. Ide bagus. Melaksanakannya berat dan butuh konsistensi.

Jokowi juga memerintahkan menteri-menterinya banyak turun ke lapangan. Blusukan. Bekerja cepat. Kerja, Kerja, Kerja.  

Saya melihat menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa, Marwan Ja’far dan Hanif Dhakiri, rajin melaporkan kegiatan melalui akun Twitter mereka. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigasi, Marwan Ja’far, tengah bersengketa dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo terkait penempatan Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa. Jokowi menugasi Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menengahi, menentukan di kementerian mana Dirjen ini ditempatkan.  

Sebagian mendapatkan catatan positif dari publik, seperti yang diterima Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Padahal kebijakannya kontroversial.

Kebijakan menteri tuai kontroversi

Sebagian lain menciptakan kontroversi, pula cemooh publik, seperti yang terjadi pada Menteri Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Yuddy buru-buru membuat aturan konsumsi rapat dan menyampaikan akan mengurangi jam kerja karyawan pegawai negeri sipil perempuan. Sebagai pengingat, saya menuliskannya di sini 

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan saat konferensi pers terkait hilangnya pesawat AirAsia QZ8501 di Bandara Juanda, Surabaya, pada 28 Desember 2014. Foto oleh EPA

Jonan, menuai kontroversi dalam kebijakannya menangani masalah izin rute penerbangan. Paling kontroversial adalah kebijakan menghapus tiket promo dengan alasan keselamatan penerbangan. Jonan melalui staf khususnya juga sempat berbalas surat terbuka dengan pilot. Juga menyoal pemberitaan media yang mengatakan dia marah-marah. Klarifikasi demi klarifikasi dilakukan,  menjelaskan kebijakan yang dimaksudkan, menunjukkan ada yang salah dengan pola komunikasi publik.

Kontroversi soal kebijakan Jonan terasa di media sosial. Namanya sempat menjadi trending topic di Twitter. Akun @pangeransiahaan , seorang penulis dan presenter acara olahraga, pada tanggal 6 Januari 2015, berkicau, “The Tifatul-shaped hole in this cabinet has been filled by Jonan.” Dia merujuk kepada Tifatul Sembiring, mantan Menteri Komunikasi dan Informasi kabinet sebelumnya yang kerap menjadi bahan kontroversi dan cemooh  di media sosial.

Sesudah heboh, Jonan membuat beberapa janji dan langkah yang lumayan. Memutasi pejabat di lingkungan Ditjen Perhubungan Udara dan Darat. Berjanji membangun sistem perizinan rute secara elektronik yang transparan. Menitikberatkan pada keselamatan konsumen.  Konsekuensinya membayar lebih mahal. Padahal, tanpa kebijakan baru, tiket pesawat terbang sudah naik sejak kenaikan BBM. Tidak turun meskipun harga avtur dunia turun. 

Tragedi jatuhnya AirAsia QZ8501 semoga  membuat Jonan, yang dianggap lumayan sukses memimpin PT Kereta Api Indonesia selama enam tahun, menyadari tugasnya kini jauh lebih berat. Lebih luas. Dan sebagian besar belum dikuasai. Tidak seperti mengelola  PT KAI yang scope-nya nasional. Pemangku kepentingan lebih luas. Membanggakan sukses di KAI tidak cukup.

Cara komunikasi menteri juga kini dikritisi. Sempat, gaya marah-marah menjadi tren. Diliput media. Tetapi ada suatu titik, ketika gaya itu diterapkan, reaksi publik negatif. Apalagi kalau saatnya tidak pas. Terkesan mencari panggung.

A cabinet in training. Mungkin itu istilah yang pas menggambarkan apa yang tengah dijalani oleh para menteri. Terutama bagi yang baru masuk jajaran pemerintahan.   

Butuh waktu untuk mempelajari peraturan yang ada, mendengarkan beragam masukan, memilah mana yang punya self-interest dan hanya sekedar menyenangkan atasan dengan laporan yang baik-baik saja, mana yang benar. Blusukan, menurut saya, dimaksudkan untuk lebih banyak mendengar. Mendengar. Mendengar sebagai bahan untuk merumuskan keputusan. Untuk perubahan. Bukan untuk pamer marah-marah, lantas dimuat media.  

Media dan media sosial mengikuti gerak-gerik dan ucapan menteri. Bahkan Presiden Jokowi mengingatkan hal ini dalam sebuah rapat kabinet yang membahas Rancangan Pembangunan Jangka Menengah 2015-1019, pekan lalu (7/1). “Meskipun media tidak selalu merepresentasikan  kinerja pemerintah, saya ingin mengingatkan bahwa media mempengaruhi citra dan persepsi terhadap pemerintahan,” kata Jokowi. Dia mengaku menugasi tim intelijen media memonitor 343 media.

Apakah karena hal ini menteri jadi rajin ke lapangan dan membuat berita? Yang jelas Panglima TNI Jenderal Moeldoko sibuk memonitor pencarian kotak hitam AirAsia QZ8501. Dia juga berpose dengan kotak itu saat ditemukan. Yang menemukan memang penyelam TNI. 

Bukan hanya menteri, pun Jokowi

On-the-job training juga dialami Presiden Jokowi, kendati dia didampingi wapres berpengalaman sebelumnya, Jusuf Kalla. Misalnya saat dia sempat batal melantik Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Muda Agus Supriyatna. Soalnya yang bersangkutan masih berbintang dua. Lantas, buru-buru dinaikkan ke marsekal madya, dengan jabatan Kepala Staf Umum Markas Besar TNI. Bintang dua. Besoknya Ade Supriatna dilantik jadi KSAU. Dua hari naik pangkat dua hari. Mengapa tidak? Kalau Panglima Tertinggi berkehendak. Hanya saja, rencana pelantikan yang sudah sempat diumumkan melalui media, bersamaan dengan pelantikan kepala staf angkatan laut, sempat tertunda. Masalah administrasi.  

Dan, hari-hari ini, Presiden Jokowi sedang jalani tes kepemimpinan dalam pencalonan Kapolri. Kemarin, Rabu (14/1), rapat Komisi III DPR RI yang minus kehadiran Fraksi Demokrat secara aklamasi menyetujui pencalonan Komisaris Jendral Polisi Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Keputusan diambil setelah fit and proper test yang dilakukan Rabu, menindaklanjuti surat Presiden Jokowi yang mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal pengganti Kapolri Jenderal Sutarman.  

Keputusan Komisi III masih harus dikukuhkan via rapat paripurna DPR. Tapi sudah menempatkan Jokowi pada posisi serba-salah.  Selasa (13/1), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan bahwa Budi Gunawan menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi.  

Keputusan rapat komisi III pada Rabu, membuat bola kembali ke tangan Jokowi. Akan tetap mengangkat Budi Gunawan yang berstatus tersangka KPK? Atau memperpanjang masa jabatan Kapolri Sutarman seraya mencari pengganti dengan risiko bermasalah dengan DPR dan partai politik pengusungnya?

Ujian bagi kemampuan Jokowi sebagai politisi. Sebagai presiden. Sebagai pemimpin. 

Mungkin Jokowi perlu membaca hasil analisis tim intel medianya. Itupun kalau mereka melaporkan dengan benar. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!