Kematian yang tidak diperlukan

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sementara itu, narapidana tindak pidana korupsi yang punya daya rusak lebih keji dan lebih kejam daripada narkoba, seringkali malah mendapatkan remisi berkali-kali hingga pelakunya bisa bebas dengan hukuman ringan.

 Image courtesy of Shutterstock

Keputusan untuk mengeksekusi enam orang terpidana kasus narkoba pada Minggu (18/1) dini hari banyak diapresiasi positif oleh publik. Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa kejahatan yang berkaitan dengan narkotika memang pantas dan selayaknya dibalas dengan hukuman mati.

Regu tembak disiapkan. Lima orang warga negara asing dan satu warga negara Indonesia mati di ujung pelor pasukan penembak. Keadilan telah ditegakkan, demikian kata mereka yang mendukung hukuman mati.

Para bandar narkoba ini barangkali memang pantas mati. BNN menyebutan 50 orang meninggal setiap harinya karena narkoba. Keluarga yang kehilangan, rusak dan mesti tercerai berai, semestinya mendapatkan keadilan. Maka ketika pemerintahan saat ini melakukan eksekusi, beberapa melakukan pembenaran berdasarkan angka yang diberikan BNN.

Namun angka itu hanya setengah dari angka kematian yang disebabkan oleh kecelakaan. Masyarakat transportasi Indonesia menyebut tiap hari, rata-rata ada 80 orang yang mati di jalan akibat kecelakaan. Ke mana negara?

Tapi mungkin itu tidak adil. Barangkali juga tidak sopan membandingkan kematian akibat narkotika dan kematian akibat ugal-ugalan di jalan. Namun jika argumen angka kematian digunakan untuk menjustifikasi kematian, maka selayaknya produsen motor turut dieksekusi.

Lebih dari itu, tindak pidana korupsi yang punya daya rusak lebih keji dan lebih kejam daripada narkoba, seringkali malah mendapatkan remisi berkali-kali hingga pelakunya bisa bebas dengan hukuman ringan.

Saya menolak hukuman mati dalam kasus narkoba bukan karena alasan hak asasi manusia. Lebih dari siapa pun, setiap bandar narkoba selayaknya dihukum sangat berat, tapi kematian bukan pilihan yang tepat.

Saya tahu, saya merasakan sendiri bagaimana mesti melihat keluarga yang saya cintai dirusak karena narkoba. Ia menderita berhari-hari, berkali-kali dan rusak seluruh hidupnya. Hukuman mati itu baik amat? Bandar narkoba yang hidup tidak berguna, apalagi yang mati.

Mengganti hukuman mati dengan hukuman lain bagi saya adalah langkah taktis dalam diplomasi. Dengan melakukan moratorium hukuman mati, Indonesia memiliki nilai tawar di mata internasional.

Hal ini berguna untuk melakukan diplomasi terkait warga negara kita yang terancam hukuman mati di negara lain. Dengan memberlakukan kebijaksanaan ini bukan berarti kita membebaskan hukuman bagi bandar narkoba, namun mencari alternatif lain hukuman yang dirasa pantas.

Saya khawatir apa yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait hukuman mati pada 5 warga asing itu akan jadi preseden buruk. Setidaknya lebih dari 240 lebih Warga Negara Indonesia terancam hukuman mati.  

Posisi Indonesia menjadi rentan bila nanti mengupayakan diplomasi perlindungan warga negara yang terlibat kasus hukum di luar negeri.

Saya mengerti mengapa Presiden Brasil Dilma Rousseff sampai menelepon Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta hukuman buat warganya dibatalkan. Setiap negara pasti tidak ingin warga negaranya mati terbunuh di tanah yang asing.

Sama dengan ketika pemerintah kita ditekan oleh masyarakat untuk membebaskan seorang TKI bernama Satinah, beberapa tahun silam. Pemerintah kita kalang kabut dan berusaha keras mencegah pemerintah Arab Saudi untuk memancung Satinah.

Satinah, oleh pemerintahan Saudi, dianggap bersalah dan terbukti membunuh dan merampok keluarga majikannya. Pemerintah memang berhasil membebaskan Satinah dengan membayar ‘hutang darah’ senilai 1.9 juta dollar Amerika.

Pemerintah Brazil bukannya ingin membebaskan secara buta Marco Archer Cardoso Moreira, warganya yang dihukum mati pemerintahan kita. Menurut pengacara Marco, Pemerintah Brazil sudah meminta untuk melakukan ekstradisi warganya itu, agar bisa menjalani hukuman penjara di Brazil.

Namun pemerintah kita menolak. Alasannya kedaulatan hukum negara masing-masing harus dihormati. Hormat kah pemerintah kita kepada keputusan pemerintahan Saudi?

Sebenarnya, pada 15 Maret 2013, pemerintah Indonesia melakukan eksekusi kepada Adami Wilson,warga negara Malawi yang dianggp bersalah karena menyelundupkan satu kilogram heroin ke Indonesia.

Deputi Direktur Human Right Watch divisi Asia, Phelim Kine, menyebut pemerintah Indonesia munafik karena melakukan hukuman mati kepada warga asing, namun pada satu sisi memperjuangkan keselamatan warganya sendiri. Apakah adil?

Hukum Internasional Hak Asasi Manusia sangat membatasi hukuman mati hanya kepada “kejahatan yang sangat luar biasa”, seperti genosida. Komite Hak Asasi Manusia PBB sendiri menilai pemberian hukuman mati kepada kasus narkoba dianggap tidak tepat.

Apalagi kualitas peradilan di Indonesia masih dianggap belum bersih. Komisi Yudisial mengisyaratkan bahwa praktik Mafia Hukum masih marak dan kerap terjadi.

Indonesia Legal Roundtable (ILR) mengeluarkan Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012. Indeks persepsi ini meniru Rule of Law Index yang biasa diterbitkan di tingkat dunia.

Dengan menggunakan lima ukuran, ternyata masyarakat memandang potret negara hukum Indonesia masih rendah. Lima poin yang dimaksud adalah pemerintah berdasarkan hukum; independensi kekuasaan kehakiman; penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia; akses terhadap keadilan; dan peraturan yang terbuka dan jelas.

Menurut Direktur Eksekutif ILR, Todung Mulya Lubis, secara keseluruhan indeks negara hukum Indonesia tidak menggembirakan. Dari skala 1-10, Indonesia hanya mendapat skor 4,53.

Penghormatan, pengakuan, dan perlindungan hak asasi manusia barangkali adalah hal yang paling rendah. Todung juga mengatakan bahwa belum ada bukti hukuman mati mampu memberikan efek jera. Ia juga berpendapat bahwa hukuman mati tidak konstitusional.

Masalah hukuman mati ini pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam perkara 2-3/PUU/2007, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa hukuman mati tidak melanggar konstitusi. Tetapi berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dalam perkara Hanky Gunawandan Hillary K. Chimezie menganggap bahwa hukuman mati bertentangan dengan konstitusi karena melanggar Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan hak asasi manusia.

Dalam kasus eksekusi Minggu malam lalu, nasib Rani Andriani bisa dibilang berbanding terbalik dengan dua sepupunya, Meirika Franola alias Ola dan Deni Setia Marhawan. Ola yang notabene bos yang menjadi pengedar dan pengendali bisnis narkoba itu diberikan grasi oleh SBY dan hukuman matinya diganti menjadi seumur hidup.

Sementara Deni memperoleh grasi yang sama pada 25 Januari 2012. Sedangkan Rani, entah mengapa permohonan grasinya ditolak Jokowi.

Menariknya Ola sempat berbuat ulah lagi. Dia diketahui masih mengendalikan jaringan narkoba internasional dari balik jeruji penjara. Dia diduga menjadi otak pengedaran narkotika setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap seorang wanita yang mengaku sebagai kurir Ola saat membawa sabu seberat 775 gram.

Adilkah membebaskan bandar besar yang terindikasi masih mengendalikan mafia dalam penjara, sementara mengeksekusi kurirnya tanpa ampun?

Saya jadi ingat perkataan guru besar hukum pidana Indonesia, alm. Prof. Mr. Roeslan Saleh dalam tulisannya yang berjudul Masalah Pidana Mati. Ia berkata, “… ada perbedaannya pidana mati ini dengan pidana lain.

Kalau hakim khilaf dan pidana mati telah dilaksanakan, maka pada orang itu tidak akan mungkin diberikan kembali jiwanya. Pada pidana penjara-kalau terhukum masih hidup-masih dapat diberikan kemerdekaanya kembali.”

Lantas jika terdakwa pidana mati sudah dieksekusi oleh regu tembak tetapi suatu saat terbukti bahwa bukan dia pelaku tindak pidana, bagaimana cara mengembalikan nyawa yang sudah dicabut itu? –Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

 

 


Laporan lengkap:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!