Tiga menteri Jokowi tunjukkan sikap soal Charlie Hebdo

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

3 menteri, perwakilan media, dan tokoh lintas agama satukan visi Indonesia sikapi permasalahan kartun Charlie Hebdo.

 ‘JE SUIS CHARLIE’. Ribuan warga Paris gelar malam tenang setelah kantor tabloid Charlie Hebdo diserang sekelompok ekstremis karena menerbitkan kartun Nabi Muhammad pada 7 Januari 2015. Foto oleh Ian Langsdon/EPA

“Yang terjadi di Paris, saat penyerangan terhadap kantor dan redaksi Charlie Hebdo, adalah bentrok antara ekstremis dengan ekstremis. Ekstremis Islam dengan ekstremis kebebasan berekspresi.” Kalimat ini muncul dari Prof. Din Syamsuddin, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhamadiyah.

Awal pekan ini, Senin (19/1), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengajak serta koleganya di kabinet Presiden Joko “Jokowi’ Widodo, yakni Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara untuk memfasilitasi dialog antara media dengan tokoh lintas agama.  

Formatnya adalah Focus Group Discussion (FGD) degan tema “Kebebasan Berekspresi dan Sensitivitas Agama”. Saya termasuk yang diundang dari kalangan media, karena keterlibatan dalam Global Intermedia Dialogue tahun 2006-2008, pasca heboh kartun Nabi Muhammad yang dimuat di koran Denmark Jyllands-Posten. Ada juga Endy Bayuni dan Meidyastama Suryodiningrat dari koran Jakarta Post, Rullah Malik dari Metro TV, dan Nasihin Masha dari Republika.

Dari kalangan tokoh agama, selain Din Syamsuddin, hadir juga Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Prof Azyumardi Azra, Ketua Majelis Ulama Indonesia Slamet Effendy Yusuf, dan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Dr. K.H. Marsudi Syuhud. Ada juga Yenny Wahid dan sejumlah tokoh lintas agama lain. Dari jajaran Kementerian Luar Negeri hadir Wakil Menteri luar negeri AM. Fachir yang memimpin diskusi.

Menlu Retno saat membuka FGD mengatakan, pihaknya ingin mengajak pihak terkait berdialog dan menyamakan persepsi atas sikap Indonesia terkait tragedi penyerangan kantor media satir Charlie Hebdo di Paris, pada 7 Januari tahun ini. Penyerangan yang dilakukan Kouachi bersaudara, yang menurut aparat Prancis adalah dari persaudaraan Muslim keturunan Aljazair itu, menewaskan 12 orang termasuk empat karikaturis andalan di majalah itu, dan memicu kembali debat soal batasan kemerdekaan berekspresi dalam kaitannya dengan karya jurnalistik terkait agama dan simbolnya.

Saya menuliskan peristiwa ini dan tren karun satir 2015 untuk Rappler Indonesia. Anda bisa membacanya di sini.

Diskusi pasca penyerangan ke kantor Charlie Hebdo memunculkan beragam sudut pandang, mulai dari debat batasan kebebasan berekspresi, sejarah panjang diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Prancis dan Paris serta kota-kota di Eropa, kecenderungan menguatnya politik dan politisi yang konservatif, tren fundamentalisme di berbagai agama dan kelompok, termasuk di kalangan media dalam bentuk free speech fundamentalist, debat soal bentrokan masyarakat sipil, terorisme sampai hipokrisi yang ditunjukkan sejumlah kepala pemerintahan yang hadir di Paris untuk konvoi menyatakan solidaritas atas aksi teror itu. Banyak aspek.

Menlu Retno mengatakan, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, sikap Indonesia ditunggu. Akun Twitter @Portal_Kemlu_RI menyampaikan sikap Kemlu terkait Charlie Hebdo yang isinya: 

  • “Kebebasan berekspresi harus dihormati namun bukan tanpa batas #CharlieHebdo.”
  • “Semua pihak mutlak menghormati perbedaan agama, kepercayaan dan nilai-nilai.” 
  • “Indonesia terus dorong kerjasama internasional guna tingkatkan toleransi antar agama, budaya dan peradaban.”

Saya melihat sikap Kemlu ini konsisten dengan sikap saat heboh kartun Nabi di media Jyllands-Posten yang kemudian menjadi alasan Indonesia dan Norwegia serta Selandia Baru menmfasilitasi Global Intermedia Dialog.

“Kita bisa melaksanakan kebebasan berekspresi dengan memperhatikan kearifan lokal. Nilai-nilai yang kita sudah miliki sejak dulu”

Menteri Agama Lukman Saifuddin menawarkan menghangatkan kembali prinsip tepo seliro, perpaduan antara toleransi dan tenggang rasa dalam hidup beragama dan berkeyakinan dalam masyarakat yang majemuk. Ini berlaku di Indonesia maupun dalam komunitas global.  

“Kita bisa melaksanakan kebebasan berekspresi dengan memperhatikan kearifan lokal. Nilai-nilai yang kita sudah miliki sejak dulu,” kata Menteri Lukman. Dia menyinggung perlunya media menerapkan apa yang disebut dengan jurnalisme damai atau peace journalism dalam meliput tema terkait potensi konflik termasuk antar mereka yang membawa bendera agama.

Menkonminfo Rudiantara mengatakan pihaknya memperhatikan dengan seksama penyebaran informasi melalui internet termasuk media sosial. Pihaknya tengah menyiapkan pembentukan panel ahli yang melibatkan figur masyarakat untuk membantu Kemkominfo dalam memutuskan tindakan terhadap situs yang dianggap bisa membahayakan masyarakat.

“Kalau situs porno jelas kriterianya. Tapi kalau terkait paham ideologi termasuk agama, kami di Kemkominfo tidak punya keahlian itu, makanya kami akan bentuk panel,” kata Rudiantara.

Bicara soal kearifan lokal, saya menyinggung prinsip yang datang dari orang tua juga. Dimana bumi di pijak, di situ langit dijunjung. Pandai-pandai membawakan diri. Biasanya ini pesan dari orang tua untuk anak-anak yang pergi merantau.  Intinya, perlunya kita mengenali masyarakat dan kultur di mana kita tinggal, hidup. 

Ketika majalah Charlie Hebdo menerbitkan sejumlah karya yang menohok dan mengkritisi sejumlah agama; Islam, Kristen, dan Yahudi, serta mengolok-olok politisi dan kelompok elit, mereka melakukannya karena yakin dilindungi undang-undang yang berlaku di Prancis yang menjamin kebebasan berekspresi. Hal yang sebenarnya kita alami di Indonesia.

Yang membedakan adalah kepedulian untuk memikirkan bahwa di masyarakat hidup kelompok dan orang-orang yang meyakini, bahwa agama adalah hal yang tidak seyogyanya dijadikan bahan olok-olok. Orang-orang ini termasuk yang mendukung kebebasan berekspresi juga. Tetapi batas dari kebebasan berekspresi adalah ketika ada orang/pihak lain keberatan atau “terluka” dengan kebebasan berekspresi itu sendiri. Do no harm, itu prinsip universal dalam jurnalistik.   

Protes atas sampul edisi terbaru Charlie Hebdo memicu demo ribuan orang di Pakistan, 10 tewas. Foto oleh AFP

Dalam FGD di Kemlu, kami membicarakan betapa Indonesia bisa menjadi contoh dalam menyikapi peristiwa yang bisa memicu bentrok antar agama dan kelompok masyarakat, termasuk pasca penyerangan Charlie Hebdo. Termasuk bagaimana Indonesia menyikapi penerbitan kembali majalah itu, yang mencantumkan gambar sampul lelaki bersorban yang diklaim hanya menunjukkan seseorang bernama “Muhammad”.  

Ada tulisan “Je Suis Charlie” dan “All is Forgiven” di sampul itu. Protes atas sampul ini memicu demo ribuan orang di Pakistan, 10 tewas. Demo juga terjadi di Nigeria dan Aljazair. Di Nigeria sedikitnya empat tewas dan belasan luka-luka. Tahun 2006, saat penerbitan kartun Nabi oleh Jyllands-Posten, lebih dari 100 orang tewas dalam bentrok saat terjadi demo di Pakistan.

Di Indonesia, ada demo protes, tapi dilakukan dengan damai. Media di Indonesia tak menerbitkan kartun-kartun Charlie Hebdo yang mengundang kontroversi. Bukan karena tidak mendukung kebebasan bereskpresi, melainkan karena media di Indonesia mengukur dampak jika menerbitkan kartun itu atas sebagian kelompok yang memandang kartun satir agama sebagai penistaan, meskipun Charlie Hebdo tidak hanya memuat satir atas sosok dan agama Islam saja.

Begitupun FGD juga membahas perlunya umat Islam melakukan introspeksi atas bagaimana menyikapi isu-isu terkait agama.  Tanggung jawab ada pada tokoh agama. Kementerian Luar Negeri pernah memiliki program empowering the moderate. Termasuk memfasilitasi program lintas kunjungan antara tokoh agama dari negara lain ke Indonesia dan sebaliknya, di semua tingkat termasuk anak muda.  

Yang dirasakan berat adalah membangun pemahaman berpikir moderat di kalangan masing-masing agama. Seorang tokoh mengatakan, “Membangun hubungan harmonis antar agama  lebih mudah dibandingkan dengan intra agama. Butuh kesabaran dan upaya terus-menerus,” kata dia. Ini terjadi di semua agama. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!