Merah Bercerita menolak lupa melalui musik

Prima Sulistya Wardhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merah Bercerita menolak lupa melalui musik
Merah Bercerita merilis lagu barunya yang diangkat dari puisi Wiji Thukul. Band dari Surakarta yang digawangi putra Thukul ingin bercerita untuk menolak lupa.

 

SURAKARTA, Indonesia — Lima belas tahun tak cukup untuk melenyapkan nama Wiji Thukul. Puisi-puisinya membuat penyair dan aktivis yang hilang sejak 1998 ini terus dikenang. Larik “Hanya satu kata: Lawan!” yang menutup puisi Peringatan — ditulis Thukul tahun 1986 — menjadi petikan yang paling identik dengan dirinya dan masih didengungkan hingga kini. 

Puisi-puisi Thukul memang banyak bicara tentang kekuasaan yang menindas dan derita rakyat. Kesederhanaan puisi-puisi itu, sekaligus kegamblangannya, menjadikan Thukul penyair yang menempatkan puisi sebagai alat perlawanan. Seperti judul kumpulan puisinya, Aku Ingin Jadi Peluru.

Apa yang dikerjakan Thukul kini diteruskan dua anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Tanggal 8 Februari ini, si bungsu Fajar bersama bandnya yang bernama Merah Bercerita merilis lagu mereka yang liriknya berdasarkan puisi Thukul berjudul Derita Sudah Naik Seleher. Lagu itu diunggah di situs SoundCloud.

Puisi tersebut ditulis pada 1996, bersamaan dengan memucaknya gelombang era Reformasi. 

Lirik Derita Sudah Naik Seleher tajam, khas Thukul.

kau lempar aku dalam gelap

hingga hidupku menjadi gelap

kau siksa aku sangat keras

hingga aku makin mengeras

(…)

derita sudah naik seleher

kau

menindas

sampai

di luar batas

Bersama tiga karibnya, yakni Gandhiasta Andarajati, Yanuar Arifin, dan Lintang Bumi, Fajar ingin menolak lupa lewat musik. Berikut wawancara Rappler Indonesia dengan lelaki kelahiran 22 Desember 1993 ini:

Lagu Derita Sudah Naik Seleher mengambil lirik dari puisi Bapak berjudul sama. Mengapa memilih puisi tersebut?

Kami pikir dari judulnya saja sudah mewakili apa yang terjadi saat itu dan saat ini. Secara sederhana, ini cara kami menolak lupa. Tapi dengan cara yang menyenangkan, yaitu musik.

Saya tidak akan bicara jauh ke sana (situasi ketika puisi itu ditulis). Saya bicara untuk lingkup keluarga saya saja, di mana ibu dan kakak saya pasti mengalami trauma. Saya secara tidak langsung juga mengalaminya meski saat peristiwa itu saya belum punya ingatan untuk diceritakan. Yang pasti, derita yang dimaksud di judul puisi itu mewakili derita rakyat ketika pemerintah sudah kelewat batas menindas lewat aturan-aturannya. 

Ini lagu pertama Merah Bercerita, ya?

Sebenarnya sih nggak. Tapi kalau ini lagu pertama yang dirilis sesuai aturan, iya. 

Maksudnya sudah ada lagu sebelumnya tapi tidak dirilis resmi seperti sekarang?

Iya. 

Apa kegiatan Fajar sekarang? Kuliah?

Saya sebenarnya mau daftar sekolah lagi, tapi belum punya ijazah SMA. Kelihatannya tahun depan saja. Kalau sekarang cuma bikin lagu saja kegiatannya. Saya putus sekolah waktu SMA dulu. Sekarang usia 21. 

Bagaimana ceritanya bisa bertemu Gandhi, Yanuar, dan Lintang?

Kami dulu sekolah di SMA yang sama, jadi ya ketemu, deh [terkekeh]. Saya di situ paling tua, saya tinggal kelas. Saya ajak dua orang angkatan baru, lalu satu gugur, lalu merekrut teman lagi, dan lagi. Akhirnya jadi sekarang ini. Rumit ya? [tertawa]. 

Lumayan, tapi wajar seperti begitu di band. Balik lagi ke lagu, apa sih yang mau disampaikan Merah Bercerita lewat lagu-lagunya?

Lagu-lagu kami, sih, keseluruhan bercerita tentang kenyataan yang terjadi di lingkungan kami setiap hari. Jadi kami hanya sekadar bercerita. Syukur-syukur cerita kami bisa menghasilkan sesuatu yang positif bagi pendengar. 

Kenyataan seperti apa?

Seperti contoh lagu Negeriku Semakin Horor yang bercerita tentang kaum barbar yang anti-pluralisme. Lalu ada Ilusi yang bercerita tentang kebohongan-kebohongan yang ada dalam media atau dunia maya hingga berpengaruh besar pada kehidupan nyata. 

Ada Bom Waktu yang bercerita tentang jika kita tidak peduli pada lingkungan, itu sama halnya dengan mempercepat bumi kita meledak. Dan ada beberapa lagu yang kami adopsi dari puisi Wiji Thukul dengan tujuan menolak lupa dengan cara yang menyenangkan, yaitu lewat musik.

Jadi, selain lagu yang liriknya dari puisi Bapak, ada lagu karangan sendiri?

Ya. Saya biasanya buat lirik, lalu membuat musik bersama kawan-kawan di studio. 

Sejak kapan Merah Bercerita ada?

Kalau nama resminya ada sejak Mei 2013. Kalau band-nya sih sudah ada sejak 2011. 

Mengapa namanya Merah Bercerita? “Merah” itu diambil dari nama kamu?

Kalau nama memang kami tidak mau rumit memikirkannya. “Merah” memang diambil dari nama saya. Sedangkan “Bercerita” itu karena lirik-lirik kami yang bisa dikatakan itu cerita kami. 

Sekarang masih mengerjakan album pertama, ya? Kapan keluar?

Benar. Keluarnya kapan, ya? Ditunggu aja deh. Saya enggak berani nentuin kapannya. Nanti malah melenceng [tertawa]. 

Takut ditagih, ya? Bagaimana ceritanya Merah Bercerita bisa berduet dengan Cholil (vokalis Efek Rumah Kaca) di lagu Bunga dan Tembok itu?

Hahaha, takut ditagih. Bisa saja, karena menurut saya pribadi karakter Cholil sangat cocok buat lagu itu. 

Terus kamu mengontak Cholil, begitu?

Ya, iyalah, masak Cholil kontak saya. 

Bisa saja, kamu kan terkenal.

Ya, sebenarnya itu juga alasannya, tapi kalau saya yang ngomong, gimana gitu [tertawa]. 

Dia langsung mau?

Iya. Karena sebelumnya saya sudah sering kontak-kontakkan dengan dia. 

Tampaknya keterkenalan Wiji Thukul itu berefek sekali ya kepada anak-anaknya.

Hal baik berbuah baik, Mbak. 

Keterkenalan itu mempermudah langkah atau justru menjadi bayang-bayang?

Bapak itu bagi saya sosok yang menginspirasi saya, apa lagi saya tidak mengenal beliau secara anak-bapak. Jadi saya ambil hikmahnya saja, di mana dengan membawakan puisinya itu adalah cara saya berkenalan dengan beliau lewat lisan. Bukan untuk eksistensi saya semata. Dan dengan begitu, saya bisa memperkenalkan beliau kepada anak-anak muda lewat musik saya. 

Apa rencana Merah Bercerita selepas rilis single ini?

Ya, pasti merilis album, tapi nggak janji.

Merah Bercerita sebenarnya tengah menggarap album yang sudah dikerjakan sejak pertengahan 2014, tapi tak kunjung kelar. Padahal, sepuluh lagunya sudah direkam, termasuk lagu “Derita Sudah Naik Seleher” yang diputuskan untuk rilis duluan. Tujuh di antaranya rekaman live. Alasan mereka, “Melahirkan album tak semudah melahirkan masalah”. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!