Protes aktivis AIDS soal pelarangan peredaran kondom di Surabaya

Kartika Ikawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Protes aktivis AIDS soal pelarangan peredaran kondom di Surabaya
Apakah pelarangan penjualan kondom di minimarket akan membantu menekan jumlah penderita HIV dan AIDS? Jawabanya adalah sebaliknya.

JAKARTA, Indonesia- Esthi Susanti Hudiono, aktivis HIV dan AIDS dari Yayasan Hotline Surabaya menyesalkan kebijakan Walikota Surabaya Tri Rismaharani terkait pembatasan peredaran kondom di minimarket

Menurutnya tindakan Risma tidak mencerminkan posisinya sebagai walikota. “Kok Bu Risma pemikirannya konservatif banget, kok jadi kayak pemuka agama posisinya,” ujar Esthi saat dihubungi Rappler Rabu, 18 Februari 2015.

Menurut Esthi pembatasan peredaran kondom oleh Pemerintah Kota Surabaya tidak menyelesaikan permasalahan seks bebas yang ada di Surabaya. Apalagi pembatasan kondom ini juga berdampak dalam kampanye pencegahan HIV dan AIDS yang juga gencar diadakan oleh Yayasan Hotline Surabaya. 

“Semakin sulit mendapatkan kondom, penularan HIV dan AIDS juga semakin tinggi, apalagi jumlah penderita HIV dan AIDS di Surabaya cukup besar,” imbuh Esthi yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif di Yasayan Hotline Surabaya.

Gunung es jumlah penderita HIV & AIDS

Jumlah penderita HIV dan AIDS di Kota Surabaya memang cukup tinggi. Berdasarkan data dari BKKBN per September 2014 jumlah penderitanya mencapai 2.028 orang. Hal ini menjadikan Surabaya sebagai penyumbang terbesar penderita HIV dan AIDS untuk Jawa Timur, dari total penderita mencapai 57.321 orang.

Untuk mencegah penyebaran HIV dan AIDS dan maraknya seks bebas di kalangan remaja, Esthi berpendapat harusnya Pemerintah Kota Surabaya membentengi para pelajar, melalui pendidikan seksualitas sejak dini. Esthi menyayangkan pendidikan yang diterima siswa saat ini hanya sebatas pendidikan kesehatan reproduksi, belum membahas pendidikan seks berkelanjutan.

“Penting sekali memberdayakan anak melalui pendidikan, supaya anak bisa ngambil nilainya secara sukarela, jangan dipaksa-paksa,” kata mantan jurnalis ini.

Pihaknya saat ini telah mengajukan peraturan daerah (perda) tentang pendidikan seksualitas kepada Pemkot Surabaya. Ia ingin pendidikan seksualitas masuk ke kurikulum sekolah, sehingga mampu mengurangi angka seks di luar nikah dan membantu pencegahan HIV dan AIDS sedini mungkin. 

Namun menurut Esthi, hingga saat ini Pemkot Surabaya belum menanggapi perda yang diajukannya. “Sampai sekarang perdanya belum ada, padahal itu lebih penting daripada pembatasan kondom,” ujar Esthi.

Sependapat dengan Esthi, Agus Priyono, warga Siwalankerto Surabaya, mengatakan kebijakan pembatasan peredaran kondom oleh Pemkot Surabaya bukanlah hal yang tepat.

Menurutnya kebijakan ini akan berakibat negatif pada kampanye HIV dan AIDS. Agus juga berpendapat seharusnya pihak minimarket memastikan usia pembeli sebelum mereka membeli alat kontrasepsi. 

Pembatasan peredaran alat kontrasepsi ini terjadi karena saat Hari Valentine 14 Februari lalu, Pemkot Surabaya menemukan dua rak berisi paket coklat, bir dan kondom di dua swalayan yang ada di Surabaya. Sebelumnya Pemkot Surabaya juga mengeluarkan surat edaran kepada seluruh pelajar di Surabaya untuk tidak merayakan Hari Valentine.

Prostitusi paska penutupan Dolly 

Tak dapat dipungkiri tingginya angka penderita HIV dan AIDS di Surabaya banyak disumbang oleh para pekerja seks. Hal ini juga menjadi salah satu alasan Walikota Risma menutup lokalisasi Dolly.

Penutupan Dolly hingga saat ini masih banyak meninggalkan persoalan, salah satunya kegiatan prostitusi terselubung di wilayah tersebut. Dicurigai tempat kos pekerja seks di sekitar Dolly menjadi lokasi transaksi. Para mucikari yang dulunya memajang pekerja seks di etalase kaca juga merubah cara promosinya. 

Ditengarai para mucikari menawarkan pekerja seks melalui sistem online, lewat smartphone maupun Tablet. Ketika pelanggan butuh perempuan yang diinginkan, mucikari yang biasa mangkal di warung-warung sekitar Dolly akan menguhungi pekerja seks yang ada di tempat kos. 

Selain di daerah Dolly, praktek prostitusi terselubung juga ditemukan di tempat hiburan malam, seperti panti pijat, tempat karaoke hingga klub malam. 

Menurut Esthi Susanti, saat ini mantan pekerja seks Dolly sudah menyebar ke beberapa daerah hingga ke luar Jawa. Saat penutupan Dolly Juni 2014 lalu, Esthi menerima penutupan secara bersyarat. 

“Dulu saya mengajukan syarat, kalau mau ditutup semua masalah sebaiknya diselesaikan. Tapi kenyataannya hanya masalah norma agama saja yang diselesaikan, masih ada masalah kesehatan, ekonomi, hingga kekerasan kepada perempuan yang belum terselesaikan,” tutur Esthi.

Masalah kesehatan terutama pencegahan HIV dan AIDS menjadi fokus utamanya di Yayasan Hotline. Dengan ditutupnya Dolly, Esthi khawatir mantan pekerja seks Dolly yang positif HIV dan AIDS bisa menyebarkan virusnya ke daerah lain. Perempuan yang telah aktif di Yayasan Hotline sejak tahun 1992 ini berharap pemerintah bersikap lebih tegas dalam membendung epidemik HIV dan AIDS. 

“Harusnya ada pengendalian yang jelas dan tegas. Jangan ada isu lain yang dikorbankan. Pemerintah harus fokus pada aspek kesehatannya, bagaimana kesehatan ini bisa menyembuhkan yang sakit dan melakukan pencegahan pada yang sehat,” tandasnya. -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!