Syariat Islam di Aceh: HRW sebut penerapannya langgar HAM

Nurdin Hasan, Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Syariat Islam di Aceh: HRW sebut penerapannya langgar HAM

EPA

Penerapan hukum Syariat Islam di Aceh tidak hanya dikritik oleh dunia internasional, tapi juga oleh masyarakat Aceh sendiri. Mengapa penerapan hukum ini tajam di atas namun tumpul di bawah?

BANDA ACEH, Indonesia- Laporan Human Rights Watch (HRW) yang dirilis pada 30 Januari lalu menyebut bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh melanggar nilai-nilai pokok dalam standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional.

Peneliti lembaga ini juga menambahkan bahwa penerapan syariat Islam di Aceh sudah tidak sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam MOU (Memorandum of Understanding) Helsinski.  

Perwakilan HRW untuk wilayah Asia Phelim Kine, mengatakan penerapan syariat Islam di Aceh tidak memenuhi standar internasional.

Salah satunya dengan penerbitan dua hukum baru pada September 2014 yang mengikat warga non-muslim, peminum alkohol, dan kaum homoseksual, serta semua pihak yang memiliki hubungan di luar nikah. (BACA: Hukum Syariat Islam Aceh kini berlaku untuk non muslim dan LGBT)

“Peraturan baru itu memungkinkan mereka dihukum 100 cambukan dan dipenjara hingga 100 bulan,” katanya Phelim seperti dikutip dari pernyataannya di sebuah konferensi pers di Jakarta pekan lalu. 

Ia merujuk pada Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Sipil dan Politik dan Ekonomi, Sosial, dan Budaya. (Baca drafnya di sini

Konvensi itu menyebut, negara-negara pihak kovenan menjamin tak ada diskriminasi terhadap ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pendapat lain, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. 

Rosnida Sari, dosen Aceh yang mengajarkan toleransi beragama di gereja, dikecam ulama dan tokoh tanah masyarakat di tanah rencong tersebut. Ia kemudian meninggalkan Aceh untuk sementara dan mengadu pada Menteri Agama Lukman Saifuddin. Foto oleh Andreas Harsono

Andreas Harsono, peneliti HRW Indonesia juga menilai pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah melenceng dari kesepakatan Helsinski antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hampir satu dekade yang lalu. 

“Jika kita membaca MOU Helsinski antara pemerintah dan GAM, ada sebuah pasal yang menyebut Aceh harus taat pada prinsip nilai-nilai Hak Asasi Manusia Internasional,” katanya. (Baca drafnya di sini ) 

Dalam draft itu, disebutkan bahwa regulator Aceh harus merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip HAM universal, sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Sipil dan Politik dan Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Dalam kesepakatan itu bahkan ditekankan, harus ada jaminan kebebasan dalam beragama yang merujuk pada hukum internasional. 

“Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan konstitusi.”

Berdasarkan poin di atas, HRW menyebut, Qanun Jinayah yang dihasilkan oleh Pemerintah Aceh seharusnya juga merujuk pada dua konvensi internasional tersebut. (BACA: Menelaah rancangan qanun Jinayat)  

“Dua konvenan tersebut besar sekali. Ia praktis merupakan dua hukum hak asasi manusia paling besar di dunia,” kata Andreas. 

Tokoh Aceh keberatan 

Seorang warga Aceh menerima hukuman cambuk. Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang melaksanakan syariat Islam. Belakangan penerapannya memicu kontroversi. Foto oleh EPA

Menanggapi laporan ini, sejumlah kalangan di Aceh menganggap tudingan HRW adalah sesuatu yang tak berdasarkan fakta.

Pendapat itu diutarakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Muharruddin. Mantan gerilyawan GAM ini menyebut, pelaksanaan syariat Islam dan aturan turunannya dalam bentuk qanun (peraturan daerah) di Aceh, sudah melalui proses yang panjang dengan melibatkan semua pihak, baik di tingkat lokal maupun nasional.

“Sebuah qanun yang dibuat tidak hanya melibatkan legislatif dan eksekutif, tapi juga semua elemen masyarakat melalui rapat dengar pendapat umum. Khusus mengenai qanun tentang syariat Islam, itu dikaji secara sangat mendalam serta mendengarkan pendapat semua pihak lewat penjaringan aspirasi masyarakat,” katanya.

Tim penyusun qanun syariat Islam juga melakukan konsultasi dengan berbagai pihak di tingkat pemerintah pusat seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Agama, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung.

“Kalau sekarang dikatakan melanggar HAM, maka tentu saja ketika proses konsultasi dengan lintas departemen di Jakarta tidak mungkin memasukkan hukuman cambuk di dalam qanun Aceh,” ujarnya. 

Pendapat hampir senada dikatakan Faisal Ali, Ketua Nahdlatul Ulama Aceh. Menurut dia, kalangan yang menentang hukuman cambuk di Aceh karena “ketidaksenangan mereka kepada Islam dan terlalu mengada-ngada dengan mencari-cari alasan yang tidak jelas.”

“Kenapa mereka tidak kritik hukuman cambuk yang diberlakukan di Singapura. Kenapa mereka tidak memprotes pelarangan memakai jilbab di negara-negara barat. Kenapa mereka tidak menentang kebiadaban Israel terhadap bangsa Palestina yang terus melanggar resolusi PBB,” ujarnya.

Faisal juga menyatakan kalau dilihat dari sisi kemanusiaan dan HAM, Islam sangat menghormati HAM karena “Islam adalah agama Rahmatallil Alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan semua telah diatur dalam Al–Quran dan Hadist.”

Tajam ke bawah, tumpul di atas

Dua perempuan Aceh mengenakan celana jeans ketat. Di Aceh perempuan dilarang berpakaian ketat, karena dianggap tidak sesuai dengan Syariat Islam. Foto oleh EPA

Meski diklaim telah dilaksanakan dengan adil, sebagian masyarakat Aceh lainnya ikut bersuara tentang ‘ketidakadilan’ penerapan hukum ini.  

Azriana Rambe, pengacara pembela perempuan di Aceh, mengatakan sebagian masyarakat Aceh sebenarnya berharap bahwa syariat Islam itu tidak perlu diformalkan menjadi hukum positif. 

Karena formalisasi tersebut meniadakan ruang diskusi dan perbedaan pandangan.  Seharusnya, kata Azriana, dinamika penerapan syariat islam dibiarkan berjalan seperti apa adanya. 

Kritik atas penerapan syariat Islam di Aceh tidak hanya datang dari kalangan cendekiawan, tapi juga warga biasa. 

Jamaluddin, seorang warga Aceh misalnya, menyatakan setuju dengan syariat Islam yang diberlakukan di Aceh. Tapi, dia mengharapkan agar pelaksanaan syariat Islam benar-benar ditegakkan dan tidak terkesan pilih kasih.

“Jangan seperti selama ini, syariat Islam terkesan hanya berlaku untuk rakyat jelata, sementara para pejabat yang melanggar syariat Islam tidak pernah diproses hukum dan tak dicambuk,” katanya.

Dia memberi contoh ada seorang pejabat yang juga tokoh masyarakat di Banda Aceh ditangkap polisi syariah saat sedang berbuat mesum, beberapa waktu lalu, tapi tidak pernah dicambuk.

“Saya berharap siapa pun yang melanggar syariat Islam harus dihukum sesuai aturan berlaku. Yang juga tak kalah penting adalah pejabat Aceh jangan lagi korupsi karena perbuatan itu sangat dilarang dalam Islam,” ujarnya. (BACA: 20 warga termasuk 5 perempuan, dicambuk di Aceh)

Pelajar di Aceh memprotes perayaan  Valentine's Day di Banda aceh, 14 Februari 2014. Majelis Ulama Indonesia Aceh melarang perayaan tersebut karena diduga berasal dari budaya agama lain dan tidak sesuai dengan Syariat Islam. Foto oleh EPA

Aktivis perempuan Aceh, Azriana, membenarkan hal ini. Ia menyebut kasus ulama dan pejabat Umar Bakri. Ulama ini sebelumnya kedapatan berkhalwat di salah satu salon. Kasusnya pun diliput media.  

“Tapi kasusnya ditutup begitu saja, jangankan sampai dicambuk, proses peradilannya tidak pernah berjalan,” katanya. 

Malah Wali Kota Banda Aceh Illiza Saadudin Djamal menyebut, hukuman cambuk tidak diberlakukan pada Haji Umar, karena saat itu pemerintah belum berkomitmen menerapkannya. Di tengah ketidakjelasan kasus Umar, Kejaksaan malah mengeksekui hukuman cambuk 5 pemuda Aceh.

Menurut Azriana, sikap pejabat seperti wali kota tersebut, semakin merendahkan penghargaan masyarakat dalam penerapan syariat Islam di Aceh, yang terkesan tebang pilih. 

“Ibarat pisau tajam ke bawah, tumpul ke atas,” katanya. Penegakannya disinyalir hanya menyasar orang-orang di bawah. 

Berdasarkan fenomena ini, Azriana menyimpulkan ada distorsi dari tujuan awal pemberlakuan syariat Islam di aceh. 

“Awalnya masyarakat mungkin menganggap mereka akan menemukan keadilan, tapi sekarang penegakannya tebang pilih,” katanya. (BACA: Aktifis Aceh nilai qanun jinayat tak adil untuk non-muslim dan anak-anak)

Bahkan Azriana menyebut, penegakan syariat Islam di Aceh tergantung pada keputusan polisi syariah. Seorang misalnya sedang duduk berdua di pantai, meski ada orang lain, bisa jadi sasaran penangkapan. Kasus seperti ini pernah terjadi di Aceh. ‘Semua tergantung suasana hati si polisi syariah,” katanya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!