Philippine basketball

Jokowi, berkacalah dari mantan Presiden Uruguay

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jokowi, berkacalah dari mantan Presiden Uruguay
Ini saat yang tepat untuk berpikir dan merenung. Mengapa saya memilih Joko Widodo? Mengapa saya dulu mendukung dia?

Jose Mujica akhirnya turun dari jabatannya sebagai Presiden Uruguay setelah melakukan reformasi dan terobosan besar pada pemerintahannya. Presiden termiskin di dunia ini barangkali penggemar berat penyanyi dangdut Hamdan ATT, yang populer dengan lagu Gubuk Derita. Bahkan bentuk kumis Jose Mujica mirip sekali dengan kumis Caca Handika. Tapi tentu saja meski mendapat gelar sebagai presiden termiskin di dunia, Jose Mujica jauh dari kemiskinan hati apalagi mental.

Warga negara Uruguay tidak memanggil presidennya dengan sebutan yang mulia, atau bapak presiden atau yang terhormat. Mereka biasa memanggil presidennya dengan sebutan akrab Pepe. Ia begitu sederhana karena merasa menjadi presiden bukan sesuatu yang hebat. “Saya menjadi presiden dengan begitu banyak idealisme, tapi kemudian realitas menabrak saya,” kata Mujica. 

Ia kerap kali melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial tanpa sensor. Menggunakan bahasa preman kerakyatan yang dipahami oleh kelas menengah bawah. Tapi tentu bukan itu alasan utama mengapa ia dicintai oleh rakyatnya dan dikenal oleh seluruh dunia. Namun keberaniannya untuk menentang status quo dan berpihak seluruhnya pada kepentingan rakyat. Seperti keputusannya untuk melegalisasi tanaman ganja sebagai industri. Toh hasil dari industri ini digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat Uruguay.

Mantan Presiden Uruguay di rumahnya yang sederhana di pinggiran ibukota, pada 9 Juli 2014. Foto oleh Daniel Caselli/AFP

Gaya kepemimpinan yang santai namun bertanggung jawab Mujica dinilai sebagai alasan mengapa ia begitu dikenal dunia. Tidak sekalipun dalam wawancaranya ia berkata “bukan urusan saya” terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ketika Mujica memutuskan untuk melegalkan ganja, ia mempertimbangkan dua hal. Biaya yang dapat diselamatkan dari perang terhadap narkoba dan keselamatan rakyatnya. Sesuatu yang hanya bisa dipikirkan oleh pemimpin dengan pemikiran yang matang.

Jose Mujica bukannya tanpa kritik. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui International Narcotics Control Board (INCB) misalnya, mengecam tindakan Mujica yang melegalisasi ganja. Selain itu, selama lima tahun kepemimpinannya dari Maret 2010 hingga Maret 2015, ia dinilai gagal dalam pengembangan pendidikan. Kualitas pendidikan menurun meski angka kemiskinan juga menurun. Ia juga dinilai kerap terlalu santai dan mengabaikan keselamatan dirinya. 

Sebagai presiden, Mujica tinggal di sebuah rumah perkebunan yang sederhana di pinggiran ibukota Uruguay. Ia hanya dijaga oleh dua orang penjaga dan setiap hari menggunakan mobil VW Beetle rongsokannya untuk pergi ke mana-mana. Model blusukan Mujica ini dianggap tidak efektif dalam perbaikan kualitas pemerintahan dan dianggap melulu hanya pencitraan belaka tanpa ada esensi. Tapi hey, bukankah tiap-tiap presiden punya hak untuk blusukan dan pencitraan bukan?

Tak adil bandingkan Jokowi dan Mujica

Presiden Jokowi dalam sebuah acara kenegaraan pada tahun 2014. Foto oleh EPA

Di Indonesia, misalnya, bapak presiden kita yang terhormat Joko “Jokowi” Widodo, lebih suka melakukan blusukan dan kerja, kerja, kerja ketimbang ribut masalah sepele seperti konflik KPK dan Polri. Mungkin bagi Pak Jokowi, sepaham dengan Taufiqurrahman Ruki, bahwa konflik KPK dan Polri sudah selesai. KPK, ya, sudah selesai. Lembaga itu bahkan tidak dibela oleh presiden yang konon berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi.

Ya, selesai dong. Gimana tidak? Pertama, KPK kalah dalam sidang gugatan praperadilan Budi Gunawan atas penetapan status tersangkanya oleh KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kedua, kasasi yang diajukan Biro Hukum KPK atas putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ditolak. Ketiga dua pimpinan KPK, yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dinonaktifkan karena berstatus tersangka yang dijerat oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Terakhir pelimpahan kasus Budi Gunawan dari KPK ke Kejaksaan Agung. 

Tentu tidak adil memang membandingkan Joko Widodo dan Jose Mujica. 

Joko Widodo, seperti yang ia katakan, masih baru menjabat jadi presiden. Sementara Jose Mujica, seorang mantan gerilyawan dan penyayang binatang, telah menjadi presiden selama lima tahun dan teruji kepemimpinannya. Namun bukan berarti kualitas mental keduanya tidak bisa dibandingkan.

”Jika SBY sangat enggan berikan hukuman mati, maka pemerintahan kali ini perlakukan narapidana hukuman mati tidak lebih dari ternak.”

Mujica jelas memiliki sikap yang jelas terhadap kemanusiaan. Terlepas kontroversi bahwa ia melegalkan pernikahan sejenis, melegalkan aborsi, dan memperbolehkan ganja sebagai tanaman medis. Mujica punya komitmen yang jelas terhadap kebijakan publik dan selalu berusaha berpihak kepada rakyat. Ia membuktikan ini dengan hidup secara sederhana, hidup bersama masyarakatnya, dan sebagian besar penghasilan dari Jose Mujica digunakan untuk kegiatan amal dan modal bagi usaha kecil.

Ini barangkali saat yang tepat bagi kita untuk sekali lagi berpikir dan merenungi. Mengapa saya memilih Joko Widodo? Mengapa saya dulu mendukung dia?  

Anies Baswedan, Menteri Pendidikan Republik Indonesia,kepada Rappler Indonesia pernah berkata bahwa pilihan terhadap Jokowi adalah sebuah hal yang niscaya. “Kita butuh seseorang yang baru untuk mendukung perubahan dalam proyek proyek pemerintahan,” jelas Anies. 

Jika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam 10 tahun pemerintahannya sangat enggan memberikan hukuman mati, maka pemerintahan kali ini memperlakukan narapidana hukuman mati tidak lebih dari ternak dengan menyebutnya sebagai stok.

Jika saat konflik KPK vs Polri atau Cicak vs Buaya, mantan presiden SBY langsung bersikap, Jokowi butuh waktu yang sangat lama untuk bisa memberi keputusan. Terlalu terlambat, dan keputusan yang diambil terlalu normatif.

Pada akhirnya bisakah kita bertanya, apakah kita perlu memanggil Jose Mujica untuk mengajari Jokowi untuk memiliki nyali? —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!