Inspirasi perlawanan dari warga Samin lawan industri semen

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Inspirasi perlawanan dari warga Samin lawan industri semen
Ekspedisi Biru Dandhy Laksono memotret perlawanan masyarakat adat atas pembangunan pabrik semen. Penggerak perlawanan ini adalah ibu-ibu. Bagaimana kisahnya?
JAKARTA, Indonesia — Video berdurasi 39 menit 25 detik itu dibuka dengan kontradiksi pemandangan sawah di kabupaten Pati dan Rembang. Keduanya terletak di Provinsi Jawa Tengah. 

Tampak hamparan sawah hijau yang teratur dengan garis-garis irigasi di Pati. Sementara itu, di Rembang, tanah gersang, gundul, dan bekas galian terhampar, entah berapa hektar luasnya. 

Lalu scene kedua dalam foto itu menunjukkan sekumpulan ibu-ibu, menggunakan jarik (kain batik dalam bahasa Jawa), kebaya, dan capil (topi untuk bertani) duduk tenang dan berjajar, memblokir jalan di Rembang. 

Tapi ketenangan itu terusik oleh seorang pria berkemeja putih dan bertopi hitam. Ia berteriak lantang, “Menyampaikan pendapat itu boleh, tapi harus sesuai undang-undang.”

Namun tatapan ibu-ibu itu tak berubah, tetap lembut. 

Pria bertubuh tegap itu melanjutkan, “Atas nama undang-undang, ibu-ibu saya minta tertib menyampaikan pendapat, bukan blokir seperti ini. Kalau ibu-ibu melakukan blokir seperti ini, saya tangkap,” katanya. 

Entah apa yang dimaksudkan dengan “tertib” oleh petugas pria itu. Tak tampak di video itu, para ibu-ibu meraung-raung atau mencabik-cabik seragam para polisi tersebut. Yang ada, mereka duduk tenang sambil terus menunduk. 

Lalu polisi pun mulai beraksi, memecah kesunyian dan kebisuan mereka. Diangkatlah seorang ibu berkebaya merah jambu. Namun itu tak membuat rekan ibu yang lain bergeming, mereka tetap duduk, dan memblokir jalan. Duduk dengan tenang. 

Itu adalah adegan demonstrasi pertama yang disuguhkan sutradara film dokumenter Dandhy Laksono dalam ekspedisi Indonesia Birunya yang berjudul Samin vs Semen. Dalam video itu, Dandhy mengambil tiga latar, di Pati dan Rembang (Jawa Tengah), serta Tuban (Jawa Timur). 

Dalam video itu, Dandhy menceritakan perlawanan penganut ajaran Samin pada pabrik semen terbesar di tanah air; Semen Gresik, serta grup Indocement. 

Warga guyub (rukun) mengadakan pertemuan-pertemuan pada malam hari. Mereka berdiskusi, bertukar pikiran, dan berharap bersama-sama, tanah mereka selamat dari mega proyek perusahaan semen raksasa tersebut. 

Bukan perlawanan pertama

Sejatinya, perlawanan itu bukan yang pertama. Warga Samin yang hidup sepanjang pegunungan Karst, Kendeng, Jawa Tengah, menurut video tersebut, pernah menolak membayar pajak kepada pemerintah kolonial Belanda pada 1890. 

Kemudian setelah kemerdekaan, perlawanan itu kembali terjadi pada perusahaan semen raksasa. (BACA: Cement plant sparks environmental debate in Indonesia)

Berikut daftar perlawanan mereka: 

  • 2006, PT Semen Gresik akan membangun pabrik di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Warga Samin menolak karena dianggap mengancam pertanian dan mata air. 
  • 2009, warga Samin memenangi gugatan di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) hingga Mahkamah Agung. Pada tahun yang sama juga, PT Semen Gresik Indonesia mundur dari Pati dan pindah ke Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.
  • 2010-saat ini, Grup Indocement masuk Pati dengan rencana pabrik di Kecamatan Kayen dan Tambakromo, tetangga desa orang-orang Samin. 
  • PT Semen Indonesia berhasil masuk Rembang dan mendirikan pabrik mulai 17 Juni 2014.
  • Kini sebagian warga Pati dan Rembang dibantu orang-orang Samin menghadapi Semen Indonesia dan Grup Indocement.

Gerilya vs teror

 Screen shoot dari youtube.

Joko Prianto, seorang petani asal Rembang, bertutur dalam video tersebut, bahwa awalnya gerakan perlawanan hanya dicetus oleh 6 warga saja pada tahun 2011. Anggota perlawanan bertambah pada tahun 2012, setelah laporan dampak lingkungan perusahaan tersebut keluar. Mereka punya alasan untuk menolak. 

Tapi gerilya yang mereka lakukan untuk melakukan perlawanan, juga mendapat perlawanan, bukan dari pihak pabrik semen secara langsung, melainkan dari pihak militer, polisi, dan pamong desa. 

“Luar biasa intimidasi terhadap kami. Ada yang diculik, dibawakan parang malam-malam. Banyak hinaan, ejekan, sampai kami dibilang PKI (Partai Komunis Indonesia). Komunis, seperti itu,” katanya. 

Ia tak gentar, karena ia yakin, Jawa Tengah, Rembang khususnya, tak seharusnya jadi lumbung semen, tapi lumbung pangan. 

Karena itu pada malam-malam hari yang lengang, ia dan warga sekitar menggelar rapat bersama. “Jangan patah semangat, tinggal sedikit lagi, karena berdasarkan bukti di lapangan, bukti cacat hukum pabrik semen di PTUN, yakin 100 persen tuntuan kita akan menang,” katanya pada peserta rapat.   

Kehilangan mata pencaharian

Screen shoot dari youtube
 

Alih-alih tergiur dengan uang yang dijanjikan perusahaan, sebagian warga ingin mempertahankan tanah miliknya. Joko Prianto misalnya, yang mengawali gerakan perlawanan pembangunan pabrik semen di Rembang tersebut. 

Ia merasa prihatin melihat warga yang mulai beralih profesi, dari petani menjadi tukang angkut. Sejak lahan di desanya terjual sekitar 30 persen dari total luas tanah pertanian, warga beramai-ramai membeli truk untuk angkutan. “Sudah beralih profesi, (meninggalkan) pertanian,” katanya. 

Sementara itu, 35 meter dari Rembang di Perkampungan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, seorang penganut Samin lainnya, Gunarti, menuturkan alasan mengapa ia harus tetap mempertahankan tanah leluhurnya. Karena ia takut kehilangan mata pencaharian, dan tak bisa lagi hidup dari alam. 

“Setiap bulan (biaya hidup) tidak cukup Rp 2 juta. Rp 1,2 juta karunia alam, karena air gratis,” katanya. 

Gunretno, juga pengikut Samin di Pati, mengatakan bahwa ia tak akan menjual tanahnya. “Sedulur sikep ini untuk mencukupi kehidupannya hanya ingin jadi tani. Tani ini kan butuh tanah, untuk produktif butuh air,” katanya. Maka ia memutuskan untuk melawan.  

Misi “Biru” dalam Samin vs Semen 

Screen shoot dari youtube.

Dandhy Laksono, sutradara dokumenter Samin vs Semen menuturkan, film ini adalah bagian dari ekspedisi Indonesia Biru.

‘Biru’ adalah konsep sosial yang dikenalkan oleh cerdik pandai bernama Gunter Pauli asal Belgia, namun sesungguhnya sudah lama berkembang di Nusantara. 

Menurutnya, Biru yang dimaksud adalah sebutan untuk ekonomi hijau. Berangkat dari latar belakang, produk pertanian organik atau mebel yang dianggap ‘hijau’ atau bersertifikasi ramah lingkungan, harganya justru tak terjangkau orang kebanyakan.

Apalagi pada beberapa kasus, ‘ekonomi hijau’ justru menimbulkan masalah baru seperti konflik masyarakat dan kepentingan konservasi. Kisah nelayan yang ditembak di sekitar Taman Nasional Komodo atau yang dikriminalisasi karena mengambil kepiting di Taman Nasional Ujung Kulon, adalah beberapa contoh. Salah satunya kisah warga Samin melawan pabrik semen di atas.

Pembuat video pun ikut diteror

Bukan hanya warga Rembang yang diteror, tapi pembuat video ini juga menerima banyak teror. Video yang digarap Dandhy bersama rekannya Suparta Arz, fotografer dan videografer dari Aceh, tersebut diproses selama 1 bulan. 

Dalam perjalanannya, keduanya sempat dilarang masuk areal pabrik dan tidak diberi akses untuk bertemu manajemen di lokasi. “Bahkan tak boleh mewawancarai ibu-ibu yang bertahan di tenda dengan alasan masuk obyek vital nasional,” katanya pada Rappler Indonesia, Rabu, 4 Maret.

Ibu-ibu aktivis penolak pembangunan pabrik semen di Rembang, melakukan aksi tidur di tenda, pada 27 November 2014 lalu. 

Dalam pembuatannya, Dandhy juga berusaha untuk mendapatkan konfirmasi dari pihak pro semen. “Tapi tak ada yang bersedia difilmkan,” katanya. 

Ditambah, kata Dandhy, serangan dari akun-akun tak jelas yang mengatasnamaan rakyat Rembang di media sosial. Penasaran? Tonton sendiri videonya sekarang. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!