Dominasi Nyonya Tua Juventus dan Liga Italia yang membosankan

Ahmad Santoso

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dominasi Nyonya Tua Juventus dan Liga Italia yang membosankan
Di musim ini, peluang Si Nyonya Besar untuk jadi Campione de Italia mudah diraih. Tapi imbasnya, Liga Italia menjadi monoton dan tak sajikan suguhan menarik.

Dominasi membuat sepakbola menjadi tak menarik. Laga-laga yang tersaji hanya seperti drama. Hasil pertandingan mudah diprediksi dan peraih gelar juara mudah diterka. Pengelompokan kekuatan antara sang kuat dan sang lemah tertanam dalam benak pemain, pelatih, fans atau bahkan media. Di Italia, dominasi itu mutlak berada di tangan Si Nyonya Tua, Juventus. 

Seorang professor sejarah di Bristol of Univesrity, John Mackintosh Foot, dalam bukunya berjudul Calcio: A History of Italian Football menjelaskan bahwa kebencianlah yang membesarkan Juventus. 

Ketidaksukaan orang padanya lantaran dominasi Juventus yang memang kelewat batas. Dominasi amat mudah memunculkan kebencian. Kalau tak benci minimal perasaan iri, dengki atau sekadar tak senang. Di Italia, kebesaran Juventus yang kadang jadi sasaran kebencian itu.

Sejarah bercerita, Juve memang banyak dibenci sejak dulu. Pada fase-fase awal Liga Italia bergulir di awal dekade 1930-an, tim berjuluk Si Nyonya Tua ini bahkan menjuarai kompetisi hingga lima tahun berturut. Terhitung 1930 sampai 1935. 

Foot menuturkan, pernah suatu masa saat klub-klub di Italia sepakat untuk tak menjual pemain bintang mereka ke Juventus. Namun semua itu sia-sia. Juve tetap tak terbendung. Lima gelar yang mereka dapatkan tetap diraih dengan mudah. 

Dalam sejarah sepakbola Italia, prestasi serupa yang bisa menyaingi Juve seperti ini adalah Torino. Klub yang satu kota dengan Juve itu meraih juara lima kali berturut di dekade 40-an. Torino pun menghilang saat insiden Superga datang –saat dimana kecelekaan pesawat terjadi dan menewaskan seluruh pemain, ofisial, dan pelatih Torino.

Semenjak itu Juventus semakin digdaya tak tertahankan. Semakin dibenci dan semakin besar. Data yang didapat Foot dari survei yang dilakukan independen dekade 2000an menyatakan 65% fans sepakbola di Italia adalah penggemar Juventus. Baru sisanya terbagi pada klub-klub lain. Jumlah ini amatlah dominan karena melebihi batas 50+1%.

Pasca insiden Superga, secara prestasi, Juve memang stabil, namun mereka tak pernah mampu mengulang kesuksesan merebut gelar juara hingga empat atau lima kali berturut. Dominasi yang mereka lakukan hanya terhenti pada satu atau dua tahun saja. 

Namun kebuntuan selama puluhan tahun itu kini telah pecah. Gelar juara yang didapat tahun lalu membuat Juve (kembali) bisa merengkuh trofi selama tiga tahun berturut. Lewat besutan allenatore Antonio Conte, Juve mengulang prestasi itu. 

Pesaing yang menyerah

AS Roma sulit mengejar ketinggalannya, harus puas di posisi 2 klasemen Serie-A. Foto oleh Juventus.com

Di musim ini, peluang Si Nyonya Besar untuk jadi Campione de Italia mudah diraih. Sampai giornata 25, Juve duduk manis di puncak klasemen dengan mengemas 58 poin. Pesaing terdekat mereka, yakni AS Roma, hanya menguntit di posisi kedua dengan 49 poin. Selisih yang mencapai sembilan poin amatlah jauh dan sulit terkejar. 

Banyak harapan membumbung tinggi di tengah laga AS Roma kontra Juventus yang digelar hari Selasa, 3 Maret, lalu. Harapan itu tentunya berisikan soal kekalahan yang menimpa Juve. Kalah dari Roma otomatis membuat kans Juve sebagai pemuncak klasemen sementara Serie-A akan terganggu. Kemenangan Roma akan mempertipis posisi mereka sebagai runner-up untuk menyalip Juve. Sayangnya, hasil akhir 1-1 imbang bagi kedua tim.

Hasil ini menimbulkan rasa kepesimisan di kubu Roma. Hal ini tersirat dari ucapan pelatih Roma Rudi Garcia yang seolah sudah angkat bendera putih mengejar Juventus. 

“Masih ada 13 laga tersisa. Namun, apa yang bisa saya katakan saat ini adalah kami harus mempertahankan posisi kedua,” katanya kepada Sky Italia.

Statistik dan head-to-head yang tak berpihak

Kedigdayaan Juventus buat Liga Italia tak menarik dan membosankan? Foto oleh Juventus.com

Kecemasan Garcia ini lahir dari kewarasan. Untuk mengejar Juve, setidaknya Roma meski menyapu bersih 13 laga sisa dan itu tidaklah mudah. Dari 13 laga itu, tujuh diantaranya meski dilalui dengan melawan tim-tim kuat penghuni 10 besar klasemen serie-A sementara musim ini.

Nama-nama seperti Napoli, Lazio, Inter Milan, dan AC Milan akan jadi batu sandungan terberat. Lantas Sampdoria, Torino, dan Genoa pun tak bisa diremehkan. Tim-tim papan tengah ini nyatanya bisa merangsek ke papan atas.

Selain konsistensi pribadi, Roma pun berharap keberuntungan dengan terpelesetnya lawan. Dan itu pula jadi hal yang sukar dicerna nalar. 

Di sisa laga yang ada, Juve hanya akan melawan enam tim kuat, yakni Genoa, Lazio, Fiorentina, Sampdoria, Inter Milan, dan Napoli. Sialnya saat melawan tim besar itu, Juve akan menjamunya di Juventus Stadium.

Selama dua tahun terakhir tak pernah ada yang bisa mengalahkan Juve di kandangnya. Terakhir kali Juve kalah di depan pendukungnya sendiri terjadi pada tanggal 3 Januari 2013, ketika mereka ditekuk Sampdoria dengan skor 1-2. Apesnya lagi, di putaran pertama lalu dari keenam tim kuat hanya Genoa saja yang bisa mengalahkan Juve.

Kedigdayaan Juve dan lemahnya kompetitor

Sulit untuk memprediksi tim berjuluk La Vechia Signora ini akan tersandung oleh tim-tim besar maupun tim-tim kecil. Pasalnya, jika menilik kekuatan tim, Juve adalah tim yang paling stabil. Kondisi ini terjadi karena badai cedera tak menghinggapi mereka. Hanya Andrea Barzagli saja yang meski cedera di awal musim. Kepergian Barzagli bisa diisi dengan baik oleh Angelo Ogbonna.

Perbedaan kualitas antara pemain inti dan pelapis yang tak jauh beda mempermudah pelatih Massimiliano Allegri untuk meracik taktik. Dulunya banyak orang tak percaya eks pelatih AC Milan ini bisa meneruskan trah kekuasaan pelatih sebelumnya yakni Antonio Conte. 

Dominasi Juve tak akan terhenti. Sisi negatifnya, Liga Italia kini semakin membosankan. Mencapai fase kesuraman.

”Dominasi Juve tak akan terhenti. Sisi negatifnya, Liga Italia kini semakin membosankan. Mencapai fase kesuraman.”

Pelan tapi pasti, Allegri mampu mengurangi ketergantungan formasi 3-5-2 yang selalu identik dengan mereka. Pola back-three di lini belakang kini telah beralih menjadi back-four lewat formasi 4-3-1-2. 

Musim ini, dari 25 laga, 13 kali Allegri memakai 3-5-2 sebagai starting line-up, 12 sisanya memakai formasi 4-3-1-2. 

“Kami perlu berubah. Potensi seluruh pemain meski diselaraskan dengan fleksibelnya sebuah formasi. 4-3-1-2 bagi saya adalah pintu jalan keluar buntunya variasi taktik tim, ” katanya kepada La Gazzeta Dello Sport. 

Minim dilanda cedera pemain, kualitas inti dan pelapis yang sepadan serta variasi taktik yang semakin banyak jadi penyebab sulit untuk tak menjagokan Juventus meraih scudetto musim ini. Dominasi Juve tak akan terhenti. 

Sisi negatifnya, Liga Italia kini semakin membosankan. Mencapai fase kesuraman.

Kritik ini dilontarkan Fabio Capello. Pelatih yang sempat menjadikan AC Milan dapat julukan Dream Team di decade 90-an ini mahfum dominasi Juve membuat Liga Italia makin dijauhi orang. 

“Tak ada tim yang dapat mengimbangi Juventus. Kompetisi Italia tidak memiliki standar yang jelas. Di saat kompetitor Juve menjual pemain-pemainnya keluar Italia, Juve malah menambah kekuatan yang membuatnya semakin dominan. 

“Harus saya katakan apabila Liga Italia telah kehilangan banyak kekuatan ketika bersaing di kompetisi yang lain, seperti Liga Jerman, Inggris, dan Spanyol,” tegasnya seperti dikutip dari ANSA.it.

Kritik serupa diutarakan Dino Zoff, mantan pelatih Timnas Italia. Baginya Serie-A Italia sudah makin kehilangan gairah.

“Juventus sudah memainkan sepakbola yang hebat. Bersama dengan Roma, mereka tidak lagi memiliki saingan di Serie-A, Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa ini tidak biasa. Klub yang lebih kecil biasanya mampu menyulitkan mereka. Namun menurut saya, kurangnya atmosfir kompetitif hanya menguntungkan sang juara bertahan,” tukasnya. —Rappler.com

Ahmad Santoso adalah seorang wartawan yang berdomisili di Surabaya. Ia peduli pada isu sepakbola, olahraga, politik, sejarah, dan budaya.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!