Survei: Pelecehan seksual masih ancam jurnalis perempuan di Asia Pasifik

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Survei: Pelecehan seksual masih ancam jurnalis perempuan di Asia Pasifik
Federasi Jurnalis Internasional umumkan hasil survei jurnalis perempuan di negara Asia Pasifik. Ada perbaikan, tapi banyak yang memprihatinkan, termasuk rasa aman dalam bekerja.

Ketika saya memutuskan untuk bekerja di sebuah majalah selepas lulus kuliah, saya teringat komentar almarhumah ibu saya. “Apa nggak ada pekerjaan lain? Jadi wartawan itu jam kerja nggak jelas. Pulangnya malam. Bergaul dengan banyak laki-laki,” begitu wanti-wanti Ibu. 

Satpam di kompleks tempat saya tinggal pun sering komentar, “Malam amat pulangnya, Bu,” ketika hampir setiap kali harus membukakan gerbang pintu komplek, di atas pukul 22:00 WIB.

Seperempat abad kemudian, hambatan budaya itu masih ada. Kali ini datanya bukan situasi di Indonesia, melainkan di Kamboja.

Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) meluncurkan laporan hasil survei atas kondisi jurnalis perempuan di kawasan Asia Pasifik. Kali ini survei dilakukan di 7 negara, yakni Kamboja, India, Malaysia, Nepal, Pakistan, Srilanka, dan Vanuatu. Pengambilan informasi dilakukan pada Agustus dan September 2014, melibatkan 700 pekerja media.  

Menurut Jane Worthington, Wakil Direktur IFJ, ada perkembangan positif yang terjadi, misalnya, meningkatnya jumlah jurnalis perempuan baik yang bekerja penuh di ruang redaksi maupun bekerja paruh waktu. Medium Internet juga mendorong kian banyaknya penulis dan blogger perempuan. 

Meskipun demikian, IFJ juga mengamati dengan seksama, bahwa posisi puncak di organisasi profesi jurnalis dan perusahaan media masih didominasi laki-laki. “Kita juga masih melihat marginalisasi perempuan dalam pemberitaan, baik dalam konteks pekerjaan maupun dalam kesempatan untuk mengembangkan profesi dan dalam serikat pekerja yang mewakili mereka,” kata Worthington yang saya kutip dari siaran pers IFJ.

Laporan survei IFJ adalah bagian dari peringatan Hari Perempuan Sedunia dan rangkaian acara Konferensi Perempuan Sedunia ke-5, yang digelar oleh Komisi Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama dua pekan ini di New York, AS. Laporan itu dikemas dengan judul “IFJ Media and Gender Country Report”.  

Isi laporan adalah detil mengenai pengalaman para jurnalis yang menjadi responden dalam bekerja dan berorganisasi.

UN Women dan UNESCO mensponsori pelaksanaan survei jurnalis perempuan ini. Hasil lengkapnya akan menjadi bagian dari laporan memperingati peringatan dua dekade Deklarasi Beijing dan Rencana Aksi atas Perempuan, yang jatuh tahun ini.  

Detil rencana aksi dan Deklarasi Beijing bisa dibaca di sini.

Dalam rangka Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada 8 Maret 2015, saya juga menuliskannya untuk pembaca di sini. 

”Ada perkembangan positif yang terjadi, misalnya, meningkatnya jumlah jurnalis perempuan baik yang bekerja penuh di ruang redaksi maupun bekerja paruh waktu”

Ringkasan laporan survei sebagaimana dimuat dalam siaran pers menunjukkan ada kesamaan problem di negara yang disurvei, di antaranya soal dominasi laki-laki dalam posisi kepemimpinan di redaksi maupun organisasi profesi jurnalis. Ini memengaruhi pengambilan keputusan, termasuk dalam membuka jenjang karir lebih tinggi bagi jurnalis perempuan.

Pelecehan seksual dan rendahnya rasa aman dan nyaman dalam bekerja masih tinggi. Di Nepal, situasi ini menciptakan ketakutan dan ketidakstabilan kerja di kalangan jurnalis perempuan, yang jumlahnya adalah seperempat dari total jurnalis yang ada. 

Kendati demikian, sejumlah jurnalis perempuan mampu berprestasi dan menduduki posisi penting di radio. Serikat pekerja jurnalis mengambil aksi afirmasi dengan menempatkan perempuan di posisi pengambilan keputusan. Banyak contoh bahwa adanya jejaring perempuan di dunia media memperkuat kapasitas perempuan jurnalis.

Ancaman pelecehan seksual bahkan masih dialami jurnalis perempuan di Malaysia, meskipun jumlah mereka cukup banyak. Di Malaysia, jumlah karyawan perempuan di semua industri cukup signifikan. Kesenjangan gaji dan remunerasi antara karyawan perempuan dengan laki-laki juga paling rendah, alias kondisinya paling baik di antara negara yang disurvei.  

Toh, pelecehan seksual di tempat kerja masih menghantui jurnalis perempuan di sana. Situasi ini ditemukan di semua negara, termasuk yang sudah mapan industri medianya seperti India.

Karir yang lumayan baik, termasuk di posisi pimpinan, dinikmati oleh jurnalis perempuan terutama yang bekerja di radio dan media siber. Selain di Nepal, kondisi ini juga ditemukan di Kamboja. 

Di India, pendidikan, sistem kasta dan kelas dalam masyarakatnya membuka peluang jurnalis perempuan menduduki posisi pimpinan. Mayoritas masih di level tengah dan bawah. Banyak jurnalis perempuan yang karena situasi terpaksa menjadi jurnalis paruh waktu.

Di Sri Lanka, rasa aman bagi jurnalis sangat minim. Jurnalis terbunuh atau luka dalam peliputan, tergambarkan dalam laporan IFJ tahun lalu, yang bisa dibaca di sini

Tak heran dalam survei jurnalis perempuan, faktor rasa aman mendominasi hal-hal lain yang ditemukan di negara yang disurvei. Isu kesetaraan gender, jenjang karir, kesenjangan gaji terpinggirkan oleh isu rasa aman. Di Srilanka, kondisi kerja yang buruk juga menjadi perhatian, sama halnya dengan situasi di Vanuatu.

Di semua negara, solusi yang ditawarkan adalah pendidikan dan latihan bagi jurnalis perempuan, serta menggiatkan kesempatan berjejaring di antara mereka. Program mentoring menjadi krusial dan dibutuhkan oleh jurnalis perempuan. 

Pelecehan seksual dan rendahnya rasa aman dan nyaman dalam bekerja masih tinggi. Situasi ini menciptakan ketakutan dan ketidakstabilan kerja di kalangan jurnalis perempuan

“Laporan ini menunjukkan sikap dan pandangan dari laki-laki, perempuan dan kelompok transgender yang bekerja di media, atas isu terkait jenjang karir dan gaji, tantangan dalam bekerja, budaya dan perilaku sosial, serta ini yang terpenting, mengeksplorasi potensi untuk perubahan yang berrati dalam kesetaraan gender di media,” demikian tulis Worthington.

Indonesia memang tidak termasuk negara yang disurvei. Namun demikian, sebagian dari temuan di Asia Pasifik itu juga muncul dalam Sarasehan Jurnalis Perempuan yang diadakan oleh Dewan Pers, pada September 2012 lalu. Saat itu saya masih menjadi anggota Dewan Pers, sebagai koordinator divisi pelatihan dan pengembangan profesi wartawan.  

Pelecehan seksual, rasa aman, kurangnya kesempatan pelatihan, sampai keharusan menunjukkan kinerja dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan jurnalis laki-laki agar dianggap mampu, menjadi keluhan dan muncul dalam diskusi di Dewan Pers, yang menghadirkan sejumlah jurnalis senior termasuk Ibu Herawati Diah yang sudah berusia 90 tahun, pula jurnalis dari daerah, termasuk Papua.  

Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menyajikan usulan standar kerja yang layak bagi jurnalis perempuan, yang intinya bisa dibaca di sini

Di Medan, Aceh, dan Manado, jurnalis perempuan membuat forumnya sendiri, forum jurnalis perempuan Indonesia. Di ratusan pelatihan yang saya hadiri dalam lima tahun terakhir, di puluhan kota di Indonesia, saya menemukan semangat yang besar dari para jurnalis perempuan untuk berprestasi dan menggarap isu-isu penting bagi publik.

Sebagaimana semangat HeForShe yang diluncurkan PBB dengan aktris Emma Watson sebagai duta, dukungan bagi redaksi kepada jurnalis perempuan untuk berkembang sesungguhnya membuka peluang sudut pandang dan perspektif yang kian luas, yang pada gilirannya meningkatkan kualitas jurnalistik yang dihasilkan. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!