TNI nonton ‘Senyap’: Kekosongan pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM

Karolyn Sohaga

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

TNI nonton ‘Senyap’: Kekosongan pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM
Apakah kita dapat mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat ini mulai menemui setitik terang?

 

Diberkatilah Letkol Taufik Zega. Sebab, di tengah ramainya pemboikotan yang dilakukan oleh polisi maupun tentara di beberapa daerah, ia justru mengomandokan anak buahnya untuk menyaksikan film dokumenter Senyap atau The Look of Silence yang menggambarkan rekaman peristiwa pembunuhan massal tahun 1965-1966. 

Ratusan tentara yang menonton karya sutradara asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer, di markas besar Semarang itu sungguh penting. TNI patut untuk menyaksikan akibat panjang dari rentetan panjang penjagalan manusia Indonesia kala itu. TNI memang memiliki keterlibatan langsung dan pemutaran film di kalangan TNI pun sangat diperlukan untuk memberikan edukasi dan menumbuhkan pemahaman baru terhadap peristiwa itu. 

(BACA: Korban 1965: Bergerak dalam senyap untuk memecah kesenyapan)

Menurut saya, sedari awal film itu memang ditujukan Joshua untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa kenal pangkat ataupun golongan. Terlebih-lebih TNI yang memegang kaitan langsung dengan pembunuhan massal nan keji terhadap lebih dari 500.000 nyawa yang diduga mendukung dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Terlebih-lebih kelompok anarkis yang sering “membegal” pemutaran film dan diskusi buku terkait paham komunisme. Mereka ini kelompok salah kaprah dan memiliki ketakutan menggelikan terhadap ideologi temuan revolusioner Rusia Vladimir Lenin yang gagasannya juga dikenal sebagai Marxisme-Leninisme.

(BACA: Violence anti-communism is alive and well in Indonesia)

Lalu, setelah sebagian anggota garda keamanan nasional menonton Senyap, apa yang kita harapkan? Apakah seluruh institusi militer serta-merta akan mengikuti jejak serupa? Apakah penonton TNI itu pun langsung dapat memahami peristiwa 1965-1966, bukan hanya sekedar operasi militer namun sejatinya adalah pelanggaran HAM berat di abad ke-21?

Apakah kita dapat mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat ini mulai menemui setitik terang?

Aktivis HAM menyatakan bahwa pemutaran film bagi TNI dapat menjadi langkah awal untuk menjembatani proses rekonsiliasi antara pihak militer dan para korban. 

(BACA: 5 kasus besar pelanggaran HAM di Indonesia)

Namun, meskipun memuji langkah Letkol Taufik, sejarawan Bonnie Triyana meragukan adanya respon cepat dari pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ini. 

Saya setuju dengan Bonnie. 

LUKA LAMA. Poster tak resmi film dokumenter 'The Look of Silence' ('Senyap') karya sutradara Joshua Oppenheimer. Foto oleh www.nobodycorp.org

Tak dapat dipungkiri bahwa usaha-usaha yang dilakukan untuk menggaungkan urgensi penanganan HAM 1965-1966 sudah begitu maju melalui diskusi, film, karya sastra dan bentuk seni lainnya. Manifesto kebudayaan Orde Baru yang menegasikan PKI dan simpatisannya kini dilawan oleh kebudayaan masa kini. Sebuah usaha yang apresiatif dan tidak sia-sia. Sebab, meskipun belum seluruhnya, sebagian masyarakat Indonesia telah mendapatkan perspektif baru dari sejarah masa lalu bangsa ini. 

Namun bagaimana dengan pemerintah? Sejatinya pemerintah memegang kunci dalam pembongkaran kejahatan ini. Pemerintah harus mendukung setiap usaha-usaha yang ada dengan memberikan kontribusi, misalnya, mengatur kebijakan yang menjamin keamanan ruang diskusi publik mengenai komunisme ataupun pemutaran film semacam Senyap ataupun pendahulunya, Jagal

Dan tak kalah penting, membatalkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966.

Hukum Newton merumuskan reaksi akan terjadi jika ada aksi. Dalam konteks ini, upaya-upaya dalam bentuk kebudayaan dan investigasi yang dilakukan oleh Komnas HAM adalah aksi untuk mendorong keadilan bagi seluruh korban kejahatan kemanusiaan ini. Sebagai catatan, Komnas HAM pada tahun 2012 telah menyerahkan dokumen investigasi mengenai pelanggaran HAM 1965-66 kepada Kejaksaan Agung dan juga mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, sayang sungguh sayang, SBY memilih untuk tidak menggubris rekomendasi dari Komnas HAM. Bagaikan mendorong dinding beton, SBY memilih bersikap tak acuh. Sungguh sikap itu adalah sebuah kemunafikan mengingat beliau sendiri yang memerintahkan investigasi tersebut di tahun 2008.

Kini, akankah Joko “Jokowi” Widodo akan mengulang kekosongan ini? Sejauh ini Jokowi belum memberikan tanda untuk penyelesaian HAM seperti yang ia janjikan sewaktu kampanye dulu. Pemerintahannya justru bahkan dimulai dengan eksekusi enam terpidana narkoba dan sejumlah napi lainnya kini sedang menunggu nasib diterjang peluru. Sebuah kebijakan yang sama sekali tidak mencerminkan komitmen terhadap penegakan HAM di Indonesia. 

Kapan pula presiden beserta menteri-menterinya menonton Senyap? Akankah pernah? —Rappler.com

Karolyn Sohaga adalah seorang aktivis sosial yang memiliki minat pada sastra, isu perempuan, dan hak asasi manusia.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!