Industri pelayaran keberatan perubahan pajak

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Industri pelayaran keberatan perubahan pajak

AFP

Menurut INSA potensi penerimaan jajak dari sektor logistik angkutan laut asing capai Rp 12,94 triliun. Jika yang dikejar industri nasional, dampaknya pada melemahnya daya saing.

Terpuruknya nilai rupiah membuat pening kepala banyak pengusaha, tak terkecuali di sektor pelayaran. Tapi, bukan cuma itu masalah yang dihadapi Indonesian National Shipowner’s Association (INSA).  

Pekan lalu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat INSA Carmelita Hartoto sibuk menjelaskan ke anggota asosiasinya mengenai rencana pemerintah mengubah pengenaan pajak penghasilan bagi industri pelayanan, dari pajak penghasilan (PPh) final menjadi non-final.  

“Pusing, Mbak. Minggu ini mondar-mandir, rapat, juga bertanya soal rencana ini ke regulator. Kok jadi kita yang harus aktif mencari tahu ya?” kata Carmelita, ketika saya kontak Sabtu, 14 Maret, siang.

Pemerintah pada Kamis, 12 Maret, meluncurkan 8 Paket Kebijakan untuk meredam melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada poin 6 dari pengumuman yang disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil itu, terungkap bahwa Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, dan INSA akan menentukan formulasi pembayaran pajak pemilik atau perusahaan pelayaran asing.  

Lengkapnya mengenai 8 jurus Jokowi itu bisa dibaca di sini

“Sampai sekarang sih kami belum diundang untuk membahas soal paket kebijakan itu. Tapi kami antisipasi. Karena kebijakan perpajakan ini selalu menjadi pembicaraan kami dengan Direktorat Jenderal pajak sejak dulu. Sejak pemerintahan sebelumnya. Mau dikenakan final atau non-final? Bukannya tidak mendukung upaya pemerintah meningkatkan penerimaan pajak, tapi kami ingin prosesnya menjamin kepastian berusaha,” ujar Carmelita, yang  juga direktur utama PT Andhika Lines, perusahaan yang dipimpinnya mengoperasikan belasan kapal.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat INSA Carmelia Hartoto Carmelita Hartoto (duduk, tengah), dalam rapat INSA. Foto oleh insa.or.id

Menurut Carmelita, INSA berharap kebijakan pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo menggenjot penerimaan pajak tidak kontra-produktif bagi pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya di bidang logistik. 

“Kebijakan yang kontra produktif akan berdampak pada biaya produksi naik, daya saing produk dan jasa kita melemah, ujungnya yang kena daya beli masyarakat,” ujar Carmelita.

Pemerintah berencana mengubah PPh final bagi usaha pelayaran menjadi Pph non-final. Yang kedua artinya akan ada proses negosiasi yang bisa panjang, mengenai mana yang masuk dalam biaya, mana yang bukan. Kebijakan pajak non-final pernah diberlakukan tahun 1990-an, dan setelah itu diubah.  

“Jika pemerintah sekarang mau berlakukan PPh non-final, ini tidak sesuai dengan semangat memajukan poros maritim dan menurunkan biaya logistik,” kata Carmelita.

Penerapan PPh final usaha pelayaran nasional merupakan bagian dari implementasi UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran, khususnya pasal 56 dan 57. Bagi industri pelayaran, PPh final dianggap terbukti meningkatkan pertumbuhan usaha pelayaran nasional secara signifikan. Penerimaan negara dari sektor pelayaran pun meningkat.

Menurut catatan INSA, indikatornya dapat dilihat dari meningkatnya populasi armada niaga nasional selama 10 tahun terakhir, yakni bertambah dari 6.041 unit kapal pada tahun 2005 menjadi 13.244 unit kapal pada awal 2014, atau terjadi peningkatan sebesar 119%.

Indikator lainnya adalah jumlah kargo domestik yang diangkut oleh kapal milik perusahaan pelayaran nasional yang sudah mencapai 98,58% sehingga meningkatkan kontribusi pelayaran terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. Nilainya mencapai Rp 148,97 triliun.

Selama ini mekanisme dan kebijakan pengenaan pajak bagi industri pelayanan nasional diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No 416 tahun 1996.

Ketua DPP INSA Bidang Perpajakan Indra Yudi menambahkan, respon negatif atas rencana pemberlakuan pajak non-final ditandai dengan penurunan harga saham pada mayoritas perusahaan pelayaran yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). “Tidak ada jaminan juga pajak akan meningkat, kalau ternyata dampaknya ke bisnis pelayaran negatif,” ujar Indra Yudi, dalam keterangan tertulis yang saya terima.

Jika tujuannya meningkatkan penerimaan negara, DPP INSA mengusulkan kepada pemerintah agar dilakukan dengan cara intensifikasi pemungutan pajak atas kapal-kapal asing yang membawa muatan ekspor Indonesia yang selama ini disinyalir belum membayar pajak di Tanah Air.

Dalam kajian INSA, estimasi penerimaan pajak, baik Pajak Pertambahan Nilai dan PPh yang bersumber dari kapal kapal asing yang bisa dipungut oleh pemerintah, khususnya dari angkutan komoditas barang tambang, batu bara dan crude palm oil (CPO) maupun komoditas lainnya mencapai Rp 5 triliun hingga Rp 12,94  triliun per tahun. “Ini yang seharusnya menjadi fokus pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak dari sektor pelayaran,” ujar Carmelita.

Mekanisme yang paling efektif untuk memungut pajak-pajak bagi kapal asing yang mengangkut muatan ekspor Indonesia adalah dengan cara mensyaratkan kepada kapal kapal asing tersebut untuk menyerahkan bukti pembayaran pajak pada saat kapal-kapal asing tersebut akan berangkat ke luar negeri.

Pemerintah berupaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dari sektor-sektor jasa dan industri nasional yang selama ini dinilai belum maksimal dalam menunjang penerimaan negara.  

Sektor tersebut antara lain PPnBM atas penjualan Rumah Mewah, penyerahan hasil tembakau, PPh Pasal 22 atas Hasil Tambang Mineral dan Batubara, Perubahan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 tentang PPh Wajib Pajak, Penghasilan tertentu (Pajak UKM), Pengenaan PPN 10% atas Penggunaan Jalan Tol dan Perubahan PPh Final Usaha Pelayaran Dalam Negeri berdasarkan PMK 416 Tahun 1996. 

Carmelita berharap, dalam membuat kebijakan, pemerintah juga melihat praktik yang berlaku di negara lain, termasuk negara tetangga. “Nggak usah jauh-jauh, biaya-biaya pajak yang harus ditanggung industri pelayaran nasional lebih besar dari yang dibayarkan di negara seperti Singapura,” ujar perempuan yang memimpin 1200 anggota INSA itu. 

Di Indonesia, industri pelayaran dikenakan PPh Badan 1,2%, PPh Pasal 21 (gaji kru kapal) 5-30%, PPN penanganan kargo 10%, PPN sewa kapal non-shipping 10%, sampai PPN bunker bahan bakar kapal 10%.  

“Di Singapura dan hampir semua negara, industri pelayaran tidak perlu membayar poin-poin pajak itu,” kata Carmelita. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!