Kabar Gembira: Orang Indonesia ternyata pembelanja yang beretika

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kabar Gembira: Orang Indonesia ternyata pembelanja yang beretika

EPA

Sebuah survei perilaku belanja menunjukkan bahwa mereka yang tinggal di negara berkembang lebih memilih produk yang dihasilkan secara etik dan memiliki kepedulian sosial. Mengapa?

Setiap kali berkunjung ke Bangkok, saya memilih mengonsumsi sayur, buah, dan makanan laut. Tom Yam Goong, sup asam pedas yang sangat popular sebagai menu khas Thailand, tentu jadi pilihan. Saya suka pedas dan asam. Sup ini isinya adalah udang, cumi, dan jamur.  

Menu makanan laut jadi pilihan karena saya khawatir dengan makanan non-halal. Pekan ini, saat saya memakan makanan laut di Bangkok pun sambil berpikir, apakah udang dan ikan yang saya makan dihasilkan dengan cara yang “halal”?  

Halal yang saya maksud adalah dihasilkan dari praktik bisnis yang beretika. Tidak memperbudak manusia, apalagi anak-anak. Saya terpengaruh tulisan yang saya buat Selasa, 31 Maret lalu, soal investigasi kantor berita Associated Press (AP), terkait perusahaan Thailand yang mempekerjakan anak-anak bagaikan budak untuk mengangkap ikan di perairan Aru, Maluku. 

Gara-gara berita ini Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti merasa malu dan meminta maaf kepada dunia. Iya, karena kejadiannya terjadi di wilayah Indonesia.

Seperti yang saya pertanyakan di artikel itu, apakah kasus itu satu-satunya? Apakah makanan yang kita konsumsi selama ini dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan bisnis dengan baik dan benar? 

Saya ingat kampanye menolak makanan sirip ikan hiu dengan tagar #saveshark yang dilakukan oleh Riyanni Djangkaru @R_Djangkaru dan teman-teman beberapa tahun lalu. Riyanni saya kenal ketika dia menjadi presenter program Jejak Petualang, yang ditayangkan TV7 sejak 2002. Saya bekerja di stasiun TV ini saat itu.

Sejak lama saya juga memilih menggunakan perlengkapan rias, terutama dari perusahaan yang tidak melakukan uji kepada hewan. Saya merasa aman dan nyaman. Kebetulan sehari-hari saya hanya menggunakan bedak dan pemulas bibir. Sesekali, kalau ingat, menggunakan olesan krim pelembab.

Sejak ayah saya terkena diabetes 10 tahunan lalu, saya jadi kenal toko yang menjual produk organik dan menyediakan kebutuhan bagi mereka yang memiliki masalah dengan gula darah yang tinggi. Saya sering berbelanja di Toko Serambi Botani, yang produknya dihasilkan oleh divisi pengembangan produk Institut Pertanin Bogor (IPB), almamater saya. Produk buah, beras, madu, kopi, dan segala macam makanan sampai sabun dibuat secara organik, tanpa bahan pengawet.

Saya tidak sendiri. Banyak teman yang saya kenal baik, memilih jalan yang sama. Teman-teman Indonesia Berkebun @IDBerkebun, gerakan sosial yang gencar melakukan pertanian di lahan terbatas, juga mengusung misi menggalakkan konsumsi sayur dan buah organik.  

Selama ini pilihan itu saya lakukan untuk memberi rasa nyaman sebagai konsumen. Istilah pembelanja yang beretika (ethical shopper), tidak pernah terpikir. Saya membaca istilah ini kemarin, 2 April, saat mengikuti acara Media Forum: Reporting ASEAN di Bangkok.  

Saat menjadi penanggap presentasi para peserta, teman saya Moe Thuzar menunjukkan berita terbaru dari laman CNBC. Isinya, survei etika berbelanja yang dilakukan penerbit kartu kredit Master Card soal perilaku pembelanja di Asia Pasifik. Moe adalah kepala periset di sosial budaya di ASEAN Institute.

Pembeli yang bertanggung jawab

Hasil survei yang dipublikasikan Kamis, 2 April, itu menarik. Orang Indonesia, lebih memperhatikan soal praktik perdagangan yang adil, juga cenderung memperhatikan faktor produk ramah lingkungan dalam berbelanja. Sebanyak 79% dari responden Indonesia dalam survei perilaku konsumen itu menunjukkan indikasi memilih produk yang dihasilkan dari proses bisnis yang beretika, termasuk mendonasikan sebagian dari hasil penjualan untuk amal. 

Indonesia dan negara di kawasan Asia Pasifik kian punya kecenderungan membeli produk yang “socially responsible”, dibandingkan dengan perilaku pembelanja di negara maju. Responden di Tiongkok dan Malaysia mencatatkan angka 74%. Untuk Thailand dan Filipina angkanya juga di atas 70%. 

Pembelanja di Australia mencatat persentase paling rendah, alias tidak peduli dengan etis tidaknya poduk itu dihasilkan. Angkanya 29,2%. Konsumen di Selandia Baru mencatat angka 33,6%. Konsumen di Hongkong dan Korea Selatan mencatat angka 38%, sementara di Jepang 38%.

“Perkembangan pesat yang dialami mereka yang tinggal di pasar yang berkembang, seringkali di luar perkiraan, dan menimbulkan kepedulian akan dampak terhadap lingkungan hidup dan masyarakat yang tinggal di negara yang bersangkutan. Mungkin ini alasan mengapa konsumen di pasar yang berkembang berpikir lebih dalam, ketika membeli produk, merek maupun produsen, apakah mereka beretika dan memiliki kepedulian sosial,” kata Georgette Tan, kepala komunikasi Master Card, untuk Asia Pasifik, sebagaimana dikutip CNBC.

Fakta bahwa negara yang pasarnya berkembang notabene adalah lokasi di mana produk itu diproduksi, sebagai bagian awal dari proses rantai pasokan produk, juga membuat konsumen peduli, akan manfaat bagi komunitas lokal. Di negara maju, dampak degradasi lingkungan atas proses produksi tidak dirasakan oleh konsumen, sehingga tidak menjadi bahan pemikiran bagi mereka.

Survei dilakukan di 14 negara yang menjadi pasar penting di kawasan Asia Pasifik, dan melibatkan minimal 500 responden yang berusia 18 sampai 64 tahun. 

Secara keseluruhan, 56,6% pembelanja di Asia Pasifik mengatakan bahwa mereka memilih membeli produk yang memiliki kriteria “socially responsible”, punya tanggung-jawab sosial. Sebanyak 64% dari responden membeli produk yang dihasilkan dari prinsip perdagangan yang adil, 58% membeli produk yang ramah lingkungan, dan 47% memilih menggunakan produk yang mendonasikan sebagian hasil penjualan untuk kepentingan amal.

Saya teringat survei perilaku konsumen yang dilakukan oleh lembaga riset Nielsen dan diumumkan tahun lalu. Secara global, sebenarnya ada tren lebih peduli membeli produk hasil praktik bisnis yang baik dan menguntungkan seluruh mata rantai produksi, terutama produsen, termasuk petani dan nelayan.  Kecenderungan yang dibangun dengan kian kritisnya konsumen, dan diskusi di percakapan media sosial.  

Saya sendiri belum konsisten dalam berbelanja secara etis, sebagaimana yang dimaksud dalam survei ini.  

Rekomendasi dari orang yang kita kenal, langsung maupun via ranah Internet, membantu meyakinkan pembeli. Tentu saja dengan catatan yang memberikan rekomendasi juga beretika, dan tidak sekedar terlibat dalam promosi penjualan semata.

Nah, akhir pekan yang panjang, adalah saat untuk berbelanja juga. Apakah Anda termasuk orang yang memikirkan hal-hal dalam survei di atas saat membeli produk? Saya menunggu kisah Anda. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!