Jika Cantona, Cruyff dan Socrates dalam satu klub

Eddward S. Kennedy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jika Cantona, Cruyff dan Socrates dalam satu klub

EPA

Mereka memang dikenal sebagai pemain-pemain yang cerdas, tak hanya ketika menyepak si kulit bundar, tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari.

 

Bayangkan betapa ruwetnya suasana ruang ganti suatu klub sepak bola jika skuatnya terdiri dari Eric Cantona, Johan Cruyff, Socrates de Oliveira, Paolo di Canio, Cristiano Lucarelli, dan Joey Barton. Alih-alih bertanding, bukan tak mungkin klub tersebut justru menjadi sebuah lingkar diskusi.

Mereka memang dikenal sebagai pemain-pemain yang cerdas, tak hanya ketika menyepak si kulit bundar, tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Karena merekalah profesi pesepak bola mulai mendapat respek dari kalangan intelektual, akademisi, atau bahkan politikus.

Cantona, misalnya. Ia kerap dianggap sebagai perwujudan paling genial seorang filosof di atas rumput hijau. Jika sedang tidak bermain, ia akan menghabiskan waktu membaca kumpulan puisi Arthur Rimbaud, mendengarkan lagu-lagu Jim Morrison, mencermati gerak tubuh lakon parodi Ubu Roi, atau mempelajari komposisi abstrak lukisan-lukisan karya Nicolas de Stael. 

Dengan perpaduan semacam itu, maka tak usah heran jika Cantona begitu arogan, mendominasi, dan sangat blak-blakan dalam mengemukakan pendapatnya — sebuah sikap yang kerap disimbolisasikannya dengan mengangkat kerah. Ia sepenuhnya sadar betapa intelektualitas yang dimilikinya adalah sesuatu yang mewah dalam dunia sepak bola. 

Tak jauh berbeda dengan Cantona, Cruyff juga dikenal sebagai sosok pemikir di atas lapangan hijau. Jika pun ada yang berbeda, Cruyff tidaklah sebrutal Cantona dalam bersikap. Ia jelas seorang idealis tulen, tetapi terlalu kikuk untuk melakukan tendangan kungfu seperti yang dilakukan Cantona kepada Matthew Simmons. 

Satu-satunya konfrontasi paling mengemuka yang pernah dilakukan Cruyff “hanyalah” menolak memperkuat Belanda pada Piala Dunia 1978 lantaran ada isu dirinya beserta keluarga akan dibunuh. Isu tersebut muncul setelah Cruyff menentang rezim militer Jorge Videla di Argentina yang menjadi tuan rumah sekaligus berhasil menyabet gelar juara.

Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira atau yang biasa dipanggil panggilan Socrates, barangkali adalah satu-satunya pesepak bola yang sukses mengubah struktur (dan juga kultur) sebuah klub. Ia membuat sebuah gerakan yang dikenal dengan sebutan ‘Corinthians Movement’—ditakik dari nama klub yang diperkuat Socrates sepanjang 1978-1984.

Ketika itu, Socrates terus-menerus menanamkan pentingnya beradu argumen dan berdiskusi untuk membahas dan menentukan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan para pemain. Mulai dari jam latihan, kapan makan siang, kapan makan malam, hingga aturan merokok dan minum alkohol, diputuskan secara terbuka oleh semua stakeholder Corinthians.

Tak hanya di level klub, efek demokratisasi yang disemai ‘Corinthians Movement’ juga berhasil memikat massa untuk melakukan perlawanan menentang rezim diktator militer Brasil yang saat itu didukung Amerika Serikat. Propaganda Socrates dkk dilakukan dengan cara mengenakan jersey yang di bagian belakangnya bertuliskan ‘Democracia’. 

Di lain kesempatan, jersey tersebut juga dituliskan ‘Dia 15 Vote’, yang merupakan seruan pada rakyat Brasil untuk hadir dalam pemilihan umum multipartai pertama sejak kudeta militer pada 1964. 

Ada pun Di Canio dan Lucarelli adalah dua ideolog yang berbeda haluan. Di Canio merupakan penganut fasisme yang taat, sementara Lucarelli adalah pendekar komunisme asli dari tanah Livorno. Yang menarik, keduanya tak pernah menyembunyikan sikap politiknya masing-masing. 

Pada Derby Roma tahun 2005, misalnya, Di Canio pernah melakukan fascist salute ke hadapan Curva Nord, tepat di depan kamera. Sementara itu, Lucarelli lebih dulu mempertontonkan ekspresi politiknya ketika ia memainkan laga debut di timnas Italia U-21 kontra Moldova pada tahun 1997. Ketika itu, Lucarelli yang sukses mencetak gol merayakannya dengan cara membuka baju yang bergambar Che Guevara.

Terlepas dari tepat atau tidaknya ekspresi politik mereka yang begitu vulgar, baik Di Canio dan Lucarelli adalah artefak yang sudah sepatutnya dikenang dalam sejarah panjang sepak bola. Khususnya di Italia.

Nama terakhir adalah Joey Barton: seorang “antihero” klise yang kerap ditemui di atas lapangan hijau. Pemain bengal, tetapi berteknik tinggi. Suka berkelahi, tetapi juga sangat solider. Sosok pemikir yang juga sekaligus pemberontak.

Pada 20 Februari 2015 , Barton sempat menuliskan gagasannya mengenai privilege lembaga keagamaan di Inggris di The Independent. Menurutnya, hak istimewa lembaga-lembaga keagamaan mestinya dicabut, termasuk seluruh ajaran keagaman di sekolah juga dihentikan. Singkat kata, Barton menganjurkan Inggris menjadi negara yang sepenuhnya berdiri sekular.

Cantona yang nyentrik, Cruyff yang cenderung strukturalis, Socrates yang egaliter, Di Canio dan Lucarelli yang begitu politikal, serta Barton yang bengal, rasanya akan amat sulit menyatukan mereka di dalam sebuah klub. Para pemain ini adalah gerombolan libertarian yang musykil rasanya dapat hidup berdampingan. 

Adakah pelatih yang sanggup menyatukan mereka?

Alex Ferguson bisa saja mengatur mereka, tetapi kemungkinan besar ia akan menjual sebagian pemain-pemain tersebut ketika bursa transfer dibuka. Fabio Capello tak akan sanggup beradu argumen dengan Socrates, sebab menjawab pertanyaan-pertanyaan Ruud Gullit pun ia mengaku kalang kabut. Louis van Gaal? Lucarelli tak akan sudi dilatih pria borjuis penggemar keju. Diperlukan sosok dengan kriteria yang enerjik, cerdas, dan merakyat untuk menaklukkan para eksistensialis tersebut. Jose Mourinho bisa jadi adalah jawaban yang tepat.

Syahdan, di bawah asuhan Mourinho, tim yang diperkuat Cantona, Cruyff, Socrates, Di Canio, Lucarelli, dan Barton itu menjadi tim paling tangguh di seantero jagat. Hingga suatu ketika, Mourinho memboyong seorang pemain muda potensial. Namanya Mario Balotelli. 

Tim itu pun punah selamanya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!