SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
JAKARTA, Indonesia (UPDATED)— Peraturan Presiden mengenai kenaikan tunjangan uang muka kendaraan pejabat negara semakin menuai kontroversi. Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Minggu, 5 April, mengaku tidak tahu mengenai kebijakan yang ia tandatangani sendiri itu.
Peraturan Presiden No. 39 tahun 2015 ditandatangani oleh Jokowi pada 20 Maret. Perpres ini memberikan kenaikan tunjangan uang muka bagi pejabat negara untuk pembelian kendaraan perorangan, dari yang tadinya Rp 116.650.000 menjadi Rp 210.890.000.
Dalam keterangan di situs Sekretariat Kabinet, pemerintah mengatakan bahwa keputusan ini diambil berdasarkan masukan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kronologis lahirnya Perpres
Pada 5 Januari, Ketua DPR Setya Novanto meminta revisi nominal tunjangan uang muka bagi pejabat negara dan pejabat lembaga negara untuk pembelian kendaraan perorangan.
Besaran tunjangan sebelumnya sudah ditentukan dalam Perpres No. 68 tahun 2010. Setya meminta nilainya dinaikkan menjadi Rp 250.000.000 dengan alasan harga kendaraan yang semakin meningkat.
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto kemudian meneruskan surat tersebut pada Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Bambang menyetujui permintaan tersebut, namun nominal yang disetujui hanya Rp 210.890.000. Inilah yang kemudian disetujui oleh Jokowi.
Ketika ditanya mengenai Perpres ini, Jokowi mengaku dirinya tidak mengetahui keputusan yang ia tandatangani sendiri ini.
“Tidak semua hal itu saya ketahui 100 persen. Artinya, hal-hal seperti itu harusnya di kementerian. Kementerian men-screening apakah itu akan berakibat baik atau tidak baik untuk negara ini,” ujar Jokowi, Minggu, pada Kompas.
“Apakah saya harus cek satu-satu? Berartienggak usah ada administrator lain dong kalau presiden masih ngecekin satu-satu.”
Namun, Jokowi berjanji akan mengkaji ulang Perpres ini karena ia merasa kebijakan tersebut tidak tepat diambil dalam kondisi ekonomi saat ini.
“Saat ini bukan saat yang baik. Pertama karena kondisi ekonomi, kedua sisi keadilan, dan ketiga sisi BBM,” ujarnya, seperti dikutip oleh Metrotvnews.com.
Siapa saja yang berhak dapat tunjangan?
Pada Pasal 1 Perpres No. 68 Tahun 2010 disebutkan, yang dimaksud dengan pejabat negara yang dapat menikmati tunjangan pembelian kendaraan adalah:
- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI)
- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI)
- Hakim Agung Mahkamah Agung (MA)
- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK)
- Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
- Anggota Komisi Yudisial (KY)
Ditentang masyarakat
Sebelumnya, Perpres ini sudah menuai reaksi keras baik dari pengamat maupun masyarakat.
Presiden Jokowi sulit tak penuhi “permintaan DPR”terkait dp mobil,kata MenPAN&RB.Bukankah sudah bisa tak penuhi kptsn rapur DPR ttg Kapolri?
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) April 6, 2015
Bisa ya Presiden @jokowi_do2 menaikan anggaran kenaikan uang muka pembelian mobil utk pejabat negara, sementara byk rkyt yang kelaparan!
— ♥ibundaHayfa♥ (@nhnandalestari) April 6, 2015
Baru pertama kali ini ada presiden tanda tangan surat, terus nyalahin menterinya. Keren betul.
— Ulil Abshar Abdalla (@ulil) April 5, 2015
Buka peluang korupsi
Direktur Centre for Budget Analysis Uchok Sky Khadafi menilai Perpres ini membuka peluang korupsi.
“Lebih baik Perpres 39/2015 dicabut. Ini bukan karena tidak efektif, tapi arahnya korupsi,” ujarnya pada Suara Pembaruan, Senin, 6 April.
“Dugaan saya, uang masuk ke kantong pribadi. Ancang-ancang, kalau diaudit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), bisa saja, dinyatakan bahwa sudah beli mobil, dengan bukti mobil lama, atau mobil yang sudah dibeli sendiri.”
“Permasalahan pertama tentu soal penambahan dananya sendiri. Di tengah berbagai pencabutan subsidi untuk masyarakat, pemberian tambahan tunjangan uang muka bagi pejabat ini terasa tidak adil. Kesannya subsidi untuk rakyat dicabut untuk dialihkan ke para pejabat,” tutur Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti pada Tribunnews.com.
Bahkan relawan pendukung Jokowi juga menyesalkan keputusan ini.
“Kita sangat menyesalkan. Kurang sensitif terhadap kondisi masyarakat,” kata Ketua Umum DPP Ormas PROJO Budi Arie Setiadi pada Detik.com.
‘Presiden juga bisa keliru’
Kepala Kantor Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan membantah kalau Jokowi terkesan melempar tanggung jawab atas Perpres ini.
“Bukan menyalahkan. Memang benar kalau itu sih (presiden terkadang menandatangani dokumen tanpa memeriksa). Saya pun tanda tangan kalau sudah diparaf-paraf semua. Ya bisa saja keliru. Masa presiden ngga boleh keliru?” ujar Luhut.
“Bukan kurang teliti kalau kamu sudah pejabat sekelas beliau. Saya saja di kantor kalau (dokumen) sudah diparaf 3-4 paraf, ya sudah percaya.”
Kemungkinan Perpres tersebut dicabut juga terbuka bila ternyata kondisi tidak memungkinkan.
“Bisa saja beliau menarik kembali. Beliau sangan concern itu. Ya beliau bilang bisa (jadi ada) mekanisme proses pengambilan keputusan yang keliru, (jadi) ya kan tidak salah kalau dicabut,” kata Luhut. “Bisa saja. Saya ngga tahu. Nanti kita tunggu saja.”
—Rappler.com/dengan laporan dari Ata
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.