Surat cinta untuk ibu-ibu Rembang

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Surat cinta untuk ibu-ibu Rembang
Putusan atas perlawanan ibu-ibu di Rembang melawan pabrik semen akan digelar di PTUN Semarang. Masih ada 3 hari untuk menggugah penegak hukum, gubernur, dan presiden lewat surat ini.

 

Apa kabar Ibu Sukinah, Sakijah, Murwati, Rusmi, Surani, Gunarti, Ngatemi, Giyem, Suyati, dan ibu-ibu yang di tenda? Semoga kalian selalu sehat, selalu diberi kekuatan juga ketabahan untuk menjalani hidup. 

Saya tahu, setelah hampir 300 hari memperjuangkan tanah yang menjadi jagat kecil kalian, hidup bisa demikian menyakitkan. Difitnah, dituduh macam-macam, dan yang paling getir, dianggap sebagai kriminal yang berulah.

Ibu yang baik, percayalah kepada saya, siapapun saya itu tidak penting, yang jelas saya lahir dari seorang perempuan yang sama seperti ibu. Perempuan hebat yang mengajarkan saya untuk selalu teguh pada kejujuran diri sendiri dan berpihak kepada yang ditindas. 

Ibu saya bukan seorang yang hebat. Ia hanya seorang perempuan yang bekerja untuk bisa membiayai saya kuliah hingga bisa bekerja seperti hari ini. 

(BACA: Inspirasi perlawanan dari warga Samin lawan industri semen

Ketika saya melihat wajah ibu sekalian, saya membayangkan ibu saya di rumah. Apakah ia sehat? Apakah ia sudah makan? Lebih dari itu, sudahkah ia tidur nyenyak hari ini? 

Karena saya yakin Ibu Sukinah yang baik, Ibu Sakijah, Ibu Murwati, Ibu Rusmi, Ibu Sirani, Ibu Gunarti, Ibu Ngatemi, Ibu Giyem, Ibu Suyati, dan ibu-ibu yang ada di tenda pasti lupa rasanya tidur nyenyak dan menikmati ketenangan.

Maaf, Ibu Sukinah, mungkin ibu bertanya-tanya siapa saya? Orang asing yang tiba-tiba datang kemudian bercerita tentang ibunya. Orang asing yang tiba-tiba merasa paling tahu soal hidup kalian, soal tanah kelahiran kalian, dan merasa paling paham soal apa itu perjuangan. 

Sejujurnya, ibu-ibu Rembang tersayang, saya hanya orang biasa. Orang yang barangkali akan ibu temui tengah mengantri membeli bakso di lapangan sepak bola ketika kompetisi tarkam dimulai. Ah maaf, terlalu banyak basa-basi tentu membuat ibu jengah. 

Saya sadar bahwa apa yang kalian lakukan sudah sangat melelahkan. Berjuang hampir satu tahun penuh, demi sesuatu yang bisa sangat sangat rapuh, memperjuangkan tanah dan tempat tinggal dari korporasi rakus yang hendak memakan isi bumi tanah kalian. 

Saya tahu ibu sekalian barangkali telah mencapai titik nadir, titik di mana kalian bisa saja berpikir “Ah aku wis kesel, aku wis ra kuat. Aku pengen sambat,” lantas menyerah. (Ah saya sudah capek, saya sudah tak kuat, saya ingin mengeluh).

Tapi saya tahu, ibu tidak berjuang untuk diri sendiri. Ibu Sukinah tidak berjuang hanya untuk masuk televisi atau terkenal, ibu berjuang untuk kehidupan ibu. 

Ibu Sakijah, Ibu Murwati, Ibu Rusmi, Ibu Sirani, Ibu Gunarti, Ibu Ngatemi, Ibu Giyem, Ibu Suyati dan ibu-ibu yang ada di tenda berjuang untuk sesuatu yang lebih besar daripada alasan uang. Ibu sekalian ingin mewariskan tanah yang bisa menghidupi keluarga untuk seterusnya.

Ibu-ibu Rembang, ibuku yang baik, izinkan saya menjadi anakmu sekali ini saja. Jadikan saya anakmu untuk membuat kalian bersemangat. Izinkan saya untuk memikul sebagian beban ibu sekalian. 

Ibu tidak sendirian dalam berjuang. Ada saya, kawan-kawan saya, yang ingin menjadi anakmu. Menjadi seseorang yang bisa ibu limpahi kasih sayang dan harapan. Ibu tidak sendiri, ibu tidak pernah sendiri. Ibu adalah bagian daripada saya.

Ibu akan dibantu banyak orang. Ibu sekalian akan melihat bahwa solidaritas kemanusiaan itu lebih kuat dan lebih bernilai daripada sekedar dukungan atas nama uang. 

Saya tahu, ibu dianggap provokator, dianggap sebagai kriminil yang menolak pembangunan, dianggap antek asing. Tapi siapa sebenarnya yang provokator? Siapa yang kriminil? Siapa yang antek asing? 

Apakah ibu yang lahir dan tinggal di Rembang adalah provokator, ketika ibu sekalian berusaha menjaga alam tempat tinggal ibu? Apakah ibu kriminil? Jika ibu tinggal di tenda melawan pabrik yang terus beroperasi sementara sengketa di pengadilan masih berjalan? 

Apakah ibu antek asing? Jika ibu sekalian tak pernah sedikitpun tahu apa itu asing sebelum pabrik itu berusaha merebut kelestarian kampung halaman ibu sekalian?

Ibu hanya tidak ingin tinggal di daerah yang rusak karena alamnya dikeruk untuk kepentingan sesaat. Meninggalkan kerusakan alam yang maha dahsyat. Di mana kalian dijanjikan menjadi sekedar buruh pabrik, sementara kalian telah lama berdaulat dan hidup berdikari sebagai petani. 

Apakah sedemikian hina jadi petani sehingga perlu ada pabrik untuk meningkatkan kehormatan kalian? Saya kira tidak. Ini hanya pikiran picik orang-orang genit yang terlalu lama diperbudak uang.

Saya percaya ibu adalah makhluk paling mulia yang diciptakan tuhan. Lebih daripada itu, setiap ibu adalah malaikat yang mewujud pada manusia. Ia bisa sekeras karang namun pada satu titik bisa menjadi sangat lembut. 

Menjadi seseorang yang lebih luas dari laut, seseorang yang lebih tabah daripada tanah. Seseorang yang tegar dan melindungi seperti Pegunungan Kendeng yang selama ini melindungi serta menghidupi penduduk di sekitar Rembang, Pati, Grobokan, dan Blora.

Pegunungan itu adalah ibu, yang memberi hidup, yang memberi nyawa, dan lebih daripada itu, memberikan tanah yang memuliakan kalian. 

Saya percaya ibu sekalian selayaknya dihormati, selayaknya dihargai, tidak dinista, tidak difitnah, dan yang paling penting, tidak dipukuli atas nama apapun. 

Hati saya merasa pedih, merasa mara,h dan merasa dendam melihat kalian diperlakukan selayaknya hewan ternak. Ditarik tarik, diseret, dan dipukul oleh pria-pria muda berseragam. 

Untuk apa? Untuk nasionalisme? Untuk pabrik yang dibangun atas nama martabat bangsa? Untuk pabrik yang konon akan membuat kalian hidup sejahtera? 

Kemuliaan apa yang didapat dari memukul ibu-ibu yang tidak berdaya? Perusahaan yang menggunakan kekerasan untuk menegakan kepentingannya, tidak pernah layak ada.

Ibu-ibu Rembang yang saya sayangi. Tanggal 16 April nanti kalian akan menghadapi putusan dari persidangan di Indonesia. Kalian akan mendapatkan wajah keadilan dari sistem hukum di Indonesia.

Kalian mungkin akan dipaksa kalah, dipaksa menerima, bahwa meski kalian sudah berusaha sebaik-baiknya, akan selalu ada kuasa yang lebih besar daripada harapan. 

Tapi saya berharap ibu sekalian tetap tabah, apapun keputusannya nanti, di mata saya dan kawan-kawan saya, kalian lebih terhormat daripada orang orang yang menghamba pada kapital.

Ibuku yang baik. Ini adalah surat pertama saya. Setelah ini akan ada surat-surat lainnya. Surat dari kawan-kawan saya, mereka juga anak-anakmu, mereka adalah manusia-manusia yang dilahirkan dari ibu setegar kalian. 

Izinkan, sekali ini saja, anak-anakmu menuliskan surat untuk kalian. Agar kalian menjadi kuat, agar kalian tahu. Perjuangan ibu-ibu sekalian tidaklah sendirian. Kami ada bersama kalian. Kami mencintai kalian. Kami akan ada bersama kalian. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitter-nya, @Arman_Dhani.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!