US basketball

Mengapa saya berikan cuti 6 bulan pada karyawati hamil

Kokok Herdhianto Dirgantoro

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa saya berikan cuti 6 bulan pada karyawati hamil

EPA

Kokok Dirgantoro tak sangka kebijakannya beri cuti hamil 6 bulan dengan gaji penuh buat banyak orang terinspirasi. Apa alasan ia mengambil keputusan ini?

Pagi-pagi di sela mengurusi anak-anak sebelum berangkat sekolah — tentunya ini bukan pencitraan — ada dua kali missed call dari awak redaksi Rappler. Mereka ingin saya menulis soal cuti hamil.

Ternyata redaksi tertarik dengan status Facebook saya mengenai pemberian cuti dengan menerima gaji penuh selama 6 bulan untuk karyawati di kantor saya, sebuah perusahaan yang baru berumur 2 tahun dan bergerak di bidang konsultan public relations dan penyedia jasa media monitoring.

Saya pun menyanggupinya. 

Cuti hamil. Sebuah tema yang tidak biasa. Saya tanya, mengapa tema ini? Saya tidak menguasai masalah ketenagakerjaan dan tentunya tidak akan pernah hamil. Secara otomatis saya tidak bisa melakukan analisis yang penuh angka dan data karena tidak menguasai materi. 

Status Facebook tersebut hanyalah curhat colongan saya usai rapat direksi. Saya mengusulkan agar karyawati yang hamil mendapat cuti 6 bulan. Lebih panjang 3 bulan dibanding aturan pemerintah. 

Saya deg-degan mengusulkan ide tersebut. Kebetulan ada momentum satu karyawati hamil dan saya lontarkan ide tersebut dengan gaya saya, gaya sok yakin. Alhamdulillah rekan saya menyetujui semua permintaan tanpa ada sanggahan atau syarat apapun.

Agak aneh bagi saya menulis sebuah kebijakan kantor kecil di ujung Tangerang Selatan yang (sialnya) saya pemegang saham pengendalinya. Kesannya, kok, narsis banget hehe. 

Ide cuti hamil 6 bulan ini berawal dari sebuah dendam. Kala itu saya masih jadi karyawan dan istri saya juga bekerja. Ketika hamil anak pertama, istri saya mengalami blackout berkali-kali. 

Ide cuti hamil 6 bulan ini berawal dari sebuah dendam. Kala itu saya masih jadi karyawan dan istri saya juga bekerja.

Berat badannya turun 15 kg lebih hanya dalam waktu 2-3 bulan. Istri saya tidak dapat melihat cahaya lampu karena langsung pusing. Makan apapun muntah. Bahkan lihat acara masak di televisi saja dia sudah mual-mual hebat.

Dalam kondisi tak berdaya, telepon istri saya berdering dari kantornya, memintanya masuk kantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. 

Tentunya tidak bisa dilakukan karena kondisi sedang lemah. Istri saya bolos kerja berhari-hari karena tidak bisa beranjak keluar rumah. Jangankan ke kantor, ke depan rumah saja pusing. 

Saat itu kami sudah mengangsur rumah. Walau hidup pas-pasan yang penting punya rumah. Saya berpikir, kalau kondisi istri begini, bisa kehilangan pekerjaan. Waduh, angsuran rumah bisa keteteran. Saya kepikiran berhari-hari. Kalau istri resign atau dipecat karena absen selama dua bulan, kondisi keuangan bakal berantakan.

Saat pulang kantor, karena memikirkan kondisi istri, tak sadar saya menyetop angkot di tempat yang dilarang menaik-turunkan penumpang. Ada polisi pula. Sopir angkot ditahan bersama Surat Izin Mengemudi (SIM) dan  Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) sekaligus. 

Waduh, gara-gara saya ini. Saya memasang wajah memelas ke sopir angkot yang sudah saya duga akan marah besar. Di luar dugaan sopirnya tidak marah. 

“Ngapain marah, Mas. Namanya cobaan dan kita kerja di jalan. Kalau marah malah bisa tabrakan dan saya tidak dapat setoran. Makin sial,” ujar sopir setengah baya itu.

Saya diam sambil merenung. “Kampret,” batin saya. Sopir yang saya asumsikan berpendidikan rendah saja bisa dengan santai beradaptasi dengan dinamika. Saya yang sarjana, merantau, mengeluh karena bingung istri mau resign demi mempertahankan kandungan.

Sampai ujung gang saya berhentikan sopir. Saya berikan uang Rp 50 ribu. Satu-satunya pecahan terbesar di dompet saya untuk urusan mengambil SIM-STNK berikut bayar angkot. 

Sampai rumah, saya bicara ke istri, sudah resign saja. Allah Maha Kaya dan saya percaya. Setiap saya cerita ini ke kawan dekat, saya susah payah menahan air mata.

Malam itu saya berjanji jika suatu saat saya punya perusahaan, saya akan berlaku adil dengan karyawati yang hamil. Adil sejak dalam pikiran. Sungguh saya tidak mengira bahwa 10 tahun setelah janji itu, saya bisa buka usaha beneran. Walau sangat kecil. 

Kira-kira itu alasan utama saya ngotot agar karyawati kantor dapat cuti 6 bulan.

Alasan-alasan berikutnya bermunculan dari teman-teman yang mendukung kebijakan cuti 6 bulan tersebut. Saya tabulasi ada beberapa hal menarik. Sayangnya, saya tidak sempat browsing untuk mencari data penunjang. 

Beberapa yang saya ingat dan sempat saya tabulasi adalah:

  1. Air Susu Ibu (ASI) eksklusif langsung untuk newborn baby. Menurut teman saya yang kebetulan dokter, ASI eksklusif yang dilakukan langsung dari ibu ke anak memberikan rasa tenang ke anak. Selain alasan kesehatan lainnya. Kawan saya saking fanatiknya dengan ASI eksklusif, mengatakan generasi emas Indonesia akan lahir dari anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif. 
  2. Alasan biaya kesehatan anak. Sama juga, info ini saya dapat sepihak dari kawan. Pemberian ASI membuat anak lebih kuat dan tahan sakit. Dengan demikian biaya kesehatan, ditanggung kantor ataupun orang tua, akan lebih rendah.
  3. Ketenangan karyawati dalam proses melahirkan. Angka kematian ibu dan anak dalam proses melahirkan cukup tinggi. Dengan istirahat yang lebih banyak, pikiran ibu menjadi lebih tenang dan siap untuk melahirkan.
  4. Alasan masa depan Indonesia. Ini alasan seorang kawan yang kebetulan menjadi wartawan di sebuah media asing. Ngeri saya dibuatnya. Kata kawan saya, jika seluruh dunia usaha di Indonesia menerapkan cuti hamil 6 bulan, maka asupan ASI langsung ke anak lebih panjang, maka anak lebih sehat, kuat, dan cerdas. Dengan demikian dalam jangka panjang, akan tercipta generasi yang memiliki produktivitas tinggi dan meningkatkan Growth Domestic Product (GDP) Indonesia, meningkatkan pajak, dan perekonomian. Saya cuma manggut-manggut saja membaca komentar kawan tersebut.
  5. Di negara lain sudah dilakukan. Ini juga info dari kawan, seorang aktivis anti-korupsi yang sedang kuliah di Australia. Kata dia, di Belgia cuti hamil untuk perempuan bisa satu tahun. Bahkan ada juga cuti untuk bapak agar mendampingi ibu dan anak lebih lama. Kabarnya di negara maju, pria dapat cuti menemani kelahiran hingga 2 bulan. Masuk akal. Saat melahirkan dan pasca melahirkan, peran bapak sangat penting. Menenangkan istri, menyemangati, dan membantu istri melewati baby blues. Tidak tahu baby blues? Browsing deh, jangan malas.

Sebenarnya masih banyak masukan-masukan teman yang ingin saya tulis juga. Tapi secara garis besar ada di 5 poin tersebut. 

Jujur, kondisi keuangan kantor saya juga tidak bagus-bagus amat. Cuma saya pikir, saya pernah mengalami hal lebih buruk dari hari ini dan masih bertahan hidup sampai sekarang. Dan saya mengalami hal ini berkali-kali. Setiap jatuh, selalu ada kawan ulurkan bantuan. 

Ya, hitung-hitung yang saya lakukan ke karyawati kantor adalah membalas kebaikan teman-teman yang tanpa perhitungan membantu saya mendirikan usaha. Dari pinjaman uang, data, referensi klien, hingga merekomendasikan kantor saya.

Kata kawan saya, Ulin Yusron, saat kita jatuh dan semua berpaling, lalu ada yang mengulurkan tangan untuk membantu, ingat baik-baik mereka, karena mereka adalah kawan sejati.

Sungguh tidak terbersit sedikitpun dari hati saya menjadi martir agar cuti hamil 6 bulan menjadi sebuah program nasional. Saya yakin setiap usaha punya permasalahan masing-masing. Mungkin karena saya perusahaan kecil, jadi bisa lebih fleksibel.  

Well, sebenarnya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia memiliki kemampuan keuangan yang cukup untuk mempelopori program ini. Tapi pasti direksinya bakal dimaki-maki pemegang saham hahaha. Direksi perusahaan besar pasti lebih konsentrasi pada meningkatkan kinerja korporasi dan berapa tantiem (bonus atau keuntungan) yang akan mereka terima. —Rappler.com

Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan wartawan, mantan karyawan bank. Kini ia mengelola kantor konsultan di bidang komunikasi strategis. Meski demikian, Kokok sangat berminat belajar seputar isu ekonomi. Gaya menulisnya humoris, tapi sarat analisis. Follow Twitter-nya @kokokdirgantoro.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!