Alasan pemerintah mungkin akan menyesali pelarangan bir

Haryo Wisanggeni

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Alasan pemerintah mungkin akan menyesali pelarangan bir
Pelarangan bir, yang adalah minuman alkohol favorit di Indonesia, kemungkinan hanya akan meningkatkan permintaan di pasar gelap

JAKARTA, Indonesia — Peredaran minuman beralkohol golongan A di minimarket dan toko pengecer sejenis sudah secara resmi dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 6 tahun 2015

Minuman beralkohol golongan A sendiri merujuk pada Peraturan Presiden nomor 74 tahun 2013 adalah “minuman yang mengandung etil alkohol atau etanil (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5%”. 

 

Bir: Minuman beralkohol favorit di Indonesia

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), minuman beralkohol golongan A yang umumnya berbentuk bir ini ternyata merupakan minuman beralkohol favorit di Indonesia bila dibandingkan dengan jenis spirit (minuman suling) dan wine

Mensurvei populasi yang berumur 15 tahun ke atas, WHO menemukan bahwa konsumsi bir mencakup 85% dari total konsumsi minuman beralkohol di tanah air.

Permintaan tetap tinggi, jumlah penawaran berkurang

Terkait dengan tingkat konsumsinya, data WHO mengungkapkan bahwa pada  2010, satu orang Indonesia yang berusia di atas 15 tahun secara rata-rata mengkonsumsi 0,6 liter alkohol per tahun.

Bila jumlah tersebut dikalikan dengan 169.644.606 (jumlah penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas pada tahun 2010 berdasarkan data BPS dan BKKBN), maka jumlah konsumsi alkohol nasional Indonesia pada 2010 adalah sekitar 100 juta liter per tahun.

Bagaimana setelah 2010?  Laporan dari Euromonitor maupun informasi dari perwakilan Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) Charles Poluan mengindikasikan hal sama: sejak 2010, jumlah di atas terus bertumbuh secara positif.

Di tengah tingginya permintaan bir, pasokannya dipastikan akan segera berkurang dengan cukup signifikan akibat terbitnya peraturan baru tersebut.

Berdasarkan keterangan Kemendag pada Agustus 2014, minimarket merepresentasikan 61% jumlah seluruh toko modern kita. Sekarang mereka tidak bisa menjual bir. 

Penjualan bir juga dilarang di tingkat pengecer. Menurut seorang eksekutif perusahaan produsen minuman beralkohol yang menolak untuk disebutkan namanya, penjualan bir di jaringan pedagang eceran nilainya bahkan lebih besar dibandingkan penjualannya di jaringan minimarket.

Charles Poluan dari GIMMI mengonfirmasi bahwa mayoritas dari rantai distribusi bir di Indonesia memang berada di minimarket dan pengecer. “Minimarket itu 12% dan di pengecer 48%, jadi total 60%,” kata Charles.

Charles lebih jauh mengungkapkan bahwa sebenarnya pemerintah masih harus mendefinisikan dengan lebih jelas apa yang dimaksud dengan ‘pengecer’ dalam konteks Permendag nomer 6 tahun 2015 tersebut. “Kalau maksudnya benar-benar seluruh pengecer yang ada, ya angkanya sebesar itu,” ujarnya.

Lalu apa dampaknya?

Terdapat potensi munculnya kesenjangan antara jumlah permintaan dan ketersediaan bir di pasaran. Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, saat jumlah permintaan tetap namun penawaran berkurang maka harga equilibrium (harga titik temu pasar) akan meningkat.

Peningkatan harga equilibrium merupakan insentif bagi produsen untuk meningkatkan kapasitas produksinya atau bagi produsen baru untuk memasuki sebuah pasar. Hal ini juga berlaku bagi pasar bir Indonesia.

Kabar buruknya bagi produsen, saat ini saluran distribusi resmi untuk membawa produk mereka ke pasar sedang berkurang dengan sangat signifikan. Di sinilah muncul insentif (baca: godaan) bagi para produsen bir untuk mengedarkan produk mereka melalui saluran distribusi yang tidak resmi.

Hal ini diamini oleh ekonom Universitas Indonesia Berly Martawardaya. “Sekarang tersedia dua pilihan bagi konsumen. Yang mampu bisa membeli melalui saluran yang diperbolehkan dengan harga lebih mahal. Sedangkan yang tidak berpotensi untuk beralih ke pasar gelap.”

Dari perspektif produsen, Charles pun sepakat bahwa situasi yang ada saat ini memberikan insentif bagi tumbuhnya pasar gelap minuman beralkohol golongan A di Indonesia.

Tak hanya dari produsen dalam negeri, produsen luar negeri yang tertarik dengan potensi pasar yang ada juga menurut Charles bisa saja kemudian melakukan penyelundupan.

Kamu sendiri, yang selama ini mengonsumsi bir dengan membelinya di minimarket dan pengecer. Apa rencanamu? Sebaiknya bukan beralih ke pasar gelap. Mengapa? 

Shadow economy pun tumbuh

Munculnya pasar gelap dalam berbagai bentuk dalam sebuah perekonomian adalah representasi tumbuhnya apa yang disebut dengan shadow economy atau System D.

Apa itu? Merujuk pada publikasi dari International Monetary Fund (IMF) berikut ini, shadow economy merujuk pada nilai tambah dalam perekonomian yang berasal dari barang dan jasa yang dikategorikan ilegal.

Atau bisa jadi pula, barang dan jasanya legal namun nilai tambah yang dihasilkannya tidak terdata dengan baik. Perekonomian sektor informal misalnya merupakan contoh dari shadow economy dalam bentuk ini.

Dalam skala global, nilai shadow economy relatif signifikan terhadap nilai perekonomian global secara keseluruhan.

Pelarangan penjualan bir di minimarket dan pengecer dalam batas tertentu berpotensi untuk memberikan kontribusi positif bagi proses pertumbuhan shadow economy di Indonesia. Padahal, menurut IMF, terdapat sejumlah efek negatif dari keberadaannya bagi perekonomian sebuah negara.

Apa saja efek negatif dari shadow economy menurut IMF bagi perekonomian sebuah negara?

  1. Tidak optimalnya penerimaan negara dari sektor pajak: Shadow economy bebas dari pajak. Pada akhirnya, negara berpotensi menerima pajak yang lebih rendah dari jumlah yang seharusnya mereka terima. Solusinya pada banyak kasus kemudian adalah menaikkan tarif pajak — sesuatu yang justru menjadi insentif bagi tumbuhnya shadow economy.
  2. Tidak andalnya data statistik perekonomian sebuah negara: Data-data statistik perekonomian merupakan salah satu panduan utama bagi para pengambil kebijakan untuk melakukan pekerjaan mereka. Keberadaan shadow economy membuat data-data tersebut menjadi tidak akurat karena terdapat nilai tambah dalam perekonomian yang luput diperhitungkan.
  3. Insentif bagi tenaga kerja untuk meninggalkan sektor ekonomi formal: Menurut IMF, shadow economy yang tumbuh secara signifikan di sebuah negara dapat memberikan insentif kepada para pekerja dari sektor formal — yang menyumbangkan pajak untuk negara — untuk bermigrasi ke sektor shadow economy.

Lalu kenapa pemerintah tetap menerbitkan Permendag nomer 6 tahun 2015?

Analis Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imaduddin Abdullah mengatakan bahwa bagaimanapun peredaran minuman beralkohol memang perlu dikendalikan karena berpotensi menimbulkan efek negatif bagi kesehatan dan keselamatan mereka yang mengonsumsinya (lihat tabel di bawah).

Tabel perbandingan Aged-standardized death rates (ASDR) dan Alcohol-atrributable fractions (AAF) di Indonesia pada tahun 2012 untuk penyakit liver dan kecelakaan lalu lintas (Sumber: Global Status Report on Alcohol and Health 2014, World Health Organization)

Imad, sapaan akrab Imaduddin menganalisis bahwa pemotongan suplai menjadi metode yang dipilih oleh pemerintah dalam proses pengendalian tersebut karena pelaksanaannya lebih mudah dan sederhana. “Itu (memotong suplai) lebih mudah dibandingkan dengan membangun mekanisme kontrol berbasiskan penguatan kelembagaan dari institusi-institusi yang terlibat,” ujarnya.

Meskipun demikian Imad juga mengungkapkan bahwa seharusnya solusi yang terakhir ini yang diimplementasikan oleh pemerintah di masa depan.

Polisi, sebagai contoh, menurutnya ke depan harus memiliki kapasitas untuk menertibkan para pengendara agar tidak mengemudi ketika kadar alkohol di darahnya telah melewati batas tertentu, layaknya di sejumlah negara lain di dunia.

“Jadi lebih kepada mengembangkan mekanisme kontrol yang disiplin, bukan mengintervensi suplai,” pungkasnya.

Bagaimana kalau menurut kamu? – Rappler.com

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!