SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
Kementerian Pemuda dan Olahraga membuktikan janjinya untuk total melawan manajemen amburadul di Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Rekomendasi Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang tak diindahkan PSSI membuat Kemenpora bertindak tegas: membekukan PSSI.
Di sela-sela wawancara dengan Deputi V Bidang Harmonisasi dan Kemitraan Kemenpora Gatot S. Dewa Broto bulan lalu, saya secara iseng bertanya: “Apakah Kemenpora sudah menyiapkan stamina untuk terjun di perang yang bakal panjang ini?”
Gatot yang sebelumnya adalah humas di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) itu menghela napas panjang sebentar. Dia lantas menjawab, “Doakan kami, Mas. Kami membawa amanah seluruh masyarakat sepakbola Indonesia,” katanya.
Komentar itu tidak saya tulis dalam berita untuk Rappler saat itu. Tentu saja karena sebagai wartawan lawas (untuk tidak bilang tua), komentar seperti itu terlalu normatif. Siapapun bisa mengatakannya. Dan istilah mengatasnamakan rakyat juga kini sudah mulai ngetren.
Tapi setelah kementerian pimpinan Imam Nahrawi itu menyatakan membekukan PSSI per Jumat (17/4) lalu di Metro TV dan kemudian dirilis hari ini di sini, saya perlu memasukkannya.
Sebab, terbukti mereka bukan tong kosong. Mereka sudah memproklamasikan palagan melawan belitan busuknya pengelolaan sepakbola.
Kemenpora kali ini bisa dikatakan tidak PHP alias pemberi harapan palsu. Kawan-kawan suporter kini boleh mulai berharap.
Dengan pembekuan tersebut (bahasa birokrasinya: sanksi administratif), Kemenpora menyatakan bahwa seluruh aktivitas PSSI ilegal alias tidak memiliki dasar hukum. Konsekuensinya, semua fasilitas kenegaraan yang dibutuhkan PSSI dengan sendirinya menguap. Fasilitas pengamanan dari kepolisian, dasar hukum pemilihan ketua di Kongres Luar Biasa di Surabaya yang digelar hari ini, hingga kompetisi yang akan mereka jalankan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Butir paling tajam dalam surat pembekuan
PSSI frozen? Let it goooo, let it goooo, turn away and slam the door
— Aulia Masna (@amasna) April 18, 2015
“Seluruh kegiatan PSSI tidak diakui oleh Pemerintah, oleh karena-nya setiap Keputusan dan/atau tindakan yang dihasilkan oleh PSSI termasuk Keputusan hasil Kongres Biasa dan Kongres Luar Biasa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak sah dan batal demi hukum bagi organisasi, pemerintah di tingkat pusat dan daerah maupun pihak-pihak lain yang terkait.”
Dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada diktum pertama dan diktum kedua, maka seluruh jajaran Pemerintahan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, tidak dapat lagi memberikan pelayanan dan fasilitasi kepada kepengurusan PSSI, dan seluruh kegiatan keolahragaannya.
Ouch!
Mengeluarkan keputusan tersebut, berarti Kemenpora sudah siap dengan segala konsekuensi. Termasuk jika akhirnya bakal disanksi FIFA. Timnas tidak bisa mengikuti semua ajang sepakbola di bawah FIFA (Piala Asia, kualifikasi Piala Dunia, dan AFF) dan semua klub Indonesia tidak bisa mengikuti ajang internasional (Liga Champions Asia dan Asian Cup Winners Cup). Para pemain asing yang bermain di Liga Indonesia juga bakal disanksi tampil di kompetisi FIFA.
Reformasi PSSI satu-satunya prestasi yang bisa dikejar Kemenpora
SALUTS!!!! RT @hidayat_ricky: Salut dengan keberanian cak @imam_nahrawi satu kata LAWAN itu mafia2 yang mengatasnamakan PSSI @revolupssi
— andibachtiar yusuf (@andibachtiar) April 18, 2015
Sejak semalam, dukungan untuk pembekuan PSSI terus berdatangan sejak pernyataan Gatot di Metro TV. Bahkan jika akhirnya harus disanksi FIFA. Mereka lebih baik melihat PSSI dibenahi dengan baik dan disanksi daripada melihatnya menjadi sarang “siluman” sepakbola.
“Dulu saya sudah sampaikan jauh-jauh hari sebelum kongres, bekukan dulu PSSI baru kita tata. Kita disanksi dua tahun seperti Brunei, keluar sanksi langsung juara ‘kan ya ampuh,” kata Penasihat PSSI Kota Solo FX. Hadi Rudyatmo seperti dikutip detik.com.
Apakah sebenarnya Imam Nahrawi se-patriotik itu? Melihat situasinya, Kemenpora kini bisa dikatakan tidak punya prestasi gemilang. Persiapan pelatnas untuk SEA Games tahun ini di Singapura amburadul. Dana pelatnas, seperti biasa, terlambat turun. Seorang pelatih balap sepeda bahkan harus “menyekolahkan” rumahnya Rp 300 juta demi membiayai anak asuhnya.
Karena itu, satu-satunya prestasi yang bisa dikejar oleh Imam Nahrawi adalah reformasi PSSI. Dan itu harus sukses. Sebab, tak ada lagi prestasi yang bisa dia banggakan dalam masa kepemimpinannya sebagai penerus Roy Suryo (meski Roy juga gagal, baik dalam mengelola program SEA Games dan reformasi PSSI).
Tapi itu tidak gampang. Sebab, lawan dia tidak hanya PSSI. Tapi juga internal pemerintah. Tak tanggung-tanggung, PSSI di-back up oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Tak percaya? Ingat. Saat Kemenpora bersama BOPI getol menunda kompetisi gara-gara persyaratan dalam regulasi lisensi federasi sepakbola Asia (AFC) tak dipenuhi klub, JK dengan gampang bilang, “Saya sudah bicara dengan Menpora agar jangan ditunda-tunda, harus jalan. Pemerintah tugasnya mendukung, men-support. Tidak perlu terlalu jauh mencampuri urusan internal liga dan macam-macam,” kata JK seperti dikutip CNN Indonesia.
Kini, melawan PSSI adalah satu-satunya peperangan yang telah dipilih Imam Nahrawi. Sebab, peperangan lainnya sudah kadung tidak diurusi (untuk tidak dikatakan kalah). Karena hanya satu palagan yang dia pilih, tak ada pilihan lain kecuali menang. Lawan! — Rappler.com
Agung Putu Iskandar, atau Aga Agung, adalah mantan wartawan Jawa Pos. Agung Putu Iskandar, atau Aga Agung, adalah mantan wartawan Jawa Pos. Selain pernah meliput Piala Dunia di Brasil pada 2014 dan Euro 2012 di Polandia-Ukraina, dia pernah meliput Tour de Langkawi 2013. Aga kini memilih untuk menjadi penulis lepas sembari mengamati dunia olahraga. Selain menulis soal olahraga, ia juga peduli pada isu sosial dan hukum. Follow twitter di @agaagung.
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.