Perempuan Minangkabau, apa ia berkuasa?

Bunga Manggiasih

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perempuan Minangkabau, apa ia berkuasa?

EPA

Meski Minangkabau menganut sistem keluarga matrilineal, sistem kekuasaannya bukanlah matriarkat, di mana perempuan memegang kendali.

Hari Kartini yang baru berlalu selalu mengingatkan saya akan suatu waktu, ketika saya merasa terpesona pada peran perempuan dalam suku Minangkabau. Sayangnya, ketakjuban itu tak berlangsung lama.

Saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar saat tahu suku Minangkabau mengatur keluarganya dengan cara sangat berbeda dari suku lain di Indonesia. Di buku pelajaran dijelaskan, keluarga Minang dihitung dari garis keturunan ibu, dan warisan pun diturunkan kepada para perempuan. Jika seorang lelaki Minang menikah, ia pindah ke rumah keluarga istrinya, bukan sebaliknya. Kesannya posisi perempuan istimewa betul, bukan hanya “pengikut” lelaki seperti di kebanyakan suku lain.

Waktu itu, terselip rasa bangga karena saya punya darah Minang, walaupun saya tak terhitung orang Minang karena darah itu mengalir dari ayah, bukan dari ibu saya — dia orang Sunda. Dalam istilah Minang, bibi atau saudara perempuan ayah, yang dilabeli “induak bako”, akan menyebut saya “anak pisang”. Nama saya pun tidak akan tercantum dalam ranji alias silsilah keluarga, tapi saya ikhlaskan saja karena yang penting, buat anak SD, rasanya sudah bangga jadi bagian sesuatu yang berbeda. Kebanggaan itu menciut saat saya pulang sekolah dan berdiskusi dengan ayah.

Ternyata, meski Minangkabau menganut sistem keluarga matrilineal, sistem kekuasaannya bukanlah matriarkat, di mana perempuan memegang kendali.

Sebaliknya, Minang, seperti banyak suku lain, adalah masyarakat yang patriarkat. Lelaki adalah pengambil keputusan. Dalam suku Minang, mamak atau paman menjadi pemimpin dalam wilayah rumah tangga saparuik (satu perut, satu ibu). Datuak ialah pemimpin dalam wilayah kaumnya, yang terhitung satu nenek. Penghulu menjadi pemimpin suku (satu nenek moyang), sedangkan wali nagari adalah pemegang kekuasaan formal di nagari.

Dalam salah satu penelitian Women Research Institute di Solok, Sumatera Barat, disebutkan walau perempuan mewarisi tanah, kenyataannya banyak kasus paman yang menjual tanah warisan tanpa persetujuan saudari-saudarinya. Sementara, sepertinya sulit berharap pada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran bagi reformasi sertifikasi lahan, sehingga hak perempuan dalam mewarisi dan memutuskan penggunaan lahan dapat terlindungi.

Saya tak putus asa mencoba “mempertahankan” keistimewaan perempuan Minang. Sekian tahun kemudian, saya menemukan konsep Bundo Kanduang. Secara harfiah dua kata itu berarti “ibu kandung”, tapi ia adalah sosok yang menunjukkan posisi mulia perempuan Minangkabau dalam tatanan adat masyarakatnya. Perempuan berfungsi tidak hanya sebagai penerus keturunan, tetapi juga terlibat dalam musyawarah di keluarga, kampung, daerah, dan nagarinya.

Tetapi lagi-lagi saya gigit jari. Berbeda dengan kegagalan upaya Belanda menundukkan Bundo Kanduang, Orde Baru bisa dibilang sukses mengkooptasinya, dengan melembagakannya secara formal. Bundo Kanduang yang tadinya bisa bersikap kritis terhadap penyelenggaraan pemerintahan nagari, justru menjadi alat legitimasi politik Orde Baru. Peran institusi Bundo Kanduang dikerdilkan menjadi hiasan upacara adat dan negara. 

Menciutnya peran Bundo Kanduang tercermin pula pada sedikitnya perempuan Minang yang lolos menjadi anggota legislatif. Pada pemilihan umum tahun 1999, keterwakilan perempuan Sumatera Barat dalam lapangan politik kurang dari 10%, padahal penduduk provinsi itu berpenduduk 41,7 juta orang, dengan proporsi perempuan sebanyak 51%. 

Perempuan yang duduk DPRD Sumatera Barat hasil pemilihan itu hanyalah 4 orang. Pada pemilihan legislatif nasional dan provinsi 2009, hanya ada 7,1% legislator dari Sumatera Barat. Tepatnya hanya 1 orang perempuan, sedangkan 13 anggota legislatif lainnya adalah lelaki. Pada pemilihan 2009 itu, Sumatera Barat menempati peringkat ke-9 dari bawah dalam hal persentase legislator perempuan. 

Ayah mencoba mengobati kekecewaan saya. “Sebetulnya tetap ada perlindungan dari segi hak perempuan atas harta pusako, yaitu harta warisan,” katanya. Setidaknya, hak untuk mengelola harta warisan keluarga masih ada di tangan perempuan. Sedangkan harta yang didapat oleh seorang bapak dapat diwariskan kepada anak-anaknya, lelaki dan perempuan.

“Tapi pecahnya keluarga besar yang tadinya tinggal bersama-sama di rumah gadang (rumah besar) menjadi keluarga inti menghilangkan perlindungan terhadap perempuan. Kebebasan dibayar dengan peningkatan risiko bagi perempuan, yakni tidak ada perlindungan sosial,” ia mengempaskan lagi harapan saya untuk keiistimewaan perempuan Minang.

Keadaan jadi makin rumit karena selalu ada perseteruan antara orang Minang yang erat berpegang pada sistem matrilineal, dan yang ingin meruntuhkannya karena tak sesuai dengan syariah Islam. Salah satu konflik nyata dan penuh kekerasan akibat pertentangan itu adalah Perang Padri. 

Kaum Padri, ulama neo-Wahabi pimpinan Imam Bonjol, tak sekadar memprotes matrilineal tetapi juga praktik adat lainnya seperti sabung ayam dan pelaksanaan ritual Islam yang cenderung longgar. Perang puluhan tahun ini belakangan memuluskan langkah Belanda menguasai tanah Minang. Pada awal abad ke-20, peran perempuan dalam masyarakat serta definisi rumah dan keluarga menjadi fokus perdebatan di Minangkabau. Kini pun pertentangan antara adat dan syariah Islam masih terus berdengung di antara orang Minang.

Namun menurut Jeffrey Hadler, justru sebetulnya sistem matrilineal selamat karena ia terlebih dahulu sudah terideologisasi dan diperkuat waktu menghadapi kritik Padri. Saat itu, kaum Padri membatasi diri sendiri dan akhirnya menjadi fleksibel, bahkan mau berdamai dengan kaum pembela adat. Dengan formula “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” (adat berdasarkan syariah, syariah berdasarkan kitab Allah, Al-Qur’an) pemimpin-pemimpin Padri dan adat berkompromi dan mempertahankan kekhasan budaya Minangkabau. Sistem matrilineal bukan bertahan meskipun diserang kaum Padri, tetapi bertahan karena serangan itu.

Di titik ini, saya berusaha optimistis. Toh nilai-nilai sosial budaya oleh masyarakatnya tidak berada pada ruang vakum, sehingga peluang untuk perubahan masih ada. Semoga saja ke arah yang lebih baik, yang lebih memuliakan perempuan, baik dalam suku Minang maupun suku lainnya. 

Oktober nanti, akan ada Festival Matrilineal Internasional di Sumatera Barat. Komunitas dengan sistem keluarga matrilineal akan berkumpul untuk berbagi cerita tentang sukunya. Akan ada perwakilan suku Kerala, India; Mosu, Cina; Patani, Thailand; dan Negeri Sembilan, Malaysia. Sedangkan dari Indonesia, selain suku Minangkabau, ada juga suku Semende dari Sumatera Selatan; Enggano dan Muko-Muko di Bengkulu; Kuantan, Kampar, dan Rokan di Riau; serta Kerinci di Jambi. 

Siapa tahu kita bisa tercerahkan akan ditinggikannya status perempuan di dunia yang cenderung patriarkis ini, bukan sekadar menyaksikan hura-hura merayakan sesuatu yang semu atau tak ada. —Rappler.com


Bunga Manggiasih menaruh perhatian pada kebijakan publik karena berinteraksi dengan para pengambil kebijakan saat bekerja sebagai jurnalis. Setelah lulus dari Erasmus Mundus Masters Program in Public Policy, ia bekerja sebagai kerani di sebuah lembaga nasional. Di waktu senggang, ia memberi asupan bagi blog bungamanggiasih.com dan akun Twitter @bungtje.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!