Kebebasan & kepahitan: Tentang sepak bola dan pengungsi Eritrea

Eddward S. Kennedy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kebebasan & kepahitan: Tentang sepak bola dan pengungsi Eritrea
Di Eritrea, sepak bola adalah jalan menuju pembebasan. Juga kepahitan.


Bob Marley pernah ditanya apa makna sepak bola. Ia menjawab lantang: “Football is freedom!

Jawaban tersebut bisa jadi terdengar klise, terlebih itu keluar dari mulut seorang libertarian seperti Marley. Tetapi, di Eritrea, kata-kata tersebut tak lebih dari sekadar paradoks kehidupan. 

Eritrea adalah sebuah negara yang terletak di bagian timur laut Afrika, berbatasan dengan Sudan di sebelah barat, Etiopia di selatan, dan Djibouti di tenggara. Negara ini baru 23 tahun merdeka, tepatnya pada 24 Mei 1993, setelah berperang selama 30 tahun (1961-1991) melawan Ethiopia.

Sebagaimana lazimnya negara yang baru berdiri, Eritrea masih diliputi berbagai masalah. Data indeks korupsi dari laman Transparency.org tahun 2015 menunjukkan Eritrea berada di ranking 166 dari 175 negara. Selain korupsi, permasalahan utama di Eritrea adalah pelanggaran hak insani dan situasi ekonomi yang buruk. 

Pada 16 Maret 2015, Ketua Komisi Penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Mike Smith mengadukannya ke Dewan Hak Asasi PBB di Jenewa. Smith, sebagaimana dilansir Guardian, 19 Maret 2015, menyebut peraturan wajib militer yang dicanangkan pemerintah Eritrea bersifat universal dan tanpa batas waktu. 

Selain itu, satu-satunya mata pencaharian yang diharapkan sebagian besar rakyat Eritrea adalah hanya dengan menjadi anggota militer atau sebagai pegawai negeri. Upahnya pun kelewat kecil: kurang dari 2 dolar per hari.

“Most Eritreans have no hope for their future. National service, whether in a military unit or in a civil assignment, is the only thing that from the age of 17 they can expect to spend their life doing – paid between less than $1 and a maximum of $2 a day.”

Jalan kebebasan melalui tim nasional

Sebuah lapangan sepak bola di Eritrea. Foto dari fifa.com

Dengan kondisi semacam itu, Eritrea pun menjadi negara yang paling sering ditinggal warganya. Pada Juli 2014 lalu, misalnya, data Badan Pengungsi PBB menyebutkan, sebanyak 320.000 warga Eritrea tercatat melarikan diri. Melarikan diri pun bukan perkara mudah, sebab di setiap perbatasan, pemerintah telah menaruh banyak tentara untuk mencegah para pengungsi. 

Tak heran jika kemudian banyak orang di Eritrea memilih menjadi pesepak bola agar dapat melarikan diri dengan aman. Cara tersebut dianggap tak menimbulkan kecurigaan karena mereka dapat bepergian ke luar negeri atas izin pemerintah, kendati mesti dikawal oleh aparat. Salah satunya seperti yang pernah dilakukan 12 pemain tim nasional Eritrea pada Desember 2009 silam, pasca mengikuti turnamen Council for East and Central Africa Football Associations (CECAFA) Senior Challenge yang dilangsungkan di Kenya. 

Dalam turnamen sepak bola tertua di Afrika tersebut, timnas Eritrea tersingkir di fase perempatfinal. Ketika semestinya tim kembali ke negara asal, sebanyak 12 pemain tidak muncul di bandar udara. Mereka menghilang di Nairobi dengan tujuan mencari suaka politik.

Tiga tahun setelahnya, momen serupa terjadi. Kali ini jumlah pemain yang kabur justru bertambah menjadi 18 anggota, terdiri dari pemain dan tim medis. Dengan alur yang mirip, setelah tersingkir dalam turnamen CECAFA — kali ini Uganda yang menjadi tuan rumah — para pemain kabur dari ibu kota Uganda, Kampala.

Bisa diterima lewat sepak bola

Pada Mei 2014, James Montague, salah seorang jurnalis olahraga asal Inggris, pernah menuliskan kisah tentang 18 anggota timnas Eritrea tersebut di The New York Times dengan judul A National Team Without a Country.

Montague menulis, setelah melakukan perjalanan panjang dan sempat terlunta-lunta di kamp pengungsi darurat selama enam bulan di Timisoara, Rumania, 18 anggota timnas Eritrea tersebut akhirnya tiba di Gorichem, salah satu kota di Belanda. Beruntung, Walikota Gorinchem Anton Barske, yang juga berafiliasi dengan partai sayap kiri Belanda, Groenlinks, menyambut mereka dengan tangan terbuka.

“They are a national soccer team, and we are a very hospitable country and city here, so we never hesitated in welcoming them,” ujar Barske kala itu.

Tetapi, tentu saja tak semua pihak senang dengan kedatangan orang-orang tak diundang dari Eritrea ini. Protes paling keras dilancarkan oleh Partij voor de Vrijheid (PVV), partai sayap kanan di Belanda yang cukup populer. Penolakan tersebut sejatinya bersifat politis, mengingat ketika itu pemilihan parlemen Uni Eropa akan segera dilaksanakan. PVV, bersama UK Independence Party — yang juga partai sayap kanan di Inggris — memang kerap memainkan isu-isu anti keimigrasian untuk dapat meraih simpati para pemilih.

Dalam wawancaranya via surat elektronik dengan The New York Times, Geert Wilders, salah seorang petinggi PVV di parlemen Uni Eropa, menuliskan pandangannya terhadap kedatangan 18 anggota timnas Eritrea tersebut.

Menurutnya, adalah sebuah kesalahan bagi Belanda jika menerima para pengungsi tersebut.

“Of course people are angered by this. This is a perversion of the asylum right, because these Eritreans had already received asylum elsewhere and were living in safety in Romania. It is a scandal that our people are taxed dry. It is no wonder that thousands of Eritreans now seem to think that they are welcome in the Netherlands and that welfare benefits are waiting here for them.”

Kendati demikian, warga Gorichem tak ada yang merasa keberatan dengan kedatangan ke-18 anggota timnas Eritrea tersebut. Bahkan, SVW, klub lokal yang bermain di divisi lima Belanda, sempat menggunakan jasa beberapa anggota timnas Eritrea tersebut untuk membantu mereka bertanding. Klub lokal lain, GVW Unitas, yang merupakan salah satu klub tertua di Belanda karena telah berdiri selama 116 tahun, juga sempat meminati beberapa pemain tersebut. 

Kini ke-18 anggota timnas Eritrea tersebut telah menjalani kehidupan normal dan mendapati pekerjaan layak sebagai pekerja bangunan dan buruh pabrik. Mereka masih berharap dapat kembali berjumpa dengan keluarga masing-masing. Terlebih, pemerintah Eritrea memberlakukan hukuman kepada tiap keluarga pengungsi ilegal, yakni denda sebesar 5000 euro. 

Selain itu, jika pengungsi tersebut memiliki ibu yang sudah berusia 65 tahun tetapi tak memiliki uang untuk membayar denda, maka sang ibu akan dijebloskan ke dalam penjara selama tiga hingga empat bulan.

Berketeab Tesfai, salah seorang pengungsi Eritrea yang sudah tiba di Belanda sejak dua dekade lalu, mengatakan:

“They (government) punish the families by pushing them to pay around 5,000 euros, and for those that have 65-year-old mothers with no money, those mothers are jailed for three or four months.”

Di Eritrea, sepak bola adalah jalan menuju pembebasan. Juga kepahitan. —Rappler.com

Eddward S. Kennedy adalah blogger, penulis lepas, dan pemerhati sepak bola. Kumpulan esainya diterbitkan dalam buku berjudul “Sepak Bola Seribu Tafsir”. Dia aktif menulis di blognya beyondfootballandevil.tumblr.com. Follow Twitter-nya @propaganjen

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!