Surat terbuka tentang tes keperawanan TNI

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Surat terbuka tentang tes keperawanan TNI

AFP/Getty Images

'Perempuan tak seharusnya jadi subyek terhadap praktik yang menimbulkan rasa sakit untuk menjadi anggota militer'

JAKARTA, Indonesia — Praktik tes keperawanan bagi perempuan calon anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali dikecam.

Memanfaatkan momentum Kongres Dunia Kedokteran Militer ke-41 yang akan diselenggarakan di tanah air pada 17-22 Mei 2015, sejumlah lembaga internasional melancarkan tekanan kepada pemerintah Indonesia untuk menghapus tes keperawanan dalam proses penerimaan anggota baru TNI.

Hingga saat ini, perempuan yang ingin menjadi anggota TNI dan Polri harus menjalani tes keperawanan. Padahal, menurut penyelenggara kongres Dewan Internasional untuk Rehabilitasi Korban Penyiksaan (ICRT), para pakar telah menganalisis bahwa praktik ini tidak memiliki manfaat baik secara sains maupun medis.

Lembaga pemantau hak asasi manusia (HAM) Human Rights Watch juga mengutuk praktik tersebut. 

“TNI harus menyadari bahwa tes keperawanan terhadap calon anggota perempuannya yang sangat meyakitkan dan memalukan, sama sekali tidak terkait dengan upaya penguatan keamanan nasional,” kata Nisha Varia, Direktur Advokasi Hak Perempuan Human Right Watch (HRW).

(BACA: Tes keperawanan siswi: Moral yang patut dipertanyakan)

HRW merujuk pada penelitian yang telah mereka lakukan melalui wawancara terhadap calon anggota TNI yang menjadi obyek tes keperawanan di sejumlah tempat.

Salah satu calon anggota mengatakan bahwa menjelang tes, mereka diberitahu bahwa tes keperawanan dilakukan untuk “menjaga kewibaan dan kehormatan negara” serta membangun “stabilitas keluarga” bagi keluarga anggota TNI yang sering terpisah karena tugas.

Juga untuk calon istri

Female members of the Indonesian police force ride motorbikes as they mark Kartini Day in Jakarta on April 22, 2013. Photo by Adek Berry/AFP

Baik HRW maupun IRCT, dalam protesnya juga mengangkat fakta bahwa tes tidak hanya berlaku untuk calon anggota namun juga calon istri anggota.

Namun hal ini dibantah oleh pihak TNI melalui Kepala Pusat Penerangan Mayor Jenderal Fuad Basya.

“Harus ada keterangan dokter bahwa dia sehat, tapi tidak ada tes keperawanan,” kata Fuad sebagaimana dikutip oleh Tempo.co.

Surat terbuka

Sementara itu, Dewan Internasional untuk Rehabilitasi Korban Penyiksaan (IRCT) mengirim sebuah surat terbuka kepada para delegasi Kongres Dunia Kedokteran Militer ke-41.

Surat terbuka ini mendesak mereka agar melancarkan protes terhadap tes keperawanan, termasuk yang masih dilaksanakan di Indonesia sebagai tuan rumah.

Berikut ini isi surat tersebut yang telah kami terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:

Delegasi yang terhormat, 

Menjelang Kongres Dunia Kedokteran Militer ke-41 yang akan diselenggarakan di Indonesia, Dewan Internasional untuk Rehabilitasi Korban Penyiksaan — organisasi internasional terbesar di area rehabilitasi untuk korban penyiksaan — mendesak Anda untuk menolak praktik tes keperawanan oleh para profesional kedokteran militer sebagai sebuah pelanggaran terhadap hak perempuan serta berpotensi untuk dikategorikan sebagai malpraktik dan penyiksaan berdasarkan hukum internasional.

Praktik diskriminatif ini masih diselenggarakan di sejumlah negara sebagai bagian terintegrasi dari kebijakan publik negara tersebut untuk mengontrol seksualitas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengklasifikasikan tes keperawanan sebagai sebuah bentuk kekerasan seksual, yang ketika dipaksakan penyelenggaraannya, dapat mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan bagi perempuan yang menjalaninya. Studi juga menunjukkan bahwa tes semacam ini adalah tidak akurat, tidak andal secara medis, serta tidak membawa manfaat baik dari perspektif sains maupun medis.

Dalam kesempatan ini, kami mengharapkan perhatian Anda sekalian terhadap persoalan ini dalam Kongres Dunia Kedokteran Militer di Indonesia, serta mendesak segenap delegasi yang hadir, berdasarkan pernyataan ahli yang terlampir, untuk:

  • Menolak, dan dengan cara yang etis, mengecam praktik tes keperawanan oleh para professional kedokteran militer; dan 
  • Menolak untuk hadir maupun berpartisipasi dalam penyelenggaraan praktik-praktik semacam ini

Sejalan dengan proses modernisasi militer negara Anda, sesuai dengan dan berdasarkan penerapan hukum internasional dengan pendampingan dari Komisi Internasional Kedokteran Militer, kami mendesak agar negara Anda menghindari praktik pelanggaran terhadap hak dan integritas anggota perempuan Anda. Perempuan tidak seharusnya menjadi subyek terhadap praktik yang sangat mungkin menimbulkan rasa sakit dan penderitaan berkepanjangan dalam upaya mendapatkan hak mereka untuk menjadi anggota militer. 

Di Indonesia, contohya, pihak militer mewajibkan calon anggota perempuannya untuk menjalani tes keperawanan untuk mengetahui apakah yang bersangkutan pernah berhubungan seks. Militer Indonesia juga melakukan tes ini terhadap calon istri anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebelum memberikan izin menikah. Tahun ini, pemerintah Indonesia juga mengusulkan bahwa murid sekolah perempuan harus melalui tes keperawanan, meskipun belakangan rencana ini dibatalkan karena kuatnya tekanan publik.

Dalam pernyataan ahli yang dipublikasikan bulan lalu dalam jurnal ilmiah TORTURE, yang terdaftar di MEDLINE, Grup Pakar Forensik Independen (IFEG) — terdiri dari 35 pakar  forensik terkemuka dan independen dari 18 negara — ditemukan bahwa tes keperawanan adalah “tidak andal secara medis, diskriminatif, dan, dalam banyak kasus, ketika penyelenggaraannya dipaksakan, dapat menimbulkan penderitaan yang signifikan secara fisik maupun mental”. 

Sebagaimana dielaborasi dalam pernyataan ahli IFEG yang dikembangkan berdasarkan kepakaran para anggotanya:

“Literatur medis yang telah dipublikasikan dan ditelaah sesama sejawat menemukan bahwa tes keperawanan tidak memiliki nilai sains. Keadaan selaput dara seseorang tidak mencerminkan apakah telah terjadi penetrasi maupun hubungan seks; keadaan selaput dara tidak dapat menjadi acuan apakah sebelumnya telah terdapat penetrasi oleh penis maupun obyek lainnya terhadap selaput dara atau vagina. Tes keperawanan juga tidak berkontribusi terhadap upaya deteksi dini penyakit menular.”

Uji keperawanan dapat mengakibatkan seorang perempuan mengalami gejala gangguan stres pasca trauma (PTSD), juga perasaan telah dipermalukan, jijik terhadap diri sendiri, serta merasa tidak berharga. “Secara alami, tes keperawanan yang dilaksanakan secara paksa sangat mungkin menimbulkan efek psikologis serta cacat parah yang tidak muncul seketika seperti akibat dari bentuk kekerasan fisik dan mental lain.” IFEG menyimpulkan bahwa, ketika dilaksanakan secara paksa, tes keperawanan “akan menimbulkan perlakuan yang kejam dan tidak berperikemanusiaan serta berpotensi membuat individu yang menjadi subyeknya tersiksa, sesuai dengan keadaan individu tersebut”, seperti ketika uji keperawanan melibatkan sentuhan maupun penetrasi yang dilakukan tanpa izin — yang dapat dikategorikan sebagai pemerkosaan di bawah hukum internasional.

Militer Indonesia tidak menggunakan “tes dua jari” dalam tes keperawanannya; para profesional kedokteran militer memasukkan jarinya ke dalam anus perempuan lalu memperlebar farjinya hingga seluruh bagian dari selaput dara terlihat. Prosedur ini dapat membuat seorang perempuan merasa dipermalukan dan mengakibatkan rasa sakit secara fisik. IFEG menyatakan seluruh pernyataan ahli ini adalah valid, akurat, dan relevan.

Akibat rasa sakit dan penderitaan yang ditimbulkannya serta berdasarkan fakta jika secara medis tes keperawanan tidak memiliki manfaat, maka IFEG percaya bahwa standar internasional untuk etika profesi harus melarang profesional medis berpartisipasi atau memberikan toleransi terhadap praktik ini dan mendesak mereka untuk menolak terlibat di dalamnya.

“Potensi rasa sakit dan penderitaan yang ditimbulkan oleh tes keperawanan secara paksa terhadap keperawanan tidak dengan serta merta hilang hanya karena pelakunya merupakan profesional medis yang menganggap bahwa prosedur yang dilakukannya merupakan bagian dari upaya medis. Dalam batas tertentu, fakta bahwa seorang profesional medis — yang memiliki kewajiban etis terhadap individu yang ditanganinya — justru merupakan orang yang melanggar kepercayaan mereka, dapat berkontribusi terhadap trauma yang muncul.”

Kami menerima disposisi delegasi Kongres Dunia Kedokteran Militer ke-41 untuk merespon pertanyaan-pertanyaan Anda terkait isu ini.

Surat aslinya dalam bahasa Inggris dapat dibaca di sini.Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!