TNI: Tes keperawanan diperlukan untuk menilai moralitas

Miryam Joseph Santolakis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

TNI: Tes keperawanan diperlukan untuk menilai moralitas

AFP/Getty Images

"Kalau itu untuk kebaikan, kenapa harus dikritik begitu?" tanya Panglima TNI Jenderal Moeldoko

JAKARTA, Indonesia — Dihujani kritik karena melakukan tes keperawanan bagi calon anggotanya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersikukuh mengatakan bahwa tes tersebut diperlukan untuk menilai moralitas. 

“Di militer ada 3 hal. Pertama itu morality, kedua akademik, ketiga fisik. Tiga hal itulah jadi sandaran utama kita dalam menjadikan seorang prajurit itu. Mulai dari awal harus kita lihat, morality bagus nggak, fisik bagus nggak, akademisnya bagus nggak. Ini bagian dari salah satu bentuk tadi,” kata Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Jumat, 15 Mei 2015.

Ia mengonfirmasi bahwa tes keperawanan merupakan bagian dari upaya melihat moralitas seorang calon anggota TNI. 

“Ya itu (melihat moralitas), nggak ada upaya lain.” 

Moeldoko mengatakan dia tidak mengerti kenapa orang mengkritisi tes keperawanan, karena menurutnya tes itu untuk kebaikan.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Fuad Basya mengonfirmasi bahwa tes keperawanan dibutuhkan untuk mendeteksi kesehatan mental seorang perempuan. Fuad juga mengklaim bahwa masyarakat di tanah air yang menjunjung budaya ketimuran mendukung kebijakan ini.

Dikritik anggota DPR

Arzetty Bilbina Setyawan, anggota DPR dari Komisi VII, mengkritik tes ini. Ia mengatakan bahwa sudah tidak ada alasan bagi TNI atau pun institusi penegak hukum lainnya untuk melaksanakan tes keperawanan. 

“Sudah pernah kita bahas di rapat bersama menteri. Beliau mengatakan bahwa ini (tes keperawanan) tidak ada lagi dan sepakat untuk dihapuskan,” kata Arzetty, Jumat 15 Mei.

Ia juga menjelaskan bahwa keputusan tersebut diambil setelah DPR RI berhasil mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Lebih jauh, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengelaborasi bahwa salah satu alasan mengapa ia mendukung dihapuskannya tes keperawanan adalah karena praktik ini tidak akurat serta dapat menimbulkan trauma.

“Logikanya kan kita tidak tahu soal keperawanan itu, karena tidak bisa dilihat. Untuk anak yang selama ini menjaga auratnya, melihat tes itu sebagai trauma. Ada rasa tidak nyaman.”

“Kan tidak bisa kelihatan juga apakah masih perawan atau tidak lewat tes fisik atau dengan melihat,” ujar Arzetty.

Tes yang jadi sorotan internasional

Momentum menjelang penyelenggaraan Kongres Dunia Kedokteran Militer ke-41 pada 17-22 Mei yang akan datang di Indonesia, dimanfaatkan sejumlah lembaga internasional untuk melancarkan tekanan kepada Pemerintah Indonesia agar menghapus tes keperawanan dalam proses penerimaan anggota baru TNI.

(BACA: Indonesia urged to stop military ‘virginity tests’)

Salah satu landasan bagi desakan ini adalah hasil studi dari Grup Pakar Forensik Independen IFEG yang pada intinya menemukan bahwa tes keperawanan tidak memiliki manfaat, baik dari perspektif sains maupun medis.

Tidak hanya itu, tes keperawanan juga berpotensi menimbulkan rasa sakit yang luar biasa dan trauma yang berkepanjangan.

(BACA: Surat terbuka tentang tes keperawanan TNI)

Temuan-temuan di atas juga terkonfirmasi oleh kesaksian dari mereka yang pernah menjadi objek pelaksanaan tes ini.

“Saat malam pertama, badan saya tegang. Saya tidak bisa melakukannya. Saya menangis sepanjang malam. Saya baru bisa melakukannya dua bulan kemudian. Saya trauma gara-gara pengalaman melakukan tes keperawanan,” kata seorang pensiunan Kowau kepada Human Rights Watch (HRW).

Narasumber HRW ini  mengatakan bahwa dirinya menjalani tes keperawanan pada 1984.

(BACA: Kisah traumatik dari uji keperawanan di TNI) — dengan laporan dari ATA & Haryo Wisanggeni/Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!