SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
KUALA LANGSA, Indonesia — Muhammad Soji duduk manis di tepi Pelabuhan Kuala Langsa. Matanya menyapu laut utara Aceh itu dan menatap kapal-kapal yang lewat.
Seperti tak bosan memandangi laut, padahal sebelumnya ia terombang-ambing selama 3 bulan di laut.
Ia termasuk dalam 672 pengungsi asal Bangladesh dan Myanmar yang terkatung-katung di laut dan terdampar di Kuala Langsa. Pemuda Bangladesh berusia 24 tahun ini termasuk beruntung, karena 100 orang pengungsi dikabarkan meninggal karena kelaparan dan kehausan di tengah laut dan ditembak kapten kapal setelah mesin kapal mati.
Ke mana dia akan pergi selanjutnya? “Bangladesh,” katanya saat berbincang dengan Rappler di tempat pengungsian, Minggu, 17 Mei.
Rupanya ia ingin kembali ke negaranya. Padahal sebelumnya ia membayar ribuan taka pada seorang dalal, atau penyelundup, untuk menyeberang secara ilegal ke Malaysia, demi mencari kehidupan yang lebih layak.
Kenapa ia ingin kembali lagi ke Bangladesh? Ia tak bisa mengungkap karena ia tak lancar berbahasa Inggris, hanya mengerti satu dua patah kata.
Tapi ia memastikan tak berminat lagi ke Malaysia. “No Malaysia. No,” katanya. Dua temannya yang sedang duduk bersanding dengannya ikut mengamini sambil menggelengkan kepalanya.
(BACA: Pengungsi Bangladesh: No job in my country)
Rinku Islam, 21 tahun, pemuda asal Bangladesh lainnya yang juga berniat menyeberang ke Malaysia untuk mencari pekerjaan itu menyatakan hal yang sama. “Go back to Bangladesh,” katanya, meski ia tahu bahwa ia harus kembali berhadapan dengan kemiskinan, alasan kuat yang mendorongnya mengambil niatan untuk mengunjungi Malaysia.
Pengalaman pahit terombang-ambing di laut selama 3 bulan membuat ia rindu pada sanak saudaranya di tempat kelahirannya.
Kembali ke Bangladesh secepatnya?
Setidaknya, kunjungan duta besar Bangladesh untuk Indonesia MD Nazmul Quaunine pada Sabtu, 16 Mei, kemarin adalah sebuah titik terang. Menurut juru bicara Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Pengungsi (UNHCR) Mitra Suryono, Nazmul telah mengunjungi warga Bangladesh di pengungsian Kuala Cangkoi.
Pihak Kedubes Bangladesh dikatakan juga sudah mendata dan meregistrasi para pengungsi. “Karena mereka tidak cari suaka, jadi kami serahkan ke Dubes Bangladesh,” kata Mitra.
(BACA: UNHCR: Nasib pengungsi Bangladesh kini di tangan pemerintah)
Mitra mengungkapkan, upaya pemulangan para imigran gelap itu memang belum pasti, tapi Nazmul telah menempatkan mereka di kantor imigrasi di sekitar Kuala Cangkoi.
Menunggu tiket pulang di tengah konflik dengan Myanmar
Jika memang harus menunggu agar bisa pulang kembali ke Bangladesh, Rinku bisa menunggu. Tapi ia mengkhawatirkan hubungan antara warga Bangladesh dan etnis Rohingya asal Myanmar yang semakin memburuk.
Kedua warga negara ini memang tak akur sejak di perahu. Menurut penuturan Rinku, sempat terjadi perkelahian dengan senjata tumpul ataupun tajam antara kedua kelompok pengungsi.
“Myanmar is bad,” kata Rinku. Entah keburukan apa yang dimaksud Rinku. Tapi ia menuturkan sebelumnya bahwa pertengkaran itu terjadi karena mereka berebut jatah makanan.
Akibat pertengkaran tersebut, sebagian pengungsi luka-luka. Salah satunya adalah Dabul, pemuda Bangladesh berusia 24 tahun, menderita luka sayatan di punggungnya.
Farouk, 22 tahun, rekan Dabul, menjelaskan dalam bahasa Inggris terpatah-patah bahwa pertengkaran terjadi memang karena rebutan makanan. “Burma and Bengali fighting. Bangali no food. No water,” katanya sambil memeragakan sebuah senjata disayatkan ke leher.
Lalu mampukah kedua kelompok ini menahan diri hingga pemerintah dan Dubes Nazmul memulangkan pengungsi asal Bangladesh? Pekerjaan rumah yang cukup berat.—Rappler.com
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.