Menyelamatkan Rohingya: Mengingat kebaikan orang Aceh

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menyelamatkan Rohingya: Mengingat kebaikan orang Aceh
Mengapa Aceh yang sering dituding langgar HAM, menjadi yang terdepan dalam upaya penyelamatan pengungsi etnis Rohingya?

Bagaimana kita mengingat Aceh? Ah tidak, bagaimana seharusnya bangsa ini mengingat Aceh. Tanah Serambi Mekah itu tempat di mana adat dan syariat ditegakkan, kemanusiaan masih, dan akan selalu ada. Kemerdekaan Indonesia, kekayaan negara ini, dan segala macam kemapanan yang kita punya, sedikit banyak berhutang pada masyarakat Aceh.

Pesawat Dakota RI-001 Seulawah adalah satu dari sekian banyak bukti kebaikan masyarakat Aceh. Seulawah atau gunung emas ini — merujuk pada nama gunung api di Aceh Besar — merupakan cikal pesawat yang digunakan republik untuk kepentingan negara. 

Pesawat ini dibeli dari hasil sumbangan rakyat Aceh atas permintaan Sukarno yang datang khusus ke Aceh, medio Juni 1948. Dalam pertemuannya dengan Gubernur Militer Abu Daud Beureueh di Hotel Aceh, samping Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Presiden RI pertama itu menangis, mengiba agar rakyat Aceh membantu dana pembelian pesawat.

Menurut Pemerhati Sejarah Aceh, Abdurrahman Kaoy, saat itu Abu Mansor datang ke Pasar Atjeh memungut sumbangan dari warga yang berada di pasar tradisional samping Masjid Baiturrahman itu. “Mereka dengan ikhlas memberikan perhiasan, emas, dan segala barang berharganya untuk disumbangkan,” ujar Kaoy. Sebelum kembali ke Pulau Jawa membawa sumbangan rakyat Aceh, dalam pertemuan akbar dengan rakyat Aceh di Lapangan Blang Padang, Sukarno berorasi mengajak rakyat Aceh membantu perjuangannya.

Tidak hanya emas, kita tahu bagaimana besar hati bangsa Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 

Daud Beureueh, bapak bangsa dari Aceh itu berkata, “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden. Asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah. Sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.” 

Tapi kita tahu, Aceh bukan kali ini saja berbuat baik. Megawati Sukarnoputri menangis terisak-isak pada tanggal 29 Juli 1999 di Aceh. Hal serupa pernah dilakukan ayahnya di tanah yang sama. Ia berjanji bahwa ketika ia memimpin negeri ini, “Untuk rakyat Aceh, percayalah, Cut Nyak tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong,” tapi kita tahu dan kita paham. Dari Istana Negara, Megawati justru mengirimkan 40.000 pasukan ke Aceh dalam rangka Darurat Militer.

Apakah yang terjadi boleh jadi hanya sejarah, tapi kita tahu betapa besar kualitas karakter manusia-manusia Aceh ini. Mereka adalah manusia-manusia yang ingin tegaknya syariat. Lebih dari apapun, mereka tak peduli meski harus dinilai kolot. 

Namun syariat yang mereka pegang dengan erat, bukan sekedar tempelan, bukan sekedar label. Tapi ia adalah sebuah ikhtiar untuk menjadi umat yang terbaik. 

Saya, yang bukan warga Aceh, barangkali bisa menyebut syariat dan qanun (peraturan daerah) adalah sebuah diskriminasi. Kita yang bukan orang Aceh mudah saja menyebut bahwa pemberlakuan syariat adalah pelanggaran hak asasi

Tapi adilkah kita menilai sesuatu yang belum kita pahami? Agama Islam barangkali adalah sebuah urat nadi, sebuah identitas yang membuat manusia-manusia Aceh tidak segan membantu dan menolong. Kita barangkali hanya berhenti pada satu sisi yang dianggap buruk, namun tidak melihat sisi lain yang punya wujud lebih baik.

Di tengah lambat, lelet, dan abainya pemerintah Indonesia terhadap para pengungsi Rohingya, nelayan Aceh dengan nalar yang masih bekerja menyelamatkan para pengungsi itu. Marzuki Ramli, 45 tahun, adalah salah satunya. Nelayan asal Kuala Langsa itu, bersama kawan-kawannya, menyelamatkan ratusan pengungsi korban kejahatan keamanusiaan itu. 

Kebaikan nelayan Aceh bagi pengungsi tak hanya sebatas menyelamatkan. Pada gelombang pengungsi sebelumnya, warga Aceh membantu dengan memberikan makanan ke tempat penampungan. Bahkan ada beberapa warga Aceh yang ingin mengadopsi anak-anak pengungsi. Mereka tidak mengenal apa itu kedaulatan atau eksodus. Sesuatu yang ditakutkan Jendral TNI Moeldoko, bagi Marzuki, nelayan sederhana itu, “Ada orang yang mengapung-apung di laut. Kalau kalian terlambat datang, bisa mati semua.”

Indonesia baru saja menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi; Konferensi Asia Afrika dan segala hal yang mereka sebut sebagai upaya menegakan kedaulatan. Di tengah acara itu Bandung mendeklarasikan diri sebagai kota HAM.

”Agak ironis sebenarnya, ketika kita kerap kali mengkritik syariat islam di Aceh yang dianggap melanggar HAM, justru merekalah yang paling gegas menolong sesama manusia.”

Dalam kasus ini, Rohingya lebih relevan ketimbang sekedar deklarasi kosong.

(BACA: Presiden Jokowi, terimalah pengungsi Rohingya)

Ini bukan pertama kali Indonesia mendapat kedatangan tamu pengungsi. Pada 1979-1996 pernah pula muncul fenomena manusia sampan. Mereka adalah orang-orang Vietnam yang mengungsi akibat perang saudara. Ada 250.000 pengungsi Vietnam yang lantas tinggak di pulau Galang, di bagian selatan pulau Batam. Selama kurun waktu 7 tahun mereka tinggal di pulau itu, untuk kemudian pulang setelah perang saudara berakhir. 

Mengingat sejarah itu, ini bukan pertama kalinya pemerintah Indonesia menerima pengungsi. Maka adalah sebuah sikap yang congkak dan abai, mengusir para pengungsi hanya berlandaskan masalah teritorial dan kedaulatan bangsa. 

Maka ketika masyarakat Aceh menolong pengungsi Rohingya, pemerintah seharusnya malu. Peran negara diambil alih oleh masyarakat, sementara aparatus yang ada hanya mampu berlindung di balik aturan kolot.

Syariat Islam bukan sekedar label, ia adalah pedoman hidup masyarakat Aceh. Mereka membuktikannya tidak dengan sekedar memberlakukan qanun, tapi menolong orang orang Rohingya yang malang. 

Ketika negara sibuk berkutat pada hukum-hukum positif tentang kedaulatan negara, tentang agenda politik dan hal-hal genit lainnya. Orang Aceh hanya paham satu hal, sesama Muslim mereka wajib saling menolong, dan itu saya kira lebih mulia dari sekedar Nawa Cita.

Tapi, yah, bagaimana lagi? Apa yang bisa diharapkan dari sebuah pemerintahan yang diam saja pada pembunuhan anak-anak di Paniai Papua? 

Barangkali kelak, jika semuanya sudah terlambat, Pemimpin Besar Nawa Cita kita akan blusukan ke Aceh. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitter-nya, @Arman_Dhani.

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!