4 pelajaran dari kisruh paviliun Indonesia di Milan Expo 2015

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

4 pelajaran dari kisruh paviliun Indonesia di Milan Expo 2015
Jika pameran dunia terbesar dianggap bermanfaat bagi promosi Indonesia, seharusnya ada alokasi anggaran resmi.

Saya mendoakan semoga almarhum Didi Petet, dilapangkan jalannya menuju surga Allah SWT.  Amien ya rabbal alamien. Sampai akhir hayatnya dia terus berkarya. Tidak hanya sebagai pelakon di karya film, ia juga banting tulang mengupayakan terselenggaranya Paviliun Indonesia di Milan Expo 2015.  

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyebut sumbangsih almarhum Didi, layak diganjar dengan penghargaan dari pemerintah. Sebagai seniman, dia mumpuni dan menginspirasi banyak orang. Sebagai pebisnis, termasuk penyelenggara pameran, nampaknya Didi  banyak menghadapi kendala.

Saya mengenal almarhum Didi dari film-filmnya. Bertemu terakhir kali dengan almarhum saat diskusi mengenai film Tjokroaminoto, Guru Bangsa. Diskusi digelar di kediaman mantan menteri perindustrian M.S. Hidayat, yang juga keluarga HOS Tjokroaminoto, pada 8 April 2015.

Didi tak banyak bicara malam itu. Yang saya ingat, antara lain, dia memuji film garapan sutradara Garin Nugroho itu, sebagai film di mana Garin sedikit berkompromi untuk memudahkan penonton umum mencerna karyanya.  

Dia menanggapi peserta diskusi, beberapa pemimpin redaksi, yang menganggap film itu memiliki alur yang melompat-lompat. Diskusinya menarik. 

Kerja berat Milan Expo 

Acara pembukaan Milan Expo 2015 di Milan, Italia, 1 Mei 2015. Foto oleh Mourad Balti Touati/EPA

Saya tidak punya bayangan bahwa pada saat itu Didi tengah kelimpungan, susah payah menyiapkan rencana pembukaan paviliun Indonesia yang dia kelola, di Milan World Expo 2015.  Ini pekerjaan luar biasa berat.  

“Enam bulan terakhir jelang pembukaan, penuh dengan keringat dan air mata,” kata Mari Elka Pangestu, soal Shanghai World Expo 2010. Mari Elka, mantan menteri perdagangan menangani secara langsung paviliun Indonesia di Shanghai saat itu.  

Persiapannya cukup lama, dua tahun lebih. Paviliun Indonesia yang didukung penuh pemerintah saat itu berhasil meraup medali perunggu untuk kategori paviliun yang dibangun sendiri.

Medali emas dan perak diraih Arab Saudi dan Jepang yang membelanjakan bujet belasan kali lebih tinggi ketimbang paviliun Indonesia yang menelan biaya sekitar Rp 200 miliar.

Pentingnya World Expo sebagai ajang pameran terbesar di dunia yang bisa menjadi panggung karya Indonesia di berbagai sektor, tak bisa dipungkiri. Itu alasan Indonesia all out saat Shanghai World Expo 2010.

China adalah salah satu mitra dagang terpenting Indonesia.  Pasar China adalah target utama kampanye promosi pariwisata Indonesia. Produk kopi Indonesia, misalnya, menjadi salah satu unggulan yang menarik pengunjung untuk datang ke paviliun Indonesia. Begitu juga sajian kuliner dan budaya. 

Anggaran dipangkas, pemerintah danai Milan Expo 

Mengingat pentingnya World Expo (WE), awalnya pemerintah berniat ikut serta di acara serupa di Milan. Namun, situasi anggaran belanja di tahun pemilu membuat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpaksa memangkas belanja dan menghemat anggaran 2014.  

SBY menerbitkan Instruksi Presiden soal penghematan anggaran pada 19 Mei 2014. Keikutsertaan Indonesia di Milan World Expo dianggap bukan prioritas, dan karena itu tidak dapat alokasi anggaran. Penghematan yang dilakukan melalui Inpres ini ditaksir sekitar Rp 100 triliun. 

Ketua Panitia Pelaksana World Expo 2010 untuk Indonesia, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif saat itu, Mari Elka, memang menyetujui  Koperasi Pelestari Budaya Nusantara (KPBN) yang dipimpin Didi untuk menjadi pelaksana paviliun.  

Catatannya, itu sepenuhnya swasta termasuk pembiayaan.  Ini juga berarti pemerintah tidak bisa mendukung kemudahan fasilitas termasuk soal bea dan tarif. Jika dengan kondisi seperti itu, panitia WE di Milan menerima keikutsertaan KPBN mengelola paviliun Indonesia, maka Didi dkk bisa melanjutkan inisiatifnya.

Pendek kata, persiapan dilakukan, pengumpulan dana dilakukan dengan mengajak swasta urunan, ikut mensponsori.  Dukungan presiden Joko “Jokowi” Widodo terhadap upaya Didi dan KPBN misalnya, ditunjukkan dengan meminta menteri koordinator bidang kemaritiman dan menteri perdagangan untuk mendukung.  

‘Restu’ Jokowi juga membuat sponsor mulai masuk. Jumlahnya memang jauh dari yang ditargetkan. Semula Didi menargetkan mengumpulkan dana Rp 80 miliar. Tapi sampai acara pembukaan pada 1 Mei, hanya terkumpul Rp 34 miliar. 

Ini yang disampaikan Didi ke Triawan Munaf, Kepala Badan Ekonomi Kreatif. Cerita Triawan dan perbincangan antara Triawan dan almarhum dapat dapat diikuti di Dokumentasi Kisruh Paviliun Indonesia di Milan Expo 2015. 

Bagaimana setelah sepeninggal Didi Petet?

Awal pekan ini ketika diskusi Milan Expo kembali menghangat di media sosial, saya mengontak Hengky Heksanto yang disebut oleh Triawan sebagai wakil dari Didi di KPBN dan pengelolaan paviliun Indonesia. 

Saya bertanya soal kelanjutan dari pengelolaan paviliun Indonesia sesudah Didi pergi. Juga meminta konfirmasi soal ada atau tidaknya dana pemerintah selama ini, dan bagaimana ke depan sampai akhir Oktober saat Milan Expo 2015 berakhir? 

Menurut Hengky, KPBN tidak mendapat surat persetujuan khusus secara langsung dari Kementerian Perdagangan untuk mengikuti Milan Expo 2015. 

“Yang kami peroleh adalah tembusan surat pemberitahuan dari Kemendag kepada  Kemenlu untuk peningkatan Indonesia sebagai Official Participant.  Administrasi dan keuangan sepenuhnya berasal dari pihak swasta dalam hal ini KPBN,” kata Hengky melalui sms. 

Hengky juga menegaskan bahwa inisiatif mengikuti Expo adalah murni dari Didi selaku ketua KPBN. Untuk menjadi peserta, harus mendapat dukungan dari pemerintah.  

“Akhirnya Pak Didi mengajukan permohonan ke Kementerian Perdagangan, dan juga disambut baik oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman yang ingin memanfaatkan acara untuk mempromosikan kapal produk Indonesia dan poros maritim yang akan dikaitkan dengan kekayaan laut kita,” ujar Hengky, Minggu, 17 Mei. 

Dia juga menyampaikan setelah barang yang tertahan di Bea dan Cukai bisa diambil, maka atraksi di paviliun menjadi lebih menarik.  Pada akhir pekan pihak pengelola mencatat ada 10.000-12.000 pengunjung.  

Paviliun Indonesia menargetkan 2 juta pengunjung selama acara yang berlangsung 6 bulan, sekitar 10 persen dari target pengunjung secara total. Saya tidak akan menuliskan ini jika tidak mendapatkan komentar dari pihak KPBN, selaku penanggung jawab paviliun.

Saya berharap penyelenggaraan paviliun Indonesia, yang juga menjadi karya bakti terakhir Didi untuk bangsanya, berjalan kian lancar sampai di ujung acara.  

Rachmat menelpon saya dan mengatakan bahwa, pihaknya akan mengajak sejumlah pihak, swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk kepala daerah untuk mengisi acara dan atraksi di paviliun itu untuk 5 bulan ke depan.  

“Sebenarnya ikut expo ini banyak manfaatnya bagi promosi perdagangan, pariwisata dan industri kita,” kata Rachmat. 

Apakah untuk menjamin kelanjutan paviliun akhirnya pemerintah akan mengucurkan dana?  

Nggak. Tetap swasta. Masih ada yang sudah memberikan komitmen, tapi belum menyampaikan,” kata Rachmat.

Apa pelajaran yang bisa ditarik dari kisruh paviliun Indonesia?

1. Pemerintah harus sediakan anggaran. Jika dianggap keikutsertaan Indonesia dalam pameran kelas dunia adalah penting, maka harus ada anggaran khusus yang dialokasikan, dan direncanakan dengan seksama. Perencanaan melibatkan sektor yang akan mendapatkan manfaat dari keikutsertaan dalam pameran, baik dari pemerintah maupun swasta, di pusat maupun daerah.  

Pembatalan anggaran saat waktu penyelenggaraaan sudah dekat akan memunculkan kisruh.  Harusnya pemerintah bisa menghitung berapa manfaat dibandingkan dengan belanja anggaran.   

2. Jangan last minute. Persiapan mengikuti pameran berkelas dunia harus dilakukan jauh hari, begitu pula pengambilan keputusan mengenai siapa yang akan menjadi penanggung jawab dan susunan kepanitiaan. Negara lain melakukan persiapan 2-3 tahun sebelum acara.  

Kebiasaan pemerintah adalah serius menangani saat last minutes, sehingga hasilnya pas-pasan. Yang ada di depan mata adalah paviliun Indonesia di acara COP-21, Konferensi Perubahan Iklim PBB, 30 November sampai 11 Desember 2015 di Paris.  

Persiapan jauh hari memberikan peluang mendapatkan lokasi paviliun yang strategis, mudah dan bisa diakses segera oleh pengunjung. 

Saya mengikuti acara Cop-20 di Lima, Peru, akhir tahun lalu. Secara letak, paviliun Indonesia cukup strategis meskipun tidak terlalu besar.

Penanganan acaranya menurut saya kurang menarik dibandingkan dengan variasi presentasi dan atraksi di paviliun negara lain seperti AS, Jepang dan China. Serba tanggung.

3. Swasta dilibatkan sejak awal. Jika swasta dilibatkan, ini juga harus dilakukan jauh hari. Beberapa pengusaha yang sering dimintai donasi keikutsertaan atas kegiatan pemerintah atau kegiatan yang membawa nama baik negara mengeluhkan bahwa seringkali mereka baru dilibatkan belakangan, semata karena panitia kekurangan dana.   

Jika pemerintah ingin bermitra dengan swasta, maka mereka perlu dilibatkan sejak awal, ketika desain acara dan paviliun dilakukan. Pemilihan sponsor juga terkait dengan prioritas yang ingin ‘dijual’ sebagai tema utama dalam pameran. Ini berlaku untuk keterlibatan daerah.

4. Pengelola harus jelas rekam jejaknya. Jika menyetujui pengelolaan oleh  swasta, penting untuk memastikan rekam jejak dalam melakukan pekerjaan yang berat dan kompleks. Menurut saya, menghargai niat baik saja tidak cukup.  Apalagi jika pada ujungnya membuat banyak pihak harus turun tangan membantu membuat acara yang sempat terhambat, menjadi bisa berkelanjutan.   

Kalau ini yang terjadi, mengapa pemerintah tidak melibatkan diri secara langsung sejak awal? Apa yang terjadi dengan paviliun Indonesia di Milan Expo menunjukkan bahwa pada akhirnya kolaborasi menentukan kesuksesan sebuah acara besar yang membawa nama baik Indonesia.

Seringkali kalangan pekerja kreatif bersikap sinis atas keterlibatan pemerintah. Birokrasi dan pemerintah diidentikkan dengan potensi korupsi. Nyatanya, pada akhirnya the lender of the last resort adalah pemerintah, yang tak bisa membiarkan acara yang menggunakan nama “Indonesia” menemui hambatan.  

Bahkan mendapat kritik dari warga negara Indonesia di luar negeri yang sebenarnya rindu menikmati paviliun negaranya.

Pengawasan atas sebuah acara dengan dana besar tetap perlu dilakukan. Wajib hukumnya untuk yang menggunakan dana pemerintah.  

Paviliun Indonesia di Milan Expo 2015 menggunakan dana swasta yang dihimpun oleh KPBN.  Menurut saya, tidak ada salahnya jika KPBN pun membuka pertanggungjawaban keuangan yang sudah dikumpulkan, dan digunakan.  

Bukankah, pada akhirnya duit itu terkumpul karena ‘restu’ pemerintah? Siapa tahu jika posisi keuangan dibuka, publik justru berminat untuk berpartisipasi demi suksesnya paviliun Indonesia? — Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!