SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
JAKARTA, Indonesia — Kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali terjadi. Kali ini korbannya adalah dosen komunikasi FISIP UI Ade Armando, yang dikenal sebagai aktivis keberagaman.
Sang pelapor, Johan Kahn (32) menilai status Facebook Ade menistakan agama Islam.
//
Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayatNya dibaca dg gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues ……
Posted by Ade Armando on Tuesday, May 19, 2015
Beberapa hari setelah status tersebut diunggah, Johan, yang dalam profil LinkedIn-nya menyebut diri sebagai legal head dari TV berbayar Transvision yang dimiliki TransCorp, melaporkan Ade ke Polda Metro Jaya, pada Sabtu, 23 Mei 2015.
@adearmando1 anda sudah saya laporkan. Selamat menjalani proses hukum! #TuntutAdeArmando pic.twitter.com/QPixcONkZE
— Johankhan (@CepJohan) May 23, 2015
Alih-alih menarik pernyataan, Ade, yang adalah mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), kembali menegaskan opininya melalui Twitter.
Saya tidak akan mencabut pernyataan ‘Allah bukan orang Arab’, karena kalau saya mencabutnya berarti saya menganggap Allah orang Arab!
— ade armando (@adearmando1) May 23, 2015
Bermula dari langgam Al-Quran
Kasus ini bermula dari ide Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang mengusulkan pembacaan Al-Quran, Surah An-Najm 1-15, dengan langgam Jawa pada peringatan Isra Miraj di Istana Negara.
Tujuan pembacaan Al-Quran dg langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air.
— Lukman H. Saifuddin (@lukmansaifuddin) May 17, 2015
Pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa ini menuai kontroversi di masyarakat. Sebagian menyalahkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, karena berpikir itu ide presiden.
Salah satu kritik datang dari Ahmad Annuri, pakar pengajian Al-Quran dari Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia. Dia menyatakan pemerintah berusaha melakukan liberalisasi Islam. Menurutnya, kejadian tersebut tidak boleh terjadi lagi karena membaca Al-Quran berlanggam Jawa adalah tidak lazim, dan ada kesalahan niat.
“Yaitu merasa perlu menonjolkan citra rasa lagu ke-Nusantara-an atau keindonesiaan dalam membaca Al-Quran,” kata Ahmad seperti dikutip media.
Tokoh nasional Syafii Maarif berpendapat berbeda. Menurut dia, membaca Al-Quran dengan langgam Jawa adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan.
“Kenapa itu dipersoalkan, itu kan kultur saja. Lagu di Afrika juga lain lagi, kenapa dipeributkan?” kata Syafii. “Jadi jangan reaksioner, pikir positif, kalau tidak baik coba dijelaskan apa alasannya.”
Ade masuk dalam polemik ini dengan menyatakan bahwa pembacaan Al-Quran bisa dilakukan menggunakan langgam dari berbagai daerah.
Bantah tuduhan penistaan agama
Ade membantah tuduhan penistaan agama tersebut.
“Kalau yang dipermasalahkan hanya apa yang saya tulis di Facebook itu, tuduhan penistaan agama sangat mudah dipatahkan,” kata Ade pada Rappler.
Menurutnya, pelaporan ini sebenarnya merupakan serang terhadap sesuatu yang lebih luas.
“Dalam status itu, saya kan membela ide Menteri Agama dan lebih jauh lagi, pemerintahan Jokowi. Juga gagasan mereka yang mendukung perhargaan terhadap keberagaman. Bisa jadi hal tersebut yang diserang,” Ade menjelaskan.
Ade juga sudah memberikan klarifikasi secara langsung kepada Johan Kahn tentang maksud status Facebook yang menjadi persoalan.
Saya salah tulis di salah satu wall. Saya bilang ‘Allah itu Mahluk’. Maksud saya ‘Allah itu Al-Kholik’. Maaf ya, Allah. Nggak maksud kok!
— ade armando (@adearmando1) May 24, 2015
Namun demikian Johan sepertinya tidak akan mencabut laporannya. Ia malah mempersilahkan Ade untuk memberikan klarifikasi secara langsung ke pihak penyidik.
Ini klarifikasi @adearmando1. Tdk prl berpanjang lebar, jlskn sj ke penyidik nnt atw di court. #TuntutAdeArmando pic.twitter.com/r0PvXDfWAs
— Johankhan (@CepJohan) May 22, 2015
Pengamat: Hati-hati gunakan UU ITE
Menyikapi kasus yang menimpa Ade Armando maupun kasus sejenis lainnya, peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Dio Ashar mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam menggunakan UU ITE. Pasalnya, UU ini memang bermasalah karena mengandung “pasal karet”.
“Sangat subjektif dan multitafsir sekali dalam praktiknya, tergantung siapa yang menafsirkan,” kata Dio kepada Rappler.
“Apalagi terkait media sosial. UU ITE ini lahir di tahun sebelum media sosial booming, sehingga sangat mungkin ada poin-poinnya yang tidak relevan dengan penyebaran informasi melalui media sosial.”
Lalu apakah ini artinya UU ITE perlu direvisi? Dio menyarankan bahwa solusi yang paling efektif dan efisien adalah memasukkan substansi-substansi yang perlu diperbaiki dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang sedang disiapkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) — Rappler.com
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.