Mengapa inflasi cenderung naik di bulan Ramadan?

Haryo Wisanggeni

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa inflasi cenderung naik di bulan Ramadan?
Bulan Ramadan identik dengan semakin kencangnya laju inflasi. Bagaimana ini bisa terjadi?

JAKARTA, Indonesia — Apa arti kedatangan bulan puasa Ramadan untuk kamu? Apakah bulan ini merupakan waktunya meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, atau saatnya reuni bersama teman-teman lama melalui kegiatan buka bersama?

Kalau kamu seorang ekonom atau bagian dari tim ekonomi pemerintah, maka alih-alih opsi di atas, kata pertama yang akan muncul di kepalamu sebagai jawaban sangat mungkin adalah inflasi.

Pertumbuhan inflasi secara month to month (MTM) selama Bulan Ramadhan (t-1), saat Hari Raya Idul Fitri (t-0) dan satu bulan pasca Idul Fitri (t+1) pada 2011, 2012 dan 2013. Sumber: Bank Indonesia

Studi Bank Indonesia tentang pola inflasi pada bulan Ramadan hingga Idul Fitri tahun 2011-2014 menunjukkan bahwa laju inflasi menjadi semakin kencang di periode tersebut. Hal ini dipicu terutama karena inflasi pada harga pangan. Penyumbang terbesarnya adalah beras, daging-dagingan, dan aneka bumbu masak.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Berikut penjelasannya:

Inflasi 101

Merujuk pada buku petunjuk gabungan yang diterbitkan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terbitan Bank Indonesia, Kementerian Koordinator Perekonomian, dan Kementerian Dalam Negeri, inflasi didefinisikan sebagai adanya kecenderungan kenaikan harga yang berlangsung secara konsisten secara umum.

Mengapa inflasi bisa terjadi? Bila dikelompokkan secara umum, terdapat tiga faktor pemicunya yaitu,

1. Kelebihan permintaan (demand-pull inflation): Inflasi dapat timbul dari sisi permintaan ketika ada kelebihan permintaan (excess demand) dalam interaksi antara sisi permintaan dan penawaran dalam sebuah perekonomian.

2. Terjadi perubahan tingkat penawaran (cost-push/supply shocks inflation): Inflasi juga dapat dipicu oleh kenaikan biaya produksi suatu barang atau jasa sehingga memengaruhi tingkat penawarannya, baik terkait harga maupun kuantitas barang atau jasa tersebut.

Kenaikan biaya produksi dapat berasal dari faktor yang beragam, mulai dari kenaikan harga komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah (administered prices) seperti bahan bakar minyak (BBM) dan Tarif Tenaga Listrik (TTL), maupun faktor kejutan (shocks).

Yang terakhir disebut biasanya terjadi pada komoditas yang proses produksinya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sulit dikendalikan, contohnya komoditas pangan yang sangat bergantung pada cuaca.

3. Ekspektasi: Inflasi juga dapat timbul karena perubahan ekspektasi yang terjadi secara umum di tengah masyarakat. Ekspektasi terhadap inflasi ini bergantung pada pandangan subyektif dari pelaku ekonomi.

Faktor pembentuk pandangan tersebut dapat berupa situasi yang pernah terjadi di masa lalu, misalnya data-data historis; kemungkinan terjadinya sesuatu di masa depan, misalnya proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah; atau gabungan dari keduanya.

Dengan kata lain, inflasi juga dapat terjadi ketika masyarakat memperkirakan bahwa akan terjadi kenaikan harga.

Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga yang bertugas mengumumkan besaran inflasi di Indoneia setiap bulannya secara umum menggunakan indeks harga konsumen (IHK) sebagai indikator besaran inflasi.

Harga yang mereka survei dibagi ke dalam tujuh kelompok berdasarkan bagaimana masyarakat mengalokasikan pengeluarannya: 

  1. kelompok bahan makanan
  2. kelompok makanan jadi, minuman dan tembakau
  3. kelompok perumahan
  4. kelompok sandang
  5. kelompok kesehatan
  6. kelompok pendidikan dan olah raga
  7. kelompok transportasi dan komunikasi

Faktor pemicu inflasi. Sumber: Buku Petunjuk Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) (2014)

Inflasi di bulan puasa

Sebagaimana diungkapkan oleh sebuah studi dari AC Nielsen, di bulan Ramadan penjualan barang konsumen di Indonesia, termasuk makanan, meningkat sebesar 9,2%. Angka ini merepresentasikan adanya peningkatan konsumsi masyarakat.

Penjualan biskuit, misalnya, meningkat hingga 11 kali lipat. Menurut Nielsen, hal ini dipicu banyaknya aktivitas saling mengunjungi dan bersilaturahmi dengan memanfaatkan momentum berbuka puasa bersama. Biskuit rupanya menjadi salah satu sajian andalan yang dihidangkan dalam kesempatan ini.

Demikian pula dengan minuman ringan, penjualannya juga tumbuh pada bulan Ramadan. Menurut Nielsen, hal ini karena umumnya produsen minuman ringan sudah mempersiapkan program khusus untuk melakukan penetrasi pasar selama bulan Ramadan.

Komoditas lain yang juga menikmati pertumbuhan penjualan di bulan Ramadan adalah sosis dan bakso (34%), serta ikan dan daging kalengan (119%).

Tak hanya barang konsumen, berkaca pada statistik tahun lalu, konsumsi BBM juga meningkat selama Ramadhn. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat peningkatan sekitar 14% dari rata-rata harian normal untuk konsumsi premium dan 4,9% untuk solar.

Peningkatan konsumsi akan berujung pada peningkatan permintaan. Hal ini pada gilirannya akan mengubah titik keseimbangan pada proses interaksi antara permintaan dan penawaran dalam sebuah perekonomian. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ini merupakan salah satu faktor pendorong timbulnya inflasi.

Untuk bulan Ramadan 2015 ini, fluktuasi di sisi penawaran juga berpotensi turut mendorong laju inflasi di tanah air.

Naiknya harga minyak dunia ke titik tertinggi sepanjang tahun ini bisa jadi akan menimbulkan kenaikan harga BBM di dalam negeri pada bulan Ramadan. Bila hal ini benar-benar terjadi, biaya produksi dipastikan akan meningkat.

(BACA: Kemenkeu siap hadapi potensi naiknya BBM di bulan Ramadhan)

Terlebih rupiah sedang berada dalam tren pelemahan. Meskipun diprediksi tak akan menimbulkan krisis ekonomi hebat seperti pada 1998 dan 2008, bagaimanapun hal ini akan membuat biaya impor menjadi lebih tinggi.

(BACA: Rupiah terus terpuruk, tapi diprediksi tak akan sebabkan krisis)

Selain itu untuk beras, sedang terjadi penurunan jumlah pasokan yang cukup signifikan pasca lewatnya periode panen raya pada Maret dan April lalu.

(BACA: Efisiensi distribusi, kunci redam inflasi pangan)

Kombinasi dari faktor-faktor di atas akan menimbulkan perubahan pada tingkat penawaran baik terkait harga maupun kuantitasnya. Seperti halnya perubahan tingkat permintaan, hal ini juga akan menjadi tekanan bagi timbulnya inflasi dari sisi penawaran.

Sesuai dengan hasil studi Bank Indonesia, perlu diingat bahwa tren meningkatnya inflasi di bulan Ramadan bukanlah hal baru dalam konteks perekonomian Indonesia. Fenomena ini telah terjadi dari tahun ke tahun.

Situasi ini berdampak pada ekspektasi masyarakat yang secara subyektif akan menilai bahwa di bulan Ramadan pasti terjadi peningkatan inflasi. Ekspektasi, kembali ke penjelasan pada bagian sebelumnya, juga merupakan salah satu faktor pendorong inflasi. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!