Perempuan di parlemen, pergulatan melawan stigma

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perempuan di parlemen, pergulatan melawan stigma
Selain perlu membekali diri dengan penguasaan materi atas penugasan di komisi, perempuan di parlemen masih hadapi ‘musuh dalam selimut’.

“Kalau kita vokal sedikit, kita bisa dimusuhi. Bukan dimusuhi fraksi lain, apalagi mitra kerja. Kita bahkan dimusuhi fraksi sendiri, atau rekan satu partai.” 

Ini keluhan salah satu perempuan politisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di salah satu kabupaten di wilayah Sumatera Utara. Senin malam, 8 Juni 2015, selama dua jam saya berdiskusi dengan puluhan perempuan politisi di kawasan ini. Keluhan soal bagaimana persepsi politisi laki-laki dan elit partai politik cuma salah satunya. Faktor budaya juga masih kuat, bahwa perempuan “tidak boleh terlalu maju, apalagi menghabiskan energi dan waktu terlampau banyak di kegiatan luar rumah”. 

“Keluarga, terutama suami dan anak adalah faktor pendukung terbesar bagi perempuan berkarir, termasuk politisi. “Tapi, suami juga bisa menjadi musuh paling berat juga, dan bermasalah dengan pasangan sungguh menghabiskan energi,” keluh salah satu perempuan politisi dalam sesi diskusi yang cukup blak-blakan. Semacam musuh dalam selimut.  

Citra perempuan politisi juga dianggap masih negatif, apalagi ketika sejumlah kasus korupsi yang ramai diberitakan media massa melibatkan perempuan sebagai pelaku. Padahal, dibandingkan dengan pelaku tindak pidana korupsi laki-laki, jumlah perempuan yang terseret kasus jauh lebih kecil.

Apalagi? Oh, iya. Ini yang juga jadi kendala. Di era politik pencitraan, perempuan politisi relatif sepi dari peliputan media. Takshow politik di media televisi jarang mengundang perempuan sebagai narasumber. Yang diundang sosok yang itu ke situ saja, sama orangnya dari satu layar kaca ke layar kaca lain. Media juga jarang mewawancarai perempuan dalam kasus yang mengundang perhatian publik, meskipun tidak sedikit perempuan politisi yang secara kredensial tak kalah intelektual, misalnya menyandang gelar master bahkan doktor dari perguruan tinggi yang kredibel di tingkat nasional maupun daerah.  

Celakanya lagi, situasi “kurang diliput media” ini juga didukung oleh masih enggannya perempuan politisi berhadapan dengan pers. “Harus diakui, kami ingin cenderung menghindari media,” kata Nurhasanah, anggota DPRD Sumut, dari Fraksi Partai Demokrat. Politisi yang tiga dekade menjadi jurrnalis, termasuk di Harian Waspada itu, menganggap perempuan di parlemen perlu membekali diri dengan kemampuan berhubungan dengan media.  

“Tolong juga sampaikan kepada media di ibu kota, termasuk talkshow Indonesia Lawyer Club-nya Bang One, agar mengundang politisi perempuan membahas tema aktual,” kata Nurhasanah. Bang One adalah sebutan untuk Karni Ilyas, pembawa acara bincang-bincang di TVOne itu.

Dalam diskusi yang  juga melibatkan Koalisi Perempuan Politisi Indonesia itu, gaptek, alias gagap teknologi informasi juga menambah sulitnya perempuan politisi mengoptimalkan saluran media berbasis Internet, seperti media sosial. “Punya akun Facebook, tapi sudah lama tidak aktif, dan biasanya untuk pertemanan saja. Belum dimanfaatkan untuk menjaring pendapat publik atau melaporkan hasil kerja,” kata mereka. 

Stigma politisi jadi beban

Hetifah Sjaifudian, anggota DPR RI dari Fraksi Golongan Karya membeberkan stigma yang ada di publik terkait politisi. “Rich, Lazy and Corupt!”, demikian presentasi Hetifah, yang juga direktur eksekutif Bandung Trust Advisory Group, sebuah lembaga yang melakukan pelatihan peningkatan kapasitas dan kompetensi perempuan politisi di berbagai level. 

Untuk perempuan politisi,  yang membuat citranya cenderung buruk, antara lain karena belum ada perempuan yang benar-benar membekas di benak publik sebagai tokoh politik berprestasi.

Mengutip hasil survei harian Kompas, Hetifah yang menyandang gelar doktor ini mengatakan bahwa kehadiran perempuan di DPR dianggap belum membawa perubahan nyata di masyarakat. “Sebanyak 62,5 persen responden Kompas menyatakan tidak puas atas kinerja perempuan politisi di Senayan,” kata Hetifah. Perempuan politisi menuai perhatian jika ada skandal termasuk terkait dengan situasi keluarganya. Ini menutup prestasi dan kinerja.

Saya sepakat dengan Hetifah dan perempuan politisi yang semalam saya temui di Medan. Mereka merasa dirinya lebih rentan atas sorotan publik, termasuk melalui pemberitaan media. Tak heran jika dalam isu penting di publik, misalnya  ketika “beras plastik” yang mengancam keamanan pangan menjadi topik hangat, kita tidak mendengar politisi perempuan di parlemen angkat suara.  

Ketika kontroversi uji keperawanan bagi calon anggota TNI menjadi tema pemberitaan media, seingat saya hanya Nihayatul Mafiroh (@NihayahCenter), anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang bersuara cukup lantang menentang hal ini. Saya mengutip wawancara Ninik, panggilan akrabnya, yang saya dapat dari rekaman video yang diunggah ke YouTube.  

Ninik Wafiroh adalah salah satu perempuan politisi yang menyadari pentingnya melaporkan kinerja ke publik dengan memanfaatkan media sosial. Sosok lainnya adalah Ledia Hanifah, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sosok kunci dalam pembahasan Rancangan UU Disabilitas.  Rieke Diah Pitaloka sudah dikenal sebagai selebriti sebelum menjadi anggota DPR RI, dan suaranya cukup kencang terkait pembelaan terhadap buruh. Dalam periode sebelumnya ada Lily Wahid, dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dikenal berani bersilang pendapat dengan posisi partainya.  

Nuning Kertopati dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) juga cukup rajin menyampaikan pikiran ke publik melalui tulisan opini di beberapa media, biasanya menyangkut reformasi militer dan dunia intelijen. Yang memiliki latar belakang sebagai jurnalis, seperti Meutya Hafid dari Fraksi Partai Golkar nampak lebih percaya diri menghadapi media, dan bahkan cukup piawai memanfaatkannya untuk menyebarkan pokok pikiran.

Siapa lagi wakil rakyat perempuan periode 2014-2019 yang menurut Anda menonjol prestasinya? Saya mengundang pembaca memberi masukan nama-nama. Baik di tingkat pusat maupun daerah.  Untuk eksekutif, di tingkat daerah, sosok yang menonjol adalah Walikota Surabaya Tri Rismaharini. 

Padahal ada beberapa walikota dan bupati perempuan yang setidaknya terbukti dipilih rakyat untuk memimpin daerahnya. Pemberitaan terkait mereka sepi. Kecuali jika ada skandal korupsi, misalnya kasus yang menyeret Ratu Atut Choysiah, mantan gubernur Banten. Airin, walikota Tangerang Selatan, jadi buah bibir karena kasus korupsi yang menyeret suaminya.

5 pertanyaan perempuan parlemen

Hetifah memaparkan 5 pertanyaan dari perempuan parlemen yang menjadi bahan renungan dalam diskusi Peningkatan Kapasitas dan Kompetensi Perempuan Poitisi.  

1. Bagaimana mengatur peran di dunia politik dengan peran kodrati sebagai istri dan ibu? 

2. Bagaimana agar perempuan di dunia politik tidak selalu dinomorduakan dan diperalat dalam konflik? 

3. Bagaimana agar perempuan memiliki kepercayaan diri untuk berkompetensi dan menang dalam persaingan politik? 

4. Bagaimana agar perempuan tetap loyal pada konstituen dan partainya, namun tetap memperjuangkan kepentingan perempuan? 

5. Bagaimana menghadapi intrik dari sesama perempuan di parlemen? 

Bisa dikatakan, lima pertanyaan di atas menggambarkan pergulatan perempuan di parlemen, dan menjalani perannya. Soal bagaimana berhubungan dengan elit partai, misalnya, ini komentar mereka, “Kami ini, perempuan, tak begitu pandai ‘angkat telor’ sama pemimpin partai.”  

Angkat telor adalah istilah yang senada dengan “menjilat”, asal pimpinan senang, atau asal bapak senang. Dunia politik memang menempatkan pelakunya dalam posisi seperti itu. Kerapkali harus pasrah atas “arahan pimpinan parpol atau fraksi”. Ini juga yang sering menghambat dalam menembus posisi elit, atau memperjuangkan isu untuk kepentingan perempuan.

Indonesia pernah dipimpin presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarnoputri, yang sampai kini masih menjadi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan). Sejak era Presiden Sukarno, selalu ada menteri perempuan dalam kabinet, minimal di posisi menteri pemberdayaan perempuan dan menteri sosial. 

Posisi penting di bidang ekonomi pun dijabat perempuan, termasuk dalam kabinet kerja Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang memasang delapan perempuan di kabinet. Apakah ini membuat isu terkait perempuan menjadi lebih diperhatikan?

Bagaimana dengan data global? Menurut data UN Women Januari 2015, hanya 22% dari seluruh anggota parlemen di tingkat nasional di seluruh dunia adalah perempuan. Ada 10 perempuan menjadi kepala negara dan 14 menjadi kepala pemerintahan.  

Negeri Rwanda mencatatkan jumlah anggota parlemen terbanyak, yaitu 63,8%. Rata-rata jumlah anggota parlemen perempuan di negara Skandinavia adalah 41,5% proporsinya. Di Amerika Serikat angkanya 26,3%, sementara di Asia 18,5%.

Di Indonesia, proporsi anggota parlemen di level DPR RI sempat melonjak setelah era reformasi, dari 9% pada 1999-2004, menjadi 11,8% pada 2004-2009, menjadi 18,39% pada 2009-2014.  Angkanya turun menjadi 17,32% di periode 2014-2019.  

“Saat mencalonkan, parpol berupaya memenuhi kuota 30 persen. Tapi berbagai alasan termasuk perhatian parpol dan kapasitas calon membuat yang lolos ke Senayan cenderung turun,” kata Hetifah. Di level DPRD provinsi persentasenya sekitar 16% dari total, sementara di level kabupaten/kota 12%.

Pemilu 2014 juga ditandai dengan fakta hanya 36% petahana wakil rakyat perempuan yang lolos kembali. Kenaikan kursi partai tidak selalu diikuti dengan kenaikan kursi untuk perempuan. PDI-P sebagai partai pemenang mengalami penurunan kursi perempuan dari 18% pada 2009 ke angka 11% pada 2014 (dari 17 ke 12 anggota legislatif tingkat nasional). Sebanyak 40% anggota legislatif perempuan yang lolos ke Senayan memiliki jaringan kekerabatan dengan elit politik, 26% adalah kader parpol.  

Mengapa turun? “Yang tak punya kedekatan dengan elit parpol dan tak punya banyak modal susah untuk lolos. Pemilu butuh modal juga, kan,” ujar salah satu peserta diskusi di Medan.

Saya mendapat kesan bahwa problematika yang dihadapi perempuan politisi di kawasan Sumatera Utara adalah gambaran problematika yang dihadapi perempuan di parlemen di mana pun. Bahkan, ini problem perempuan berkarir pada umumnya. Bagi perempuan di parlemen, masalah ditambah lagi dengan stigma bahwa politik dunia yang “kotor”. Beragam survei menempatkan lembaga politik sebagai lembaga yang paling rendah popularitasnya.

Setelah berdiskusi, para perempuan anggota parlemen di Sumut sepakat perlunya membangun jejaring untuk saling mendukung. Wakil rakyat perempuan perlu menyiapkan diri untuk menguasai bidang pekerjaannya, tidak hanya terkait dengan tata-tertib, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, tetapi juga melengkapi diri dengan data-data mengenai setiap isu aktual terkait dengan penugasan di komisi.  

“Setiap kali kita bicara, harus didukung data. Ini memudahkan kita bernegosiasi menggolkan sebuah ide demi kemaslahatan publik,” kata Nurhasanah.  Saya sepakat.  

Kebutuhan akan staf khusus mendukung kinerja anggota parlemen juga penting. Kalau tidak ada pun, era digital membuat kita bisa mengakses segala jenis informasi dan data yang diperlukan, melalui mesin pencari di Internet. Mengenai bagaimana mendeteksi isu dan mengeksplorasi peluang untuk berhubungan dengan media, area di mana saya diminta untuk berbagi pengalaman dari sudut pandang media, saya mendorong perempuan di parlemen untuk memanfaatkan medium digital yang tersedia.

Jika media arus utama belum peduli untuk menjangkau perempuan di parlemen, buatlah media sendiri. Informasi bisa disampaikan baik berupa teks, maupun video. Semalam kami berlatih untuk wawancara dan direkam dengan telpon seluler.  “Nanti diunggah ke YouTube ya,” pesan saya. 

Saya percaya bahwa perempuan, di luar soal kodrat yang terkait dengan fisik dan reproduksi, punya potensi yang sama dengan laki-laki, termasuk dalam politik. Era digital justru membuka peluang lebih besar daripada sebelumnya.

Pengalaman historis banyak. Termasuk apa yang dikatakan salah satu politisi perempuan paling mumpuni, Margareth Thatcher. The Iron Lady, sebutan untuk perempuan yang 11 tahun menjadi perdana menteri Inggris itu pernah berkata, “If you want something said, ask a man; if you want something done, ask a woman”. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya@unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!