Kenapa Jakarta bukan tujuan wisata utama?

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kenapa Jakarta bukan tujuan wisata utama?

EPA

Kebanyakan orang datang ke Jakarta untuk berbisnis dan belanja. Bagaimana dengan sisi pariwisata budaya?

JAKARTA, Indonesia — Jakarta memang memiliki lebih dari 170 pusat perbelanjaan, tapi masih banyak ragam pilihan obyek pariwisata di ibu kota yang belum terjamah, menurut Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Purba Hutapea.

Dalam sebuah diskusi panel di forum New Cities Summit 2015 di Ciputra Artpreneur, Jakarta Selatan, Rabu, 10 Juni, Purba mengatakan bahwa banyak yang lupa kalau Jakarta lebih dari sebuah megapolitan dan pusat ekonomi. Padahal, Jakarta punya potensi pariwisata budaya yang cukup besar. 

Enam wilayah di Provinsi DKI Jakarta punya beragam pilihan obyek pariwisata yang beragam, mulai dari Kota Tua, kawasan Monumen Nasional (Monas), pusat budaya Setu Babakan, hingga Kepulauan Seribu.

Sayangnya, citra yang sudah terpatri di kepala wisatawan mengenai Jakarta hanyalah sebagai pusat belanja dan pusat bisnis. Bahkan, tak banyak dari warga Jakarta sendiri yang mau mengunjungi tempat-tempat tersebut dan memilih menghabiskan waktu luang di pusat perbelanjaan.

(BACA: Membangun potensi kawasan seni dan budaya di Jakarta)

Image Jakarta lebih kepada tempat bisnis, bukan hiburan. Turis hanya tinggal di sini 2-3 hari sebelum pindah ke Bali atau Jogja,” kata Purba.

“Bahkan pegawai kami pun tidak melihat budaya sebagai obyek strategis. Bagi mereka, infrastruktur lebih strategis. Agen tur pun malas membuka layanan tur wisata di Jakarta karena macet,” ujarnya.

Padahal, kata Purba, Pemprov DKI Jakarta punya 54 museum, pemerintah pusat punya 7 museum, dan masih ada beberapa museum swasta lainnya. Belum lagi kawasan budaya seperti Setu Babakan di Jakarta Selatan dan kawasan Kota Tua di Jakarta Barat.

Permasalahan lainnya, menurut Purba, adalah ketertarikan yang minim dari warga maupun turis terhadap wisata budaya.

“Anak muda lebih tertarik dengan konser daripada museum,” ujarnya. “Bahkan, kalau kita lihat kawasan Kota Tua, ada 4 museum di sana, tapi orang-orang hanya berkumpul di luarnya dan tidak mau masuk. Mereka tidak mau melihat museum, yang ada hanya museum-museum yang menonton mereka.”

Meskipun telah mengusahakan berbagai acara untuk menarik minat wisatawan terhadap budaya Jakarta, Purba yakin masih banyak hal yang dapat dilakukan. Namun, semua ini butuh regulasi yang mengikat.

“Tidak ada hukum mengenai budaya. Kami masih menunggu DPRD untuk membuatnya,” katanya. “Kami juga harus memperbaiki infrastruktur, branding, serta iklan dari wisata Jakarta.”

“Kami sudah punya anggaran yang cukup, tapi tanpa infrastruktur, terutama yang berkaitan dengan kemacetan, tentu masih bermasalah. Kami bahkan mewajibkan kunjungan sekolah ke museum. Tapi, ya kembali lagi ke permasalahan pertama. Anak-anak lebih tertarik dengan ’tidak sekolah’ daripada ‘mengunjungi museum’-nya,” ucap Purba.

Iklan pariwisata, efektifkah?

Bicara tentang branding dan iklan wisata Jakarta, apakah sebenarnya hal ini efektif? Apakah iklan yang sporadis betul-betul bisa meningkatkan jumlah wisatawan untuk wisata budaya? 

JT Singh, dari firma konsultan JT Singh Lab, berkata bahwa iklan terbaik bukanlah iklan berbayar.

“Pesannya harus muncul dari kota itu sendiri. Jika kita memperbaiki kota untuk warganya, membuat kota lebih kuat, maka orang-orang dari luar akan tertarik,” katanya. “Toh, budaya bukan hanya tentang museum, tapi juga sejarah, teknologi, edukasi. Budaya juga termasuk hal-hal yang kontemporer.”

Jakarta punya pekerjaan rumah untuk memformulasikan dan memperkuat branding wisata budayanya, bila tidak ingin hanya dikenal sebagai surga belanja.

“Setiap wilayah punya DNA-nya masing-masing—kehidupan ekonominya, sejarah, dan lain-lain. Jadi, apa DNA yang mewakili semua aspek kota ini, yang bisa diingat bila nama kota (Jakarta) disebutkan?” ujar Singh.

Pengaruh duta pariwisata pada promosi

Pengenalan budaya dan wisata Jakarta juga tak bisa dilepaskan dari Abang-None Jakarta, para duta pariwisata ibukota yang terdiri dari pemuda-pemudi pilihan dari setiap kota administrasi.

Abang-None hampir selalu ada di belakang gubernur, walikota, dan pejabat lainnya sebagai petugas protokoler. Mereka juga selalu ikut serta dalam berbagai festival di Jakarta, baik sebagai penari, penjaga stand, maupun MC.

Namun, tak dipungkiri, banyak yang mengkritik keberadaan mereka — dan para pemenang beauty pageant serupa — hanyalah sebagai pajangan.

“Saya sering dengar kritik itu,” kata Purba. “Makanya, kita sebenarnya mendorong IANTA (Ikatan Abang None Jakarta) untuk menjadi badan hukum supaya bisa menerima hibah.”

Pengembangan Abang-None, menurut Purba, membutuhkan dana, dan pemerintah tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan tersebut.

“Pemda bisa kasih sebagian besar, tapi hibah bisa menjadi tambahan sehingga mereka bisa mensosialisasikan budaya lebih jauh lagi,” ujarnya. “Mereka juga bisa ikut mensosialisasikan program-program lainnya, seperti buang sampah pada tempatnya.”

Selain Abang-None, Jakarta punya berbagai duta pariwisata lainnya, seperti Remaja Ceria, Putra-Putri Bahari, dan Cici-Koko Jakarta. Tapi sejauh ini, apakah keberadaan duta pariwisata terbukti berpengaruh positif bagi promosi pariwisata Jakarta?

“Sejauh ini sih, menarik. Banyak orang yang minta foto sama mereka, seperti artis. Itu kan salah satu petunjuk bahwa mereka menarik, sedap dipandang,” kata Purba. “Kedua, di luar negeri mereka bisa jadi MC. Memang mereka mengetahui, sebagai PR begitu. Saya pikir dalam hal itu cukup aktif.”

Purba juga menambahkan bahwa sebaiknya masyarakat tidak menuntut terlalu banyak pada para duta pariwisata.

“Kita juga harus fair. Kita jangan berikan beban terlalu berat bagi mereka, kan mereka tidak hidup sebagai Abang-None. Dia kan punya pekerjaan, harus cari duit. Kalau mereka memberikan waktu pada acara Pemda saja sudah pengorbanan,” katanya.

“Jadi, poin saya berikutnya jangan juga kita menuntut terlalu banyak, kecuali mereka betul-betul full time. Ini kan tidak, mereka hanya diberikan (uang) transport, itu pun betul-betul hanya cukup untuk transport, ke salon yang bagus juga tidak cukup.

“Banyak orang yang bisanya mengkritik, tapi tidak mau mengapresiasi.”

Lalu, apakah ada upaya pembinaan agar para duta pariwisata dapat dikaryakan lebih lanjut lagi?

Menurut Purba, pembinaan yang ada sudah cukup memadai sehingga tidak perlu ada perubahan apapun.

“Mulai dari seleksinya kan sudah sangat ketat, selain mereka juga orang-orang yang terdidik. Tahun ini, yang final di tingkat kota sebagian besar dari (Universitas Indonesia) yang merupakan manusia-manusia pilihan di antara kita. Jadi mereka sebetulnya sudah jadi, tapi ya itu bagaimana kita bisa menggunakan mereka untuk mensosialisasikan program pemerintah,” kata Purba. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!