Indonesia

Timnas U-23 di SEA Games 2015: Kebobrokan yang mencari kambing hitam

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Timnas U-23 di SEA Games 2015: Kebobrokan yang mencari kambing hitam

EPA

Sepak bola Indonesia gagal total di SEA Games 2015. Kegagalan pun mencari kambing hitamnya: Pembekuan PSSI oleh Menpora.

Setelah kalah 0-5 dari Thailand di babak semifinal SEA Games 2015, Sabtu, 13 Juni, koran nasional Jawa Posmenurunkan judul: Bisa-bisa hanya dapat seng. Tentu saja, hajatan olahraga dua tahunan di Asia Tenggara itu tidak menyediakan medali berbahan seng, lembaran besi (baik yang bergelombang maupun flat)yang kerap jadi atap warung tegal atau kandang ayam itu.

Maksud judul itu adalah tim Merah Putih terancam pulang tanpa membawa medali apapun. Barangkali penulis judul terpengaruh ungkapan yang kondang di Jawa Timur untuk menggambarkan kekalahan telak: muleh kalungan omplong alias pulang berkalung kaleng. Medalinya yakaleng itu.

Dua hari kemudian, Manahati Lestusen dkk benar-benar pulang tanpa gelar. Garuda Muda digilas Vietnam dengan skor yang sama saat melawan Thailand. Kiper Teguh Amiruddin yang bermain ciamik sejak laga kedua  di SEA Games 2015 mendadak kehilangan kemampuannya. Dia digilir Hong Quan melalui tendangan penalti (menit ke-13), Huy Toan (21′ dan 40′), Huu Dung 45+1′, dan Ngoc Hai (70′).

Thailand pun juara sepak bola SEA Games 2015 back-to-back alias berturut-turut setelah menjuarainya pada edisi 2013. Total mereka merebut medali emas sepak bola sebanyak 15 kali. Yang terbanyak di antara negara manapun di ASEAN. 

Kekalahan yang wajar, kambing hitamnya yang tidak

Timnas kalah, bagi penggemar sepak bola Indonesia, sebenarnya hal yang wajar. Kita sudah capek berharap. Maklum, sejak medali emas diraih pada era Yusuf Ekodono di SEA Games 1991, tak ada lagi yang bisa menyamainya. 

Fandi Eko Utomo, putra Yusuf, yang tampil di final SEA Games 2013 dengan membawa medali emas ayahnya pun tetap tak bisa meraihnya. Saat itu Indonesia kalah penalti melawan Malaysia di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. 

Sejak SEA Games kali pertama digelar pada 1977 pun kita cuma bisa membawa pulang dua medali emas. Selain pada edisi 1991 itu, Merah Putih memenangi cabang olahraga sepak bola di SEA Games 1987. 

Tapi, skor yang mencolok membuat publik bola mencari sasaran. Maklum, kekalahan 0-5 dari Vietnam adalah rekor kekalahan terbesar Indonesia dari tim berjuluk Red Warriors tersebut. Total jumlah kebobolan Timnas juga terbesar sepanjang partisipasi Indonesia di SEA Games. Garuda Muda kebobolan 15 gol. Rinciannya, lima gol masing-masing saat kalah dari Thailand dan Vietnam, empat gol dari Myanmar, dan satu gol dari Kamboja. 

Lantas, siapa sasaran kegagalan itu? Pelatih Timnas Aji Santoso sudah memberi “kode” siapa yang harus bertanggung jawab. Kambing hitamnya adalah pembekuan Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi. “Pembekuan itu berpengaruh kepada mentalitas pemain,” kata Aji. 

Ini bukan pernyataan baru dari mantan pemain Persebaya tersebut. Aji sudah menghafal kalimat itu sejak Indonesia kalah dari Myanmar 2-4, pada 2 Juni 2015. Menurut dia, Indonesia keok karena pemain gelisah dengan sanksi FIFA. “Saya tidak menyalahkan pemain. Jika saya menjadi mereka, saya akan merasakan hal yang sama,” kata Aji.

Aji mengarahkan kambing hitam kegagalan tersebut kepada pembekuan PSSI oleh Menpora Nahrawi. Dia beralasan tidak adanya kompetisi membuat kondisi pemain drop. Sanksi FIFA membuat mereka gelisah sehingga gagal mengantisipasi serangan Myanmar. 

Kompetisi tidak bisa menjadi alasan mutlak kegagalan. Saat Indonesia berlaga di Piala AFF 2014, kompetisi Indonesia Super League (ISL) bahkan baru selesai tak sampai dua pekan. Artinya, kondisi kebugaran pemain masih bagus. Tapi, bahkan lolos dari fase grup saja Indonesia tidak bisa. 

Ini level kegagalannya sudah bukan “berkalung kaleng” lagi, tapi bantalan gobis. Ungkapan yang juga populer di Jawa Timur ini lebih buruk ketimbang berkalung kaleng. Artinya kurang lebih “tidur di pasar berbantalkan sayur kol” karena sudah kehilangan segalanya. 

Alasan tidak adanya kompetisi juga semakin tak relevan jika dibandingkan dengan Myanmar. Para pemainnya sedang tidak mengikuti kompetisi yang berhenti sejak April 2015. Tapi, toh mereka mampu sampai final sebelum akhirnya dihentikan Thailand 0-3.

Soal kegelisahan, wartawan senior Tatang Mahardika mencontohkan Irak saat menjuarai Piala Asia 2007. “Jangankan kompetisi. Bahkan mereka harus menjalani latihan di luar negeri karena faktor keamanan. Setelah juara pun tidak semua pemain bisa pulang kampung karena kerasnya konflik sektarian,” kata Tatang. 

Jika alasan Aji disodorkan kepada anak-anak muda kekinian, mereka akan menjawab, “Kalah ya kalah saja. Nggakusah cari alasan.”

Rekam jejak kekalahan telak Aji juga bukan kali ini saja. Berikut daftarnya.

 

  • Indonesia 0-10 Bahrain di ajang Pra Piala Dunia 2014. 
  • Indonesia 0-6 Thailand di ajang laga grup E Asian Games 2014. 
  • Indonesia 1-4 Korea Utara di 16 besar Asian Games 2014. 
  • Indonesia 0-4 Korea Selatan di ajang U-22 Pra Piala Asia U-23.

 

Karena itu, lebih baik Aji menghabiskan waktu memikirkan hal-hal teknis penyebab kekalahan melawan Vietnam seperti ini:

Mengapa dia menurunkan Abduh Lestaluhu yang notabene bek kiri menjadi bek kanan (yang kemudian dikembalikan lagi ke posisinya saat Indonesia sudah kalah 0-4)?

Mengapa memilih bek tengah Hansamu Yama bukan Manahati Lestusen padahal dia sudah beberapa kali blunder (Hansamu di menit ke-13 handball dan Indonesia dihukum tendangan penalti)?

Mengapa Manahati yang tangguh sebagai bek tengah harus naik sebagai gelandang bertahan di mana posisi itu sudah padu diisi duet Adam Alis dan Zulfiandi?

Mengapa Evan Dimas dicadangkan?

Itu lebih baik daripada Aji menyalahkan hal-hal yang berada di luar jangkauannya, di luar kekuasaannya. 

Sepak bola sebagai hiburan dan kegembiraan

Hingga hari ke-11 SEA Games 2015, sudah 45 medali emas yang diraih Merah Putih. Beberapa cabang olahraga penyumbang banyak medali emas adalah atletik (7 medali) dan dayung (13 medali). 

Indonesia memang bukan bangsa yang dilahirkan untuk sepak bola. Tapi tetap bisa mendapatkan yang terbaik dari sepak bola. 

Tak usah bicara partisipasi di Piala Dunia, negara ini bahkan mungkin tidak akan pernah bisa menjuarai Piala Asia. Tapi warganya tetap bisa bergembira bersama di stadion menyaksikan jagoan-jagoannya bertarung melawan klub-klub lawan. Para pesepak bola bermain dengan profesional dan para pengurus klub mengelola klub dengan sehat. Itu saja rasanya sudah berat, apalagi ngomong prestasi. –Rappler.com  

Agung Putu Iskandar adalah penulis lepas yang tinggal di Surabaya. Lelaki yang masih memiliki hubungan darah dengan legenda Persebaya Eri Irianto ini pernah tinggal di Brasil selama dua bulan untuk membuat reportase Piala Dunia 2014. Bisa dikontak melalui @agaagung

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!