Muslim Syiah Sampang berharap Jokowi bantu mereka pulang

Haryo Wisanggeni

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apa kabar komunitas Muslim Syiah Sampang di Madura pada bulan Ramadan ini?

Dua perempuan Syiah menangis dalam unjuk rasa di depan Istana Negara pada 26 Mei 2013. Foto oleh Adek Berry/AFP

JAKARTA, Indonesia — Hampir empat tahun sudah komunitas Muslim Syiah Sampang terusir dari lokasi penampungan mereka di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur.

Dari rumah susun di Sidoarjo tempat mereka tinggal saat ini, komunitas Muslim Syiah Sampang berharap pada Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk dapat segera pulang ke kampung halaman.

“Sekarang kita menanti implementasi janji Jokowi mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin,” kata koordinaror Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia (YLBHU) Hertasning Ichlas, Sabtu, 20 Juni, yang telah mendampingi komunitas Muslim Syiah Sampang selama masa pengungsian. 

Islam rahmatan lil ‘alamin sendiri mengandung arti Islam, rahmat bagi sekalian alam.

Mendukung harapan komunitas Muslim Syiah Sampang, koalisi organisasi gerakan masyarakat sipil yang terdiri dari Amnesty International, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, serta the Asian Muslim Action Network (AMAN), melalui siaran persnya mendesak pemerintah untuk segera memfasilitasi kepulangan komunitas Muslim Syiah Sampang.

Intimidasi terhadap komunitas Muslim Syiah Sampang karena keyakinan yang mereka peluk telah dimulai sejak tahun 2011. Puncaknya pada 26 Agustus 2012, mereka kemudian harus mengungsi dari rumah-rumah tinggal mereka ke sebuah Gedung Olah Raga di Sampang.

Dua tahun lalu, pemerintah kemudian memutuskan untuk merelokasi mereka keluar dari Madura.

Solusi ini, menurut Hertasning, diklaim pemerintahan ketika itu sebagai solusi yang bersifat sementara. Namun hingga saat ini, belum ada kejelasan kapan komunitas Muslim Syiah Sampang bisa kembali hidup dengan normal dan berhenti menjadi pengungsi.

Proses relokasi sendiri juga dinilai tidak solutif. “Dengan kondisi Indonesia, pemerintah seharusnya paham bahwa solusi bagi konflik semacam ini adalah rekonsiliasi, bukan relokasi,” kata Hertasning.

Tekanan elit jadi penghalang

Bukan tanpa sebab komunitas Muslim Syiah Sampang saat ini menggantungkan harapan mereka kepada pemerintah.

Menurut Hertasning, konflik di level akar rumput sebenarnya sudah selesai. Adalah tekanan dari level elit yang menjadi penghalang kepulangan komunitas Muslim Syiah ke Sampang.

“Saya menyaksikan sendiri bagaimana antara para pelaku penyerangan dan pengungsi telah saling memaafkan dan menyepakati untuk islah,” ujarnya.

Pasca kesepakatan islah yang dikenal ‘islah Sampang’ tersebut terjadi, ia juga telah mencoba mengirim satu atau dua orang pengungsi untuk kembali ke Sampang. 

“Sesampainya di sana, warga menyambut mereka dengan hangat, sampai saling berpelukan dan menangis seperti saudara ketemu saudara. Namun tidak sampai satu hari, para pengungsi yang pulang tersebut selalu diciduk oleh pihak kepolisian setempat dan dikembalikan ke pengungsian,” katanya.

Tindakan polisi ini, menurut Hertasning, juga dipengaruhi oleh sikap pemerintah daerah, mulai dari level provinsi hingga kabupaten. 

Apa latar belakang terjadinya hal ini? Hertasning mencatat dua faktor.

Pertama, sejumlah pemuka agama Islam di Sampang terpengaruh oleh arus geopolitik internasional pasca pecahnya perang di Suriah pada 2011 yang menguatkan sentimen anti-Syiah di berbagai belahan dunia.

“Ulama-ulama kita yang relatif kurang moderat terpengaruh dengan arus tersebut, termasuk di Sampang,” kata Hertasning.

Selain itu, transaksi politik antara kepemimpinan politik yang ada saat ini dengan para pemuka agama Islam anti-Syiah di Sampang dalam proses pemenangan membuat mereka tak bisa berbuat banyak untuk mendukung kepulangan komunitas Muslim Syiah. 

Dalam situasi ini, dorongan dari kepemimpinan politik di level nasional diharapkan dapat menjadi solusi.

Bukan cerita baru

Adanya kelompok masyarakat yang harus terintimidasi karena perbedaan keyakinan bukanlah cerita baru di Indonesia.

Dari Lombok, Jemaat Ahmadiyah di sana saat ini harus tinggal di Pemukiman Wisma Transito di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Wisma Transito, Lombok. Foto oleh Ahmad Muzakky Al-Hasan/Rappler

 

Tak berbeda dengan Muslim Syiah di Madura, Jemaat Ahmadiyah terusir dari kampung halamannya karena adanya tekanan dari masyarakat setempat yang tak bisa menerima keyakinan yang mereka peluk.

(BACA: Terusir, penganut Ahmadiyah Lombok hidup menetap di pengungsian)

Di ibukota beberapa waktu lalu, Jemaat Ahmadiyah di Tebet harus menunaikan ibadah salat Jumat di tengah jalan setelah tak diizinkan memasuki tempat ibadah mereka oleh oleh Front Pembela Islam (FPI).

(BACA: FPI dan warga gelar aksi protes terhadap warga Ahmadiyah Tebet)

Dalam wawancara khusus dengan Rappler beberapa waktu lalu, Menteri Agama Lukman Saifuddin mengungkapkan bahwa solusi bagi persoalan semacam ini dapat diakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur kebebasan umat beragama di Indonesia.

(BACA: Lukman Saifuddin: Menjadi Menteri Agama, bukan Menteri Agama Islam)

Dalam perkembangan terakhir, RUU yang akhirnya diusulkan berjudul RUU Perlindungan Umat beragama ini telah masuk ke daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. — Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!