Tiga pesantren yang tebarkan semangat toleransi

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tiga pesantren yang tebarkan semangat toleransi
Di tengah maraknya kelompok Islam puritan yang terinspirasi dari gerakan radikal di Timur Tengah, masih ada pemimpin muslim yang mengajarkan perdamaian, toleransi, dan kemanusiaan bagi para santri

SOLO, Jawa Tengah — Kementerian Agama belum lama menyatakan keresahannya terhadap keberadaan sekitar 20 pesantren yang dinilai mengajarkan radikalisme. Sekretaris Jenderal Kemenag Nur Syam mengatakan tidak mudah bagi pemerintah untuk mengubah ini, karena pesantren buat mereka tak hanya jadi tempat pendidikan, tapi pengembangan ideologi. 

Namun di tengah kekhawatiran perkembangan gerakan radikalisme dari pesantren, setidaknya ada 3 pesantren di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang memiliki semangat untuk menjunjung nilai kemanusian dan peradaban. 

1. Pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti

Bendera Merah Putih berkibar di halaman pesantren yang terletak di Desa Troso, Klaten, ini sepanjang tahun. Indonesia Raya dinyanyikan di tiap acara penting. Mural nasionalisme menghiasai dinding sekolah. 

Pesantren ini menepis anggapan kelompok radikal bahwa bendera nasional, lagu kebangsaan dan ideologi selain Islam sebagai taghut (sesembahan selain Allah) yang harus dihancurkan. Santrinya mengenakan sarung, peci, dan kemeja koko atau batik, bukan gamis, jubah, celana katung, dan jenggot menjuntai a la pejuang Taliban atau kelompok milisi ISIS. 

“Cinta tanah air adalah bagian dari iman, sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW,” kata pemimpin pesantren Jalaluddin Muslim. 

“Mengajarkannya adalah salah satu cara efektif untuk melindungi generasi muda kita dari pengaruh fundamentalisme.”

Ia mengajarkan pada lebih dari 200 santrinya untuk menjauhi radikalisme dan mengingatkan mereka bahwa Islam diturunkan untuk membawa kebaikan bagi semesta. 

“Kita mengajarkan toleransi dan Islam yang sejuk, karena kita hidup dalam masyarakat majemuk,” kata Jalaluddin. 

“Manusia tidak bisa meniadakan perbedaan, karena perbedaan itu adalah keniscayaan yang diciptakan oleh Allah. Menyakiti orang lain karena beda keyakinan, sungguh tidak bisa dibenarkan.”

Jalaluddin meneruskan kepemimpinan pesantren ini sepeninggal ayahnya, Muslim Rifai Imampuro yang juga dikenal sebagai Mbah Liem. Ayahnya, yang adalah penasihat mantan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, mendirikan pesantren yang dikenal karena nasionalisme ini. 

Jalaluddin percaya bahwa Islam ada untuk manusia di seluruh dunia, sehingga setiap orang bisa memeluk agama itu tanpa perlu menjadi bangsa Arab.

Selain agama dan nasionalisme, pesantren ini juga mengajarkan kepemimpinan dan kewirausahaan sebagai bekal bagi santri agar berdaya selepas keluar dari pesantren. Kewirausahaan akan membantu mereka menciptakan pekerjaan bagi orang lain dan mengurangi pengangguran, salah satu penyebab orang terseret dalam radikalisme.

Mural nasionalisme di dinding Pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti, Klaten. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

2. Pesantren Al Muayyad-Windan

Mahasiswa di Pesantren Al Muayyad-Windan tak hanya dihadapkan pada pelajaran tentang agama mereka sendiri. Mereka diajar untuk mengembangkan toleransi karena pesantren ini kerap menyelenggarakan dialog antarumat beragama, demokrasi, dan perdamaian dengan kelompok agama dari berbagai negara. 

Pesantren ini juga terbuka bagi siapa pun yang ingin mengenal kehidupan Islam. Komunitas gereja di Singapura belum lama ini mengunjungi pesantren yang dipimpin oleh Muhamad Dian Nafi. 

“Islam bagi kami adalah untuk menyelamatkan manusia, sesuai asal katanya yang berarti selamat,” ujar Dian Nafi.

“Kemanusiaan adalah nilai dasar kakek saya dalam mendirikan Al Muayyad. Kami melanjutkan semangat ini untuk mencegah radikalisme, karena tidak ada pendukung garis keras yang menghargai kehidupan dan kemanusiaan.”

Dian Nafi dikenal karena perannya menyelesaikan konflik sosial di beberapa wilayah Indonesia. Dia pernah bergabung dalam Tim Independen Rekonsiliasi Ambon (TIRA) dan Tim Pemberdayaan Masyarakat Pasca Konflik di Maluku Utara. 

Ia mengajarkan pada santrinya, yang adalah mahasiswa dari berbagai universitas, bahwa Islam harus bisa melerai konflik, bukan menjadi pemicu konflik. Mediasi dan resolusi konflik jadi bagian dari latihan kepemimpinan di pesantrennya. 

“Kelompok radikal memandang kekerasan sebagai solusi tunggal, mengabaikan pilihan damai. Padahal kekerasan tidak dibenarkan agama, bahkan mengancam orang dengan kekerasan saja haram,” kata Dian Nafi.

3. Pesantren Nurul Ummahat

Abdul Muhaimin menyambut pemimpin Buddha dari Jepang di Pesantren Nurul Ummahat, Yogyakarta. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Ketika sebagian umat Islam menyerang Ahmadiyah, Abdul Muhaimin, pemimpin Pesantren Nurul Ummahat, Yogyakarta, malah menyebut Ahmadiyah sebagai saudara. Dia menentang ancaman kekerasan terhadap Ahmadiyah dan Syiah dari kelompok radikal. 

Tak hanya menerima ulama Ahmadiyah dari Pakistan di pesantrennya, Muhaimin juga berceramah bagi pengikut Ahmadiyah. Baginya mereka memiliki hak yang sama untuk hidup dan beribadah di Indonesia tanpa diskriminasi. 

Muhaimin juga tak sungkan menghadiri undangan Natal di gereja, memberikan sambutan dan pergi sebelum ibadah dimulai. 

“Kehadiran dan pidato saya di gereja tidak akan mengurangi keyakinan saya pada Islam, karena saya tak pernah ikut dalam ritual. Sebaliknya, ini akan meningkatkan pemahaman dan hubungan baik Islam dan Kristen,” ujar Muhaimin, yang adalah Ketua Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). 

Pemahamannya terhadap Islam ini diajarkan bagi para santrinya. Mereka belajar pluralisme, multikulturalisme, hak asasi manusia, gender, dan lingkungan. 

“Misi Islam adalah membawa kebaikan bagi semua, jadi setiap muslim seharusnya memiliki semangat perdamaian, bukan kebencian dan kekerasan. Al Quran mengajarkan kita menghargai manusia, ciptaan Allah paling sempurna yang menjadi pemimpin di bumi,” kata Muhaimin.

Di pesantren ini juga, sedikitnya 70 tamu dari berbagai agama dan negara datang untuk berdialog tentang agama, demokrasi dan perdamaian. Mereka juga pernah menerima beberapa mahasiswa dari Tiongkok dan Jepang yang pernah tinggal beberapa bulan di sana untuk mempelajari Islam. 

Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) didirikan di pesantren ini pada 1997 untuk mengatasi konflik sektarian yang meluas. Forum yang terdiri dari sekitar 70 tokoh agama ini mendorong perdamaian dan toleransi melalui dialog, dan kerja sama antar umat untuk bantuan kemanusiaan ketika terjadi bencana. — Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!