Siapa yang punya hak menikahkan, negara atau agama?

Ardi Wirdamulia

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Siapa yang punya hak menikahkan, negara atau agama?

EPA

Apa yang menjadi pilihan hari ini menunjukkan negara tidak bisa memaksa agama untuk menikahkan mereka yang berbeda agama. Apalagi menikahkan mereka yang sesama jenis

Hari-hari ini debat publik tentang pernikahan sejenis akan terus memanas. Utamanya di media sosial seperti Twitter dan Facebook. Bisa sangat menyakitkan. Sherina telah kena getahnya dengan beribu umpatan yang diterima karena dukungannya terhadap LBGT. Masih banyak yang akan menyusul. Suram.

Berdebat. Kadang kita lupa bahwa berdebat bukan cuma sekedar adu mulut. Ada proses pertukaran pikiran untuk saling menggeser posisi tentang isu yang dibahas. Ini, pertamanya, membutuhkan pemahaman tentang apa saja posisi yang tersedia.

Kalau isunya dikerucutkan hanya menjadi setuju atau tidak setuju dengan pernikahan sejenis saja, argumennya bisa jadi sangat lucu. Tidak akan ke mana-mana dan berpotensi untuk hanya saling mengejek. 

Ada artikel di situs sebelah yang menyatakan ketidaksetujuan atas pernikahan sejenis karena homoseksualitas itu bukan murni perkara genetika. Lho?

Apakah pilihan agama merupakan perkara genetika? Apakah artinya kita boleh mendiskriminasi seseorang karena agamanya? Toh beragama bukan murni perkara genetika?

Kalau pilihan agama dan pilihan orientasi seksual sama-sama bukan perkara genetika, apa yang membuat negara melindungi kebebasan beragama dan tidak pada kebebasan orientasi seksual. Argumentasi yang absurd.

Jadi, mari kita kembali kepada hal yang dasar dulu. Siapa yang punya otoritas untuk menikahkan? Negara atau agama? Ini titik debat yang pertama. Jangan bicara soal perkawinan sejenis dulu. Masih terlalu jauh. 

Fakta bahwa negara memiliki UU Perkawinan menunjukkan bahwa negara bisa memiliki otoritas menikahkan. Mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak. Fakta bahwa UU Perkawinan yang sekarang mengatur pernikahan itu domain agama, ya itu adalah pilihan hari ini.

Masalah pernikahan ini rumit. Sejarahnya, pernikahan ini memang institusi agama atau adat. Rentang konsekuensinya menyangkut dunia dan akhirat.

Lebih dari itu, bagi agama atau adat, pernikahan ini merupakan sesuatu yang sangat sakral. Janji suci di depan Tuhan dan masyarakat. Jadi, saya sangat paham akan motivasi agama untuk membuat pernikahan tetap pada ranah agama.

Konsekuensinya, seperti apa yang menjadi pilihan hari ini, negara tidak bisa memaksa agama untuk menikahkan mereka yang berbeda agama. Apalagi menikahkan mereka yang sesama jenis. 

Apa argumen yang bisa membuat negara harus berdampingan dengan agama untuk memiliki kewenangan terhadap pernikahan? Tentu saja pada kewajiban negara untuk melindungi segenap warganya.

 Pendukung persamaan hak kaum gay dan lesbian di Manila, Filipina. Foto oleh George Moya/Rappler

Karena, bagi sebagian warga negara, pernikahan bukan soal janji suci di hadapan Tuhan. Pernikahan adalah perjanjian perdata. Negara memberikan perlindungan terhadap mereka yang mengadakan perjanjian perdata ini. 

Dalam UU perkawinan yang ada, negara gagal melindungi kepentingan warganegara yang menginginkan perjanjian perdata ini. Saat mereka berbeda agama atau memiliki jenis kelamin yang sama.

Apalagi, dalam UU yang sekarang, hidup bersama merupakan sesuatu yang kriminal. Sedikit catatan, UU yang ada membuat para LGBT lebih bebas melakukan hidup bersama. Karena pasalnya jelas berbunyi lelaki dan perempuan. Untuk hal ini saya iri dengan LGBT.

Saat ini negara tidak memberikan alternatif apapun bagi yang beda agama.  Ada yang akhirnya pura-pura pindah agama. Ada yang menikah di luar negeri untuk kemudian melapor ke catatan sipil. Semuanya jalan berliku. Itupun, mereka secara otomatis terikat perjanjian pisah harta. Apa perlindungannya?

Kenapa perlindungan ini sedemikian pentingnya? Karena, bagaimanapun juga ketika orang hidup bersama akan terjadi akumulasi harta. Dan mungkin juga hutang. Hak dan kewajiban perdata yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan. Perkawinan melindungi itu.

Saat perkawinan sudah tidak bisa dipertahankan, misalnya, kedua belah pihak mendapatkan bagian yang adil dari harta bersama itu. Belum lagi masalah anak. Pasangan beda agama yang hidup bersama karena negara tidak mau menikahkan, sangat rentan terhadap masalah ini. 

Di satu sisi, pihak perempuan tidak bisa memaksa si lelaki untuk membiayai anak. Di lain sisi,  pihak lelaki juga tidak bisa punya hak perdata atas anak. Di mana negara?

Ketidaksetaraannya ada di sini. Pada titik di mana negara memberikan perlindungan kepada heteroseksual yang sama agamanya. Dan tidak bagi mereka yang berbeda agama atau homoseksual.

Apakah ketidaksetaraan ini konsekuensi dari pilihan? Bisa iya, bisa tidak. Ini bisa jadi titik debat yang kedua. Kita tunda lain kali.—Rappler.com

Penulis sedang belajar menulis artikel populer. Tertarik dengan isu-isu kemerdekaan dan kesetaraan. Follow twitternya @awemany

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!