Kata perempuan vs kata pria: Cowok takut komitmen?

Adelia Putri, Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kata perempuan vs kata pria: Cowok takut komitmen?
Katanya, kaum pria takut dengan komitmen dalam pacaran. Benarkah?

Kolom ini membahas berbagai macam isu yang berkembang di masyarakat Jakarta dan Indonesia — baik yang serius dan yang nyeleneh — dari dua sudut pandang yang berbeda. Adelia, seorang wartawan, melihat dari sisi perempuan, sementara Tasa, seorang praktisi komunikasi, mencoba membahasnya dari sudut pandang pria. Topik pekan ini adalah komitmen yang, katanya, ditakuti kaum pria.

——–

Adelia Putri, 24 tahun, adalah multimedia reporter Rappler Indonesia. Follow Twitter-nya di @AdeliaPutri

 

 

Apakah laki-laki takut komitmen? Rasanya kamu tak akan mendapat jawaban adil mengenai hal ini dari saya. 

Pertama, saya bukan laki-laki (duh). Kedua, kalaupun saya memberikan menjawab, pasti hanya akan penuh dengan tuduhan-tuduhan sepihak. Terlalu mengeneralisir rasanya kalau harus menjawab apakah semua laki-laki takut komitmen.

Sepertinya komitmen bukan hanya masalah laki-laki. Kata siapa perempuan tidak banyak pikir sebelum mengiyakan sesuatu? Apalagi yang berzodiak Aquarius #eh.

Mungkin masalahnya bukan ada di ketakutan untuk berkomitmen, tapi di posisi dalam sebuah hubungan. Perempuan merasa laki-laki sumber masalah ketika tidak mau mendefinisikan hubungan karena struktur sosial membuat kita, perempuan, hanya bisa menunggu pihak pria untuk menentukan kelangsungan hubungan. Iya, kan?

Teman dekat saya sering curhat tentang hubungannya dengan seorang pria. Mereka sudah seperti pacaran, namun sang pria tidak pernah mau mengakuinya sebagai kekasih di depan publik. 

Katanya, terlalu banyak hal yang harus dipikirkan dan dikhawatirkan sehingga sulit sekali membangun komitmen untuk betul-betul bersama secara resmi. Katanya juga, “digantung” seperti itu menyakitkan, tapi dia juga tidak bisa pergi. Terlalu cinta katanya.

Tapi, ada juga perempuan lain yang merasa gusar ketika akhirnya berpacaran dengan seorang pria dan malah berusaha menyembunyikan hubungan mereka. Ia masih ketakutan dan belum bisa percaya akan keseriusan pasangannya, sehingga masih tidak mau melepas kesempatan yang ada di luar sana, yah, kalau-kalau hubungan itu gagal di tengah jalan.

Huh. Perempuan memang terlalu banyak pakai perasaan. Tapi, mau bagaimana lagi, kami memang diciptakan seperti ini. Kalau pria-pria protes, ya sudah, pacaran saja sana sama kaktus.

Komitmen harusnya tidak jadi masalah dalam sebuah hubungan. Saya percaya betul pada kalimat when it’s right, it’s right dan pada impulsivitas manusia. Buat saya, kalau seseorang menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menghalangi niatannya untuk mendapatkan hal itu. Apalagi, kalau itu pria, yang tidak perlu dibatasi norma sosial seperti perempuan yang hanya bisa menunggu ajakan. 

Sederhana saja sebenarnya, kalau dia betul-betul mau dan yakin, harusnya langsung melakukan sesuatu untuk mendapatkannya. Tidak semua hal harus dibawa logis dan penuh argumentasi, kok. 

Saya kenal orang yang baru kenal seminggu namun sudah yakin dengan pilihannya. Ada pula yang baru dekat tiga bulan tapi sudah berpikir untuk mengajak menikah. Padahal, kalau dipikir-pikir, ini agak tidak masuk akal kan?

Lagipula, ada yang pernah bilang pada saya, kalau kamu sampai harus terus mempertanyakan “status kita itu sebenarnya apa?”, itu tandanya memang tidak ada niatan untuk jalan lebih lanjut. 

Tinggalkan saja, Mas, Mbak. Masih banyak ikan di laut.

 

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan dapat disapa di @BarleyBanget.

 

Selama ratusan tahun lamanya, kaum perempuan selalu menuduh pria takut untuk berkomitmen, menuduh kami sebagai sekumpulan pengecut yang tidak berani mengambil keputusan besar dalam hidup.

Apakah tuduhan itu benar dan beralasan? Tentu tidak!

Siapa bilang pria takut berkomitmen? Pria diciptakan oleh Tuhan sebagai mahkluk pemberani, yang selama berabad-abad lamanya sudah terbukti sukses menaklukkan tingginya gunung, dalamnya lautan, dan luasnya angkasa.

Pria tidak takut membuat komitmen jangka panjang. Toh, ilmu pengetahuan sudah membuktikan kalau kami itu rajanya nekat, berani ambil resiko, dan bertanggung jawab, walau tentu seringkali kami terjatuh, tidak sekali atau dua kali tapi sering, dan selalu ceroboh untuk menyelesaikan banyak hal, terutama untuk urusan menjaga kerapihan dan datang tepat waktu.

Suka atau tidak, mayoritas penemuan terhebat yang sejarah catat dihasilkan oleh keringat para pria, yang tanpa menyerah selalu memberikan yang terbaik untuk membuat dunia lebih baik.

Semua pria pasti setuju, entah itu pria di Amerika Serikat, Afrika, atau Indonesia, kalau justru perempuanlah yang membuat urusan komitmen jadi masalah yang pelik. Ketika kita sudah siap untuk berkata “Iya, aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk kamu,” perempuan memborbadir pria dengan jutaan pertanyaan, selalu saja meragukan kesetiaan kami.

Walaupun pria sudah banting tulang tidak karuan, pergi kesana kemari demi membahagiakan sang jantung hati, tetap saja perempuan tidak pernah puas untuk akhirnya mengakui dedikasi kami yang tanpa pamrih. 

Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah kamu benar-benar mencintaiku?” atau “Apa buktinya kamu sayang?” selalu saja mengalir dari bibir mereka, membuat pria benar-benar kecewa, marah, dan frustasi, hingga akhirnya putus asa.

Membuat komitmen sebenarnya bukanlah perkara sulit untuk pria kebanyakan. Komitmen mungkin adalah salah satu hal yang paling alami bagi pria karena kami pada dasarnya tidak terlalu suka mengubah kebiasaan, walau mungkin perempuan akan menyebut kami pemalas. Tapi apa yang saya maksud adalah apabila pria sangat menyukai satu hal, bisa dipastikan kami akan melakukannya dalam waktu yang amat lama. Begitu juga untuk urusan cinta.   

Tetapi tentu perempuan selalu membuat keadaan menjadi rumit dan tidak bisa diprediksi. Mereka selalu penuh dengan rasa curiga dan cemburu buta, mengkritik tiap detil hidup pria, seakan-akan kami ini hanyalah bocah yang tidak pernah kunjung dewasa. “Boys will be boys,” begitu mereka selalu mengeluh.

Saran saya sederhana saja. Sebelum perempuan menuntut komitmen kesetiaan dari pria, cobalah berkaca dan jujur kepada diri sendiri. Pejamkan kedua mata Anda, sambil duduk dalam posisi meditasi, lalu tanamkan kata-kata ini di dalam pikiran dan hati: “Pria itu baik, hebat, penuh cinta, jujur dan sangat luar biasaaaa!” 

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!